Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Mimpi dari Tunjungan

Sastra | 2024-11-10 20:13:58
Dokumen Radar Surabaya

Pagi masih gelap ketika Mbak Sri membuka warung kopi kecilnya di pinggir Jalan Tunjungan. Tahun 2000 baru saja dimulai, dan Surabaya mulai berbenah menyambut millennium baru. Di seberang warungnya, Tunjungan Plaza berdiri megah, kontras dengan gerobak kayu sederhana miliknya.

"Kopi tubruk satu, Mbak!" seru Pak Hadi, satpam gedung perkantoran di sebelah plaza yang menjadi pelanggan setianya.
"Siap, Pak!" jawab Sri sambil menuang air panas ke dalam gelas berisi kopi bubuk. Tangannya yang terampil kemudian menata beberapa pisang goreng hangat di piring plastik. Aroma kopi yang menguar bercampur dengan wangi pisang goreng menciptakan harmoni yang mengundang para pejalan kaki untuk singgah.

Setiap pagi, Sri menyaksikan ribuan orang berlalu lalang di trotoar Tunjungan. Para karyawan kantoran dengan tas kerjanya, pedagang yang mendorong gerobak, sampai eksekutif yang turun dari mobil mewah untuk masuk ke plaza. Namun Sri tidak pernah iri. Ia justru bersyukur masih bisa mencari rezeki halal dari warung kopinya.

Rutinitas pagi Sri dimulai sejak pukul empat subuh. Ia bangun untuk menyiapkan adonan gorengan dan meracik bahan-bahan yang diperlukan. Anaknya yang masih SD, Dinda, sering membantu membereskan rumah kontrakan mereka yang mungil sebelum berangkat sekolah. Meski hidup sederhana, Sri selalu mengutamakan pendidikan putri semata wayangnya itu.

"Mbak Sri kok betah ya jualan di sini? Panas, debu, belum lagi kalau hujan," tanya Pak Hadi suatu pagi sambil menikmati kopi tubruknya yang masih mengepul.

Sri tersenyum. "Namanya juga usaha, Pak. Saya malah bersyukur bisa dapat tempat di sini. Dulu waktu pertama datang dari Kediri, saya nggak punya apa-apa. Sekarang alhamdulillah bisa nyekolahin anak."

Yang tidak diketahui pelanggannya, setiap malam setelah membereskan warung, Sri mengikuti kursus komputer di dekat Stasiun Gubeng. Usianya yang sudah kepala tiga tidak menghalanginya untuk belajar. "Zaman sekarang harus bisa komputer," begitu tekadnya. Dinda sering menunggunya di tempat kursus, mengerjakan PR sambil sesekali memperhatikan ibunya yang tekun belajar.

Perjuangan Sri tidak mudah. Kadang ia harus berjuang melawan kantuk saat mengikuti kursus setelah seharian berjualan. Tapi tekadnya untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi Dinda membuatnya bertahan. Di sela-sela waktu luang, ia juga rajin membaca buku tentang bisnis dan manajemen yang dipinjam dari perpustakaan kota.

Suatu hari, seorang pelanggan yang ternyata pemilik resto di Tunjungan Plaza tertarik dengan kopi racikan Sri yang nikmat. Ia sudah beberapa kali mampir dan memperhatikan cara kerja Sri yang rapi dan profesional.

"Mbak, saya lihat Mbak rajin dan kopinya enak. Mau nggak kerja di resto saya? Jadi supervisor warung kopi."
Sri terkejut. "Saya? Tapi saya cuma lulusan SMP, Pak..."

"Tidak masalah. Yang penting pengalaman dan semangat belajarnya. Saya dengar dari Pak Hadi, Mbak juga sedang kursus komputer ya? Itu menunjukkan Mbak punya kemauan untuk berkembang."

Air mata Sri nyaris menetes. Selama ini ia memang diam-diam bermimpi bisa punya kedai kopi sendiri di dalam mall. Tapi ia tidak pernah mengeluh, hanya terus bekerja sebaik mungkin sambil meningkatkan kemampuan diri.

"Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha sebaik-baiknya," ucap Sri tulus.

Enam bulan kemudian, Sri sudah mengenakan seragam karyawan plaza dengan bangga. Warung kopinya ia serahkan pada adiknya yang baru pindah dari Kediri. Pekerjaannya sebagai supervisor memang tidak mudah, tapi ia tetap memberikan yang terbaik seperti saat mengolah kopi di pinggir jalan.

Dinda ikut bahagia melihat perubahan nasib ibunya. Kini mereka bisa pindah ke rumah kontrakan yang lebih layak. Sri juga bisa membeli komputer bekas untuk Dinda belajar. "Ibu hebat ya," kata Dinda suatu malam. "Tapi kenapa Ibu masih sering datang paling pagi ke resto?"

"Karena kebiasaan baik tidak boleh hilang, Nak. Justru sekarang Ibu punya tanggung jawab lebih besar untuk membimbing karyawan lain."

Setiap pagi, Sri masih datang paling awal. Bedanya, kini ia yang menyambut para karyawan resto. Ia membagikan pengalamannya pada mereka, mengajarkan bahwa melayani pelanggan bukan sekadar tentang produk, tapi juga tentang ketulusan dan kerja keras.

"Mbak Sri sekarang sudah sukses ya," kata Pak Hadi yang masih sering mampir ke resto.

Sri tersenyum hangat. "Bukan sukses, Pak. Ini baru langkah awal. Yang penting kita tidak pernah berhenti bermimpi dan berusaha."

Di tengah hiruk pikuk Tunjungan yang terus berubah, Sri telah membuktikan bahwa kesuksesan bukan tentang dari mana kita berasal, tapi tentang seberapa keras kita berusaha dan seberapa berani kita bermimpi. Kisahnya menjadi inspirasi bagi banyak orang, terutama para pedagang kaki lima yang masih berjuang di sepanjang trotoar Tunjungan.

Setiap kali melewati bekas tempat warung kopinya dulu, Sri selalu teringat akan perjuangannya. Dan kini, sambil memandang keluar jendela restonya di lantai dua plaza, ia mulai bermimpi lebih tinggi lagi: suatu hari nanti, ia ingin membuka jaringan kedai kopi miliknya sendiri. Karena baginya, selama ada kemauan untuk belajar dan bekerja keras, tidak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk digapai.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image