Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Pulang ke Asal

Sastra | 2024-10-25 17:01:15
Dokumen bangkatour.com

Langit senja Belitong selalu memiliki warna yang berbeda. Kadang jingga keemasan, kadang merah membara, atau ungu kelabu seperti sore ini. Dari bibir pantai Tanjung Tinggi, Muhi memandang jauh ke horizon, tempat langit dan laut seolah berpagutan dalam guratan tipis. Batu-batu granit raksasa yang menjadi ikon pantai ini berdiri kokoh, menjadi saksi bisu pergulatan batinnya selama dua puluh tahun terakhir.

Dulu, di tempat yang sama, ia bersumpah akan meninggalkan pulau kelahirannya ini. Merantau sejauh mungkin, mencari kehidupan yang lebih baik. Saat itu, di usia delapan belas tahun, Muhi muda merasa Belitong terlalu sempit untuk mimpi-mimpinya. Ia muak dengan kehidupan yang seolah tak berujung - ayahnya yang nelayan tradisional, ibunya yang berjualan kue di pasar, dan prospek masa depan yang tampak suram seperti tambang timah yang mulai ditinggalkan.

Jakarta menjadi tujuan pertamanya. Dengan ijazah SMA dan tekad sekuat baja, ia mengarungi lautan, meninggalkan tanah kelahiran dengan keyakinan bahwa kesuksesan menanti di seberang. Awalnya memang berat. Tidur di emperan toko, menjadi kuli bangunan, hingga tukang cuci piring di warung makan. Namun Muhi tak pernah setengah-setengah dalam bekerja. Setiap pekerjaan, sekecil apapun, ia lakukan dengan sepenuh hati.

Kegigihannya membuahkan hasil. Pemilik restoran tempatnya bekerja melihat potensi dalam diri pemuda Belitong ini. Ia diberi kesempatan belajar memasak, dan ternyata di sinilah bakatnya tersembunyi. Masakan seafood khas Belitong yang ia modifikasi menjadi hidangan fine dining mendapat sambutan luar biasa. Dalam waktu lima tahun, Muhi sudah menjadi sous chef di salah satu hotel berbintang di Jakarta.

Namun kesuksesan tak selalu manis. Seiring popularitasnya yang meningkat, Muhi mulai kehilangan jati dirinya. Ia mengubah cara bicaranya, menghilangkan aksen Melayu yang selama ini menjadi identitasnya. Bahkan namanya pun ia ubah menjadi lebih "modern" saat membuka restoran pertamanya. Perlahan tapi pasti, ia menjauh dari akar budayanya, menganggapnya sebagai masa lalu yang harus ditinggalkan demi kesuksesan.

Pertemuannya dengan Sarah, putri pengusaha kondang Jakarta, semakin menjauhkannya dari identitas aslinya. Mereka menikah dalam sebuah resepsi mewah di hotel berbintang lima. Muhi bahkan tak mengundang orangtuanya, malu dengan kesederhanaan mereka yang ia anggap akan merusak image-nya di hadapan keluarga Sarah. Keputusan itu menjadi luka yang tak pernah sembuh dalam hatinya.

Kesuksesan demi kesuksesan ia raih. Jaringan restorannya merambah ke berbagai kota besar. Namun rumah tangganya dengan Sarah mulai retak. Mereka terlalu berbeda - Sarah dengan gaya hidup sosialitanya, dan Muhi yang deep down masih menyimpan kesederhanaan masa lalunya. Perceraian mereka menjadi headline di media gosip, menorehkan luka baru dalam hidupnya.

Di tengah kegalauan, kabar tentang ayahnya yang sakit keras sampai ke telinganya. Ibunya yang selama ini tak pernah menuntut apa-apa, untuk pertama kalinya memohon agar ia pulang. Muhi terpukul mengetahui bahwa ayahnya masih melaut di usianya yang senja, karena uang yang selama ini ia kirimkan lebih banyak digunakan untuk membantu tetangga yang kesulitan.

Dua puluh tahun ia habiskan untuk membuktikan bahwa anak nelayan dari Belitong bisa sukses di kota besar. Tapi sekarang, di usia tiga puluh delapan, Muhi mulai mempertanyakan makna kesuksesan itu sendiri. Apartemen mewah, mobil sport, dan rekening bank yang gemuk ternyata tak bisa mengisi kehampaan di hatinya. Semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin kuat panggilan pulau kelahirannya.

Maka di sinilah ia sekarang, berdiri di pantai yang sama tempat ia dulu bersumpah untuk pergi. Belitong telah banyak berubah. Resort-resort mewah mulai bermunculan, turis asing berlalu lalang dengan kamera mereka. Tapi ada yang tak berubah - keramahan penduduknya, kejernihan lautnya, dan tentu saja - orangtuanya yang masih setia menunggu di rumah panggung sederhana mereka.

Muhi mengeluarkan sebuah amplop dari saku jasnya. Surat pengunduran diri dari posisinya sebagai CEO jaringan restoran yang ia bangun dengan susah payah. Keputusan yang akan mengejutkan banyak orang, tapi bagi Muhi, ini adalah keputusan paling jernih yang pernah ia ambil. Ia akan membangun sesuatu di sini, di tanah kelahirannya. Sebuah akademi kuliner yang akan melestarikan warisan masakan Belitong, tempat anak-anak muda bisa bermimpi dan berkarya tanpa harus kehilangan identitas mereka.

Angin senja membelai wajahnya, membawa aroma familiar yang selama ini ia rindukan. Muhi tersenyum. Dua puluh tahun ia habiskan untuk membuktikan diri, untuk lari dari akar-akarnya. Sekarang saatnya pulang, bukan sebagai orang asing yang congkak dengan kesuksesannya, tapi sebagai anak pulau yang siap memberikan sesuatu kepada tanah kelahirannya.

Di kejauhan, matahari mulai tenggelam, melukis langit dengan semburat jingga keemasan yang begitu indah. Muhi memasukkan kembali amplop itu ke sakunya. Besok akan ada hari baru, dan kali ini ia akan menjalaninya dengan sepenuh hati, tepat di tempat ia seharusnya berada - di rumah, tempat hatinya selalu berada.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image