Gerakan Komunis di Serambi Mekah
Sejarah | 2024-10-31 20:02:44GERAKAN KOMUNIS DI SERAMBI MEKAH
Sarkawi B. Husain
Penulis Buku: Fikril Hanif Sufyan
Penerbit: Gadjah Mada University Press
Gerakan komunis merupakan tema riset yang banyak menarik perhatian ilmuan asing maupun Indonesia. Pada 1965, Ruth McVey menulis The Rise of Indonesian Communism dan tahun 1990, Takashi Shiraishi menulis An Age in Motion. Dua buku itu merupakan buku klasik tentang bangkitnya organisasi politik yang awal di Indonesia. Selain itu, terdapat sejumlah tulisan sarjana Indonesia sendiri, seperti Mestika Zed, Pemberontakan Komunis Silungkang 1927 (2004), Soewarsono, Berbareng Bergerak; Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaoen (2000).
Selain buku-buku di atas, beberapa buku juga ditulis oleh pentolan PKI. D.N. Aidit misalnya, menulis Kobarkan Semangat Banteng! Madju terus, pantang mundur! (1964) dan Aidit Menggugat Peristiwa Madiun (1955). Buku pertama merupakan buku propaganda, sedangkan buku kedua adalah pembelaan Aidit atas peristiwa Madiun. Senada dengan pembelaan Aidit, dapat juga dibaca buku lain yang berjudul Buku Putih tentang Peristiwa Madiun yang disusun dan diterbitkan oleh Departemen Agitprop CC PKI (1954).
Sayang sekali, banyak kajian yang hanya fokus pada peristiwa Madiun 1948 dan Pembrontakan PKI 1965 dan sesudahnya dengan wilayah kajian di Pulau Jawa dan Bali. Tidak banyak sarjana yang melihat gerakan komunis pada paruh pertama abad ke-20. Oleh karena itu, buku yang berjudul: “Menuju Lentera Merah: Gerakan Propagandis Komunis di Serambi Mekah 1923-1949” yang ditulis oleh Fikril Hanif Sufyan dan diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press pada tahun 2017 ini keluar dari dua kecenderungan tersebut. Melalui penelusuran berbagai arsip dan surat kabar yang sezaman, Fikril Hanif melakukan kajian yang menarik tentang Gerakan Propagandis Komunis di Serambi Mekah. “Serambi Mekah” adalah julukan sebuah kota kecil bernama Padang Panjang di Sumatera Barat. Kota ini merupakan pintu gerbang lahir dan berkembangnya paham modernis Islam, tagaknya Thawalib, Diniyah Putri, dan Komplek Kauman Padang Panjang, dan pesatnya aliran Islam-Marxis yang diusung oleh Datuk Batuah dan Natar Zainudin (hlm. xv).
Perkenalan Datuk Batuah pada organisasi yang “berbau kiri” bermula dari deklarasi yang dilakukannya pada 4 November 1923. Datuk Batuah yang menjadi ketua dari sarekat tersebut sering menjalin komunikasi dengan tokoh pergerakan sejenis di Jawa, yakni Semaun dan Haji Misbach. Menurut Hanif, setelah Sarekat Rakyat terbentuk, Datuk Batuah mulai melakukan pembumian ide-ide marxisme yang ia sebuat sebagai ilmu kuminih. Dia menjabarkan pikiran-pikiran Marxisme yang dibingkai ruh keislaman dan semangat lokalitas Minangkabau (hlm. 47).
Surat kabar menjadi media yang digunakan oleh Datuk Batuah dan pengurus lainnya untuk menyebarkan pahak komunis sekaligus menjadi saluran protes. Djago! Djago! pimpinan Natar Zainudin Pemandangan Islam pimpinan Datuk Batuah menjadi alat untuk menyebarkan wacana kesimbangan ajaran Islam dan protes sosial dalam masyarakat (hlm. 56). Perkembangan paham kuminih Datuk Batuah ini membuat banyak kalangan dan organisasi resah.
Salah satunya adalah Perguruan Thawalib Padang Panjang. Guru beliau Haji Rasul sekaligus perintis Thawalib berusaha untuk menyadarkan Datuk Batuah untuk meninggalkan paham komunis. Akan tetapi, pendirian Datuk Batuah tidak goyah. Sebaliknya, ia “mengajari” gurunya bahwa komunis merupakan obat mujarab untuk mengatasi bangsa yang “sakit”. Bahkan murid-murid Thawalib yang sudah terpengaruh oleh komunis ikut mendemo pendiri sekolah modernis tersebut untuk turun dari jabatan sebagai pengurus perguruan (hlm. 153).
Pertanyaan kita adalah mengapa paham komunis dapat merasuk ke dalam diri Datuk Batuah yang dikenal sangat Islamis. Menurut Hanif, pertemuannya dengan Haji Misbach - tokoh yang sangat berpengaruh dalam Sarekat Islam di Surakarta yang kemudian bergabung dengan komunis - merupakan momen yang menggoyahkan keyakinan Haji Datuk Batuah. Pertemuan itu menyadarkan Batuah bahwa ia tidak dapat berdiam diri melihat imperialisme dan praktek belasting yang menyengsarakan rakyat. Dia yakin tidak ada pertentangan antara Islam dan Komunisme. Bahkan menurut Misbach, dengan memilih sisi Komunis ia menjadi muslim yang sejati (hlm. 46).
Buku ini memberikan pemahaman kepada kita bagaimana paham Islam yang sangat kental di tanah Minangkabau berjumpa dengan paham Marxis sederhana, yakni perlawanan terhadap kapitalis dan imperialis. Sejarah dari tanah rantau ini mengajarkan pada kita bahwa masyarakat yang tertindas menjadi ladang subur tumbuhnya paham radikalisme, apapun ideologi di baliknya@.
Surabaya, 31 Oktober 2024
Sarkawi B. Husain
Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
E-mail: [email protected]; [email protected]
HP: 0815-5016218
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.