Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Rofiqi

Islam Dianggap Melegitimasi Kekerasan Terhadap Perempuan, Benarkah?

Agama | 2024-10-30 21:19:30
sumber; id.pinterest.com

Memahami bahwa agama Islam merupakan sumber ilahi yang menjadi rujukan umat, tentu selamanya tak akan pernah lepas dari dimensi kehidupan manusia. Berbagai persoalan hidup manusia pastilah membutuhkan jalan keluar untuk mengantar mereka menuju kebahagiaan dan ketentraman hidup. Menemukan solusi atau jawaban terkait suatu persoalan tentulah melibatkan kemampuan khusus untuk menemukan rahasia Nash Al-Quran dan Hadis.

Sejak dahulu para intelektual muslim telah meneliti dan berusaha menangkap pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh Tuhan. Namun nyatanya tidak ada yang dapat memastikan apakah hal itu memang sesungguhnya yang dimaksud atau bukan. Barangkali karena apa yang dirumuskan oleh para intelektual muslim bersifat subjektif berdasarkan cara pandang dan metodologi berpikir mereka. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam pandangan diantara ulama’ Islam. Misalnya dalam bidang fiqih, terdapat Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Ahmad bin Hambal. Begitu pula dalam bidang ilmu kalam, ada madzhab as-Syairah dan Mu’tazilah, Syiah, Sunni dan lain-lain.

Menghadapi dunia modern, umat Islam selalu dihadapkan dengan banyak kritikan dari berbagai sisi dan sudut. Baik menyangkut aspek spiritualitas maupun kesucian terhadap disiplin ilmu itu sendiri. Termasuk salah satunya adalah fiqih yang banyak mencadi incaran dalam kritikan terhadap agama.

Problem yang dihadapi umat Islam di masa modern adalah adanya statement bahwa agama Islam melegitimasi kekerasan terhadap kaum perempuan. Di samping ada pula klaiman yang menyatakan bahwa Islam cenderung memihak kepada laki-laki. Adanya klaiman ini berawal dari pemahan terkait teks Al-Quran, statemen para ulama’ bahkan fakta sejarah orang Arab.

Kekerasan yang dimaksud bukan semata berbentuk fisik, namun juga berupa non-fisik (simbolis). Salah satu bukti misalnya adanya hukum poligami, domestifikasi perempuan, nusyuz, hukum cadar dan lain sebagainya. Bukti-bukti tersebut seolah mengindikasikan adanya unsur kekerasan terhadap kalangan perempuan.

Bagaimana cara merespon isu tersebut?

Tentunya dalam menyikapi hal ini, tidak serta merta mengandalkan kekuatan fisik dengan emosi yang mengebu gebu. Justru hal itu malah dapat memperburuk keadaan bahkan merusak identitas islam sendiri. Maka argumen tantulah dibalas dengan argumen yang rasional sebagai bukti bahwa agama kita selalu menerima kebenaran dari pihak manapun. Sebagai generasi penerus intelektual muslim kita juga harus menunjukkan kepada dunia bahwa Islam bukanlah seperti apa yang mereka asumsikan. Ini bisa kita lakukan dengan upaya reinterpretasi dan reaktualisasi (penafsiran serta pembaruan ulang) yang berjalan secara beriringan.

Dalam kaitannya dengan problem kekerasan terhadap perempuan, sebenarnya sudah banyak karya para ulama’ yang melarang adanya tindakan kekerasan terhadap perempun. Akan tetapi, pemicu masalah ini datang lantaran aktualisasi dikehidupan realita tidak berbanding lurus dengan apa yang telah digariskan oleh para ulama’. Selain itu, tindakan kekarasan tersebut tidak hanya berasal dari kalangan umat Islam sendiri, akan tetapi ada faktor luar yang memperkuat anggapan keliru tersebut, seperti ketidakadilan global (global injustices).

Ketidakadilan global memicu terjadinya peneguhan identitas keislaman. Alasannya umat Islam tidak memiliki identitas lain yang patut dibanggakan selain agama mereka sendiri, konsekuensinya ketidakadilan global tentulah dilawan dengan menunjukkan identitas keislaman.

Di Indonesia saja tindak kekerasan kepada perempuan masih terdengar ditelinga kita hingga saat ini. Meskipun sebenarnya angka kekerasan sudah mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Tercatat dalam SPHPN 2024 bahwa kekerasan terhadap perempuan lebih tinggi didaerah perkotaan. Hasil survei membuktikan bahwa kekerasan di daerah perkotaan mencapai 27,8 persen dibanding di pedesaan sekitas 23,9 persen.

Kita dapat memastikan bahwa penyebabnya bukan datang dari ajaran Islam sendiri, melainkan oknum-oknum yang justru mengotori citra Islam. Agama Islam sebagaimana yang dirumuskan oleh para ulama’ setidaknya memiliki prinsip keadilan dan anti akan kekerasan. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Imam al-Syathibi bahwa diturunkannya syariah di dunia tidak lain untuk melindungi kemashlahatan manusia yang meliputi 5 hal, yaitu agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Dikenal dengan istilah Maqasid al-Syariah. Beliau menyatakan bahwa dengan adanya konsep Maqasid al-Syariah, maka ajaran Islam yang paling dominan adalah unsur keadilan.

Munculnya konsep Maqasid al-Syariah sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Al-Raisuni merupakan manifestasi dari kandungan ayat Al-Quran yang termaktub dalam surah al-An’am ayat 151-153. Dalam kandungan ayat tersebut menurut telaah beliau setidaknya mengandung perlindungan terhadap agama, jiwa, nasab/keturunan, akal, dan harta. Begitu pula hadis Nabi juga membuktikan adanya kelima asas tersebut. Sebagaimana sabda Nabi,

من قتل دون دينه فهو شهيد ومن قتل دون دمه فهو شهيد ومن قتل دون ماله فهو شهيد ومن قتل دون اهله فهو شهيد

Artinya: “Barangsiapa terbunuh karena membela agamanya, ia syahid. Siapa yang terbunuh karena melindungi darahnya (jiwanya), ia syahid. Siapa yang terbunuh karena melindungi hartanya, ia syahid. Dan siapa yang terbunuh karena melindungi keluarganya, ia syahid”. (HR. Tirmidzi)

Berbicara tentang tindak kekerasan, sesungguhnya tidak hanya dibahas oleh kalangan non- Islam Barat semata. Akan tetapi, diskursus ini juga menjadi topik yang seringkali dibahas oleh Islam, baik di Indonesia maupun di Negara-negara Islam sendiri. Apa yang dibahas oleh kalangan Islam maupun non-Islam Barat sejatinya tidak jauh berbeda dan mengarah pada satu titik yang sama, yaitu penolakan atas kekerasan.

Tentu kejadian ini dapat diambil hikmah bahwa isu penolakan terhadap kekerasan tidak hanya propaganda Barat yang mensekulerkan Islam. Namun, juga merupakan visi-misi bersama (common consern) yang tidak memandang agama, etnis, suku, ras, jenis kelamin dan sebagainya. Seluruh agama mengajarkan bahwa tindak kekerasan sangatlah dilarang bagi siapa saja dan terhadap siapa saja, baik terhadap perempuan, laki-laki, anak-anak, maupun orang tua. Dari sini dapat disimpulkan bahwa isu tentang kekerasan ini merupakan fenomena global yang harus diberantas dari muka bumi.

Statement tentang kekerasan terhadap perempuan

Beberapa ahli bersepakat bahwa diantara naluri manusia adalah kecenderungan untuk mempertahankan hidup. Naluri ini merupakan suatu kekuatan biologi yang ada pada setiap makhluk di dunia ini. Bila disangkutpautkan dengan kekerasan terhadap perempuan, sebenarnya mereka juga memiliki kecenderungan untuk melakukan perlawanan (proteksi). Namun, lantaran ketidakmampuan perempuan untuk melakukannya mengantarkan mereka rentan disakiti dan dianiaya. Belum lagi adanya budaya patriarkhis yang menyebar dikalangan masyarakat semakin memperburuk jati diri mereka.

Berangkat dari fenomena ini, muncullah statement ulama’ perempuan asal Maroko (Farida Benani) menanggapi isu kekerasan secara umum. Berikut ini salah satu penyataannya,

ان العنف هو سلوك اوفعل يتسم بالادوانية يصدر عن طرف قد يكون فردا او جماعة طبقة اجتماعيا او دولة بهدف استغلال وإخضاع طرف اخر فى إطار علاقة قوة غير متكافئة اقتصاديا وسياسيا, وهو ما يتسبب فى احداث اضرار مادية او معنوية او نفسية لفرد او جماعة او طبقة اجتماعية او دولة اخرى

Artinya: “Kekerasan adalah perilaku atau tindakan agresif oleh suatu pihak yang dapat berupa individu, kelompok, kelas sosial, atau negara dengan tujuan mengeksploitasi dan menundukkan pihak lain dalam kerangka hubungan kekuasaan yang tidak setara secara ekonomi dan politik, yang menyebabkan kerugian material, moral, atau psikologis pada individu, kelompok, kelas sosial, atau negara lain”.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa kekerasan dalam pengertiannya memiliki cakupan yang sangat luas. Di mana tindak kekerasan bisa terjadi kapan saja, di mana saja, kepada siapa dan oleh siapa saja. Oleh karena itu, apa yang diasumsikan orang tentang kekerasan hanya terjadi pada masyarakat tertentu tidaklah benar. Karena semua orang sangat berpotensi menjadi pelaku kekerasan atau objek dari kekerasan itu. Semuanya bergantung kepada siapa pemegang kekuasaannya.

Adapun dalam skala ruang, kekerasan bisa terjadi pada wilayah publik maupun domestik. Ruang publik meliputi Negara dan cakupan dibawahnya sementara ruang domestik adalah domain keluarga. Dan dari segi bentuknya, kekerasan bisa berwujud fisik maupun simbolis.

Domain publik dan domestik adalah salah satu domain yang cukup kompleks dan terbilang rumit. Hal ini dikarenakan apa yang dibahas cenderung melibatkan unsur agama, sosial, budaya, maupun politik yang memicu kekerasan terhadap perempuan.

Berhubung isu tentang kekerasan terhadap perempuan ini terbilang sesuatu yang rumit. Maka, untuk menanggapi isu tersebut seseorang tentu tidak hanya membutuhkan kecerdasan intelektul, akan tetapi juga membutuhkan adanya kesadaran. Boleh jadi orang memiliki pengetahuan yang tinggi, namun tingkat kesadarannya rendah. Pengetahuan menyangkut otak dan kesadaran menyangut hati nurani. Dan yang paling mendominasi hal ini tidak terealisasi adalah kesadaran diri (self awareness).

Oleh karena itu, untuk memahami agama kita dituntut tidak hanya berfokus pada bungkus luarnya saja. Melainkan apa yang menjadi substansi di dalam agama. Dan satu hal yang menjadi poin utama bahwa teks Al-Quran adalah benda mati, yang hidup sejatinya adalah mereka yang menafsirkannya.

Waallahu A’lam Bishawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image