Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ryan Pranugie Harianja

Darurat Pendidikan? Generasi Emas yang Menjanjikan atau Mencemaskan?

Iptek | 2024-10-25 11:03:31

Indonesia tengah menghadapi paradoks yang mengkhawatirkan dalam dunia pendidikan. Tahun 2045 yang dicita-citakan sebagai Indonesia Emas sudah begitu dekat, namun potret pendidikan nasional justru menampilkan gambaran yang kritis. Di satu sisi, kita dianugrahi bonus demografi dengan 70% populasi berusia produktif hingga tahun 2030 - sebuah potensi besar yang dijuluki "Generasi Emas". Akan tetapi, berbagai indikator menunjukkan bahwa kualitas pendidikan menunjukkan hal yang berkebalikan.

Berdasarkan data dari hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), posisi Indonesia masih memprihatinkan. Dari 81 negara peserta, Indonesia berada di peringkat 65 untuk kemampuan membaca, peringkat 71 untuk matematika, dan peringkat 63 untuk sains. Bahkan skor tersebut mengalami penurunan dibandingkan hasil PISA 2018, mengindikasikan begitu banyak kemunduran terhadap kualitas pembelajaran.

Disparitas pendidikan antar wilayah juga masih menjadi momok yang menakutkan. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2023 menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Murni (APM) untuk jenjang SMA/SMK di Papua hanya mencapai 65%, jauh berbeda dengan DKI Jakarta yang mencapai 95%. Kesenjangan ini tidak hanya terjadi dalam hal akses, tetapi juga dalam kualitas infrastruktur dan tenaga pengajar.

Fenomena learning loss pasca pandemi telah menciptakan krisis yang mengkhawatirkan dalam penguasaan kemampuan dasar siswa. Penelitian Bank Dunia mengungkapkan bahwa Indonesia mengalami learning loss setara dengan 1,2-1,4 tahun pembelajaran. Dampaknya sangat nyata terlihat dari berbagai aspek fundamental pendidikan:

Pertama, dalam kemampuan literasi dasar, survei terbaru dari Pusmenjar Kemendikbudristek (2023) menunjukkan bahwa 53% siswa kelas 4 SD masih kesulitan memahami teks sederhana, sementara 34% tidak dapat mengidentifikasi informasi eksplisit dalam bacaan. Hal ini jauh di bawah standar kompetensi minimal yang seharusnya dikuasai pada tingkat tersebut.

Kedua, dalam aspek numerasi, hasil asesmen nasional 2023 mengungkapkan bahwa 55% siswa SMP kesulitan menyelesaikan operasi matematika dasar seperti pecahan dan persentase. Bahkan, 47% siswa mengalami kesulitan dalam penerapan konsep matematika sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Survei INOVASI (2023) di 13 kabupaten/kota menunjukkan bahwa 4 dari 10 siswa kelas 5 SD masih kesulitan mengerjakan soal matematika setingkat kelas 2 SD.

Ketiga, keterampilan menulis dan berkomunikasi mengalami kemunduran signifikan. Studi Pusat Asesmen dan Pembelajaran Kemendikbudristek (2023) menemukan bahwa 62% siswa tingkat menengah mengalami kesulitan dalam menyusun paragraf koheren, dan 58% kesulitan mengekspresikan gagasan secara tertulis. Ini mencerminkan hilangnya kemampuan dasar yang seharusnya sudah dikuasai di tingkat sekolah dasar.

Keempat, dalam aspek sains dasar, asesmen diagnostik yang dilakukan SEAMEO QITEP (2023) di 15 provinsi menunjukkan bahwa 67% siswa SMP tidak dapat menjelaskan fenomena ilmiah sederhana atau menginterpretasikan data dalam grafik sederhana. Pemahaman konsep dasar seperti fotosintesis, sistem pencernaan, atau hukum Newton masih menjadi tantangan besar

Kelima, keterampilan sosial-emosional juga mengalami kemunduran. Survei Kemenkes (2023) mengungkapkan peningkatan 35% kasus gangguan kecemasan dan depresi pada pelajar pasca pandemi, yang berkorelasi dengan menurunnya kemampuan bersosialisasi dan beradaptasi di lingkungan sekolah.

Degradasi kemampuan dasar siswa telah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan, terlebih ketika melihat realitas pembelajaran di ruang kelas saat ini. Kebijakan yang memperbolehkan penggunaan smartphone dalam pembelajaran telah menciptakan paradoks yang memprihatinkan. Di satu sisi, teknologi ini diklaim sebagai alat pendukung pembelajaran modern, namun kenyataannya justru menjadi pengalih perhatian yang sangat efektif dari esensi pembelajaran itu sendiri. Ruang kelas telah berubah menjadi panggung media sosial, di mana siswa lebih fokus meng-update status, melakukan live streaming kegiatan mereka, atau sekadar scrolling timeline ketimbang menyerap materi pembelajaran.

Yang lebih memprihatinkan, situasi ini seakan mendapat legitimasi di bawah payung "Kurikulum Merdeka" yang mengutamakan kebebasan berekspresi dan pembelajaran yang menyenangkan. Namun, interpretasi yang keliru terhadap konsep "merdeka belajar" telah menciptakan atmosfer pembelajaran yang kontraproduktif. Kebebasan yang diberikan sering disalahartikan sebagai kebebasan tanpa batas dan tanggung jawab, di mana siswa merasa berhak melakukan apa saja selama masih berada dalam lingkungan kelas, termasuk mengabaikan substansi pembelajaran itu sendiri.

Kebijakan "tidak ada tinggal kelas" dan "pasti lulus" telah menciptakan mentalitas minimalis di kalangan siswa. Mereka tidak lagi merasa perlu berusaha keras karena tahu bahwa pada akhirnya mereka akan tetap naik kelas dan lulus, terlepas dari seberapa rendah pencapaian akademik mereka. Sistem ini secara tidak langsung telah menghilangkan motivasi intrinsik untuk belajar dan mencapai keunggulan akademik. Akibatnya, kita menyaksikan generasi yang tumbuh dengan kesenjangan pengetahuan yang menganga - mereka mungkin mahir dalam mengoperasikan teknologi digital untuk hiburan, tetapi gagal menguasai kemampuan dasar yang seharusnya menjadi fondasi pendidikan mereka.

Perpaduan antara kebebasan penggunaan gadget yang tidak terkendali dan sistem evaluasi yang terlalu permisif ini telah menciptakan lingkaran setan dalam dunia pendidikan kita. Siswa kehilangan kemampuan untuk fokus pada pembelajaran yang membutuhkan konsentrasi dan pemikiran mendalam. Mereka terbiasa dengan gratifikasi instan dari media sosial dan hiburan digital, sementara proses pembelajaran yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan menjadi sesuatu yang asing dan tidak menarik. Tidak mengherankan jika kemudian kita menemukan lulusan sekolah yang tidak mampu memahami teks sederhana, mengalami kesulitan dalam perhitungan dasar, atau bahkan tidak dapat mengekspresikan pemikiran mereka secara koheren.

Fenomena ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam memahami perbedaan antara modernisasi pendidikan dan pemanjaan yang berlebihan. Memberikan kebebasan dalam pembelajaran seharusnya tidak diartikan sebagai pembebasan dari tanggung jawab belajar. Penggunaan teknologi dalam pendidikan seharusnya tidak mengorbankan penguasaan kemampuan fundamental yang menjadi bekal esensial dalam menghadapi tantangan masa depan.Generasi Emas Indonesia yang dijanjikan berada di ujung tanduk. Tanpa intervensi sistematis dan perubahan fundamental dalam sistem pendidikan, bonus demografi bisa berubah menjadi bencana demografi. Hal yang urgent untuk dilakukan sebaiknya adalah menciptakan kurikulum yang sesuai dengan kondisi anak-anak di Indonesia yang disesuaikan lagi dengan kondisi zaman.

Kita tidak bisa lagi berpangku tangan atau sekadar memberikan solusi tambal sulam. Indonesia membutuhkan gerakan masif dan terstruktur untuk menyelamatkan masa depan generasi penerus bangsa. Jika tidak, mimpi tentang Generasi Emas Indonesia 2045 hanya akan menjadi fatamorgana yang semakin menjauh dari jangkauan. Sehingga pertanyaan besar yang belum bisa terjawab ialah bagaimana keadaan Indonesia pada umur keemasannya kelak? Menjanjikan atau Mencemaskan?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image