Surat untuk Diriku di Masa Depan
Sastra | 2024-10-31 09:16:27
"Kamu pasti akan menertawakan ini suatu hari nanti," begitu tulisan yang kubaca dari secarik kertas lusuh yang kutemukan di dalam kotak memorabilia SMA-ku. Sebelas tahun yang lalu, aku menuliskan surat untuk diriku di masa depan, dan sekarang, di usia 28 tahun, aku benar-benar tertawa membacanya.
Di kertas itu, aku yang berusia 17 tahun menulis dengan penuh keyakinan bahwa pada usia 25, aku sudah akan menikah dengan Dimas, cowok yang kutaksir diam-diam selama tiga tahun di SMA. Aku bahkan menuliskan rencana pernikahan kami akan digelar di tepi pantai, dengan gaun putih sederhana dan dekorasi bunga-bunga laut. Sekarang, membaca tulisan itu membuatku tersenyum geli. Dimas sudah menikah dua tahun lalu dengan teman sekampusnya, dan aku? Aku malah menjadi seorang wildlife photographer yang lebih sering menghabiskan waktu di hutan ketimbang memikirkan pernikahan.
"Yang tersayang, diriku di masa depan," begitu surat itu dimulai. "Aku yakin sekarang kamu sudah menjadi dokter yang sukses seperti yang Papa inginkan. Kamu pasti sudah punya klinik sendiri dan membanggakan keluarga."
Tawa kecil keluar dari bibirku. Papa pasti akan kecewa kalau tahu putri kesayangannya malah memilih untuk berkelana dengan kamera di tangan, mengabadikan kehidupan satwa liar di berbagai belahan dunia. Tapi tidak, Papa justru menjadi orang yang paling bangga dengan pencapaianku sekarang. Foto-fotoku dipajang di galeri internasional, dan artikel-artikelku tentang konservasi alam dimuat di majalah-majalah ternama.
Aku masih ingat betul hari dimana aku memberanikan diri untuk berbicara dengan Papa tentang keputusanku mengambil jalur fotografi. Saat itu semester ketiga kuliah kedokteran, nilai-nilaiku sempurna, tapi hatiku kosong. Setiap malam aku menangis diam-diam, merindukan kebebasan yang selalu kuimpikan. Hingga suatu malam, Papa menemukanku terisak di balkon rumah, menggenggam kamera tua pemberian Mama yang sudah tiada.
"Papa tahu kamu tidak bahagia," katanya waktu itu, mengejutkanku dengan pengertiannya. "Mama dulu juga sepertimu, selalu membawa kamera kemanapun dia pergi. Dia mengajarkan Papa bahwa kebahagiaan sejati adalah ketika kita berani mengejar passion kita."
Mataku terus menelusuri tulisan tanganku yang rapi itu. Ada bagian yang membuatku tertegun: "Aku harap kamu masih menulis puisi. Jangan pernah berhenti menulis meski Papa bilang itu tidak akan menghasilkan uang. Aku yakin suatu hari nanti puisi-puisimu akan diterbitkan."
Ah, betapa polosnya diriku yang dulu. Ya, aku memang masih menulis, tapi bukan puisi melainkan artikel-artikel tentang alam dan petualangan. Ternyata passion untuk menulis itu tidak hilang, hanya bermetamorfosis menjadi bentuk yang berbeda.
"PS: Kalau kamu sudah sukses nanti, jangan lupa untuk membeli mobil sport merah yang selalu kamu impikan itu. Pasti keren banget kan?"
Kali ini aku benar-benar tertawa keras. Mobil sport? Yang benar saja! Sekarang aku lebih memilih jeep tua yang bisa membawaku menembus medan berlumpur di Afrika atau melintasi padang savana di Tanzania. Impian tentang mobil sport itu terdengar begitu dangkal sekarang.
Minggu lalu, aku baru saja pulang dari ekspedisi memotret orangutan di pedalaman Kalimantan. Selama tiga bulan aku tinggal bersama tim konservasi, tidur dalam tenda, mandi di sungai, dan makan seadanya. Dulu, aku yang masih remaja pasti akan menjerit ngeri membayangkan hidup tanpa AC dan internet. Tapi sekarang? Aku tidak bisa membayangkan hidup yang lebih memuaskan dari ini.
Kubaca lagi bagian yang paling membuatku tersentuh: "Dan satu hal lagi... Aku harap kamu masih memiliki semangat yang sama untuk mengubah dunia. Mungkin tidak dengan cara yang sama seperti yang aku bayangkan sekarang, tapi aku yakin kamu masih memiliki api itu di dalam hatimu."
Air mataku menetes. Ya, api itu masih ada. Mungkin tidak lagi dalam bentuk cita-cita naif untuk menyembuhkan semua orang sakit di dunia sebagai dokter, tapi kini dalam bentuk perjuangan untuk menyelamatkan habitat satwa liar dan mengampanyekan pentingnya menjaga keseimbangan alam.
Kadang aku berpikir, apakah Mama bangga melihatku dari atas sana? Aku mengikuti jejaknya, meski dengan cara yang berbeda. Kameranya yang dia wariskan padaku telah membawaku pada petualangan-petualangan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Setiap kali aku mengambil foto, aku merasa Mama ada di sampingku, tersenyum dan membimbingku.
Semakin kubaca surat itu, semakin aku menyadari bahwa diriku yang dulu tidak sepenuhnya salah. Memang benar aku menertawakan banyak hal yang kutulis di surat itu – impian-impian konyol dan pandangan sempit tentang kesuksesan. Tapi ada satu hal yang tetap sama: keinginan untuk membuat perubahan.
Kuambil pulpen dan selembar kertas baru. Mungkin sudah saatnya aku menulis surat untuk diriku di sebelas tahun mendatang. Aku mulai menulis:
"Dear diriku di usia 39,
Aku yakin kamu akan menertawakan banyak hal yang kutulis ini. Mungkin impianku untuk mendirikan suaka margasatwa terdengar terlalu muluk. Mungkin rencanaku untuk keliling dunia mendokumentasikan spesies langka terdengar tidak realistis. Tapi aku harap satu hal tetap sama: semangat untuk menjaga alam dan kehidupan di dalamnya.
PS: Kalau kamu membaca ini sambil duduk di kantor dengan jas rapi, aku pastikan kamu akan sangat menertawakan diriku yang sekarang. Tapi tidak apa-apa, karena itulah artinya tumbuh dewasa – menertawakan diri sendiri sambil tetap bersyukur atas perjalanan yang telah dilalui."
Kulipat kertas itu dan kumasukkan ke dalam kotak yang sama, tepat di sebelah surat lamaku. Sebelas tahun lagi, aku pasti akan membukanya lagi, dan sekali lagi, aku akan menertawakan diriku yang sekarang. Karena begitulah cara kita tumbuh – dengan menertawakan kebodohan masa lalu sambil tetap menghargai ketulusan yang ada di dalamnya.
Kutatap foto Mama yang terpajang di dinding kamarku, tersenyum dengan kamera kesayangannya. "Ma, aku sudah menemukan jalanku sendiri," bisikku pelan. Dan entah mengapa, aku merasa angin sore yang berhembus membawa kehangatan pelukannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.