Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Gelas-Piring Menuntun Mimpi

Sastra | 2024-10-25 20:46:44
Dokumen travel Tempo

Fajar belum sepenuhnya merekah di ufuk timur Manggar ketika Nila membuka matanya. Tahun 1990 yang berjalan setengahnya ini terasa begitu berat bagi gadis berusia tujuh belas tahun itu. Tiga tahun berlalu sejak kepergian ayahnya, namun kenangan akan sosok yang selalu mendukung mimpi-mimpinya itu masih terasa begitu dekat, sedekat aroma laut yang setiap pagi menyapa lewat celah-celah dinding rumah papan mereka.

Di dapur yang sempit, Nila menatap punggung ibunya yang membungkuk di depan tungku, mengaduk adonan kue cucur yang akan dijual ke pasar. Hatinya selalu terenyuh melihat kerja keras sang ibu. Terkadang rasa bersalah menggerogoti benaknya - haruskah ia tetap mempertahankan mimpinya untuk kuliah sementara keadaan keluarga mereka seperti ini? Namun setiap kali keraguan itu muncul, ia teringat kata-kata terakhir ayahnya: bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk mengubah nasib.

Manggar tahun 90-an adalah kota kecil dengan mimpi-mimpi besar yang sering terkubur oleh keterbatasan. Bagi kebanyakan teman seangkatannya di SMA Negeri Manggar, menamatkan SMA sudah merupakan pencapaian yang luar biasa. Tapi Nila menolak untuk membatasi mimpinya. Setiap pagi, ia mengayuh sepeda tuanya melewati jalan berbatu menuju sekolah, dengan tekad sekuat baja dan harapan setinggi langit.

Sepulang sekolah, ketika teman-temannya berburu jajanan atau bersenda gurau di pantai, Nila memilih untuk mampir ke warung kopi Pak Haji di dekat pelabuhan. Mencuci gelas piring bukanlah pekerjaan yang membanggakan bagi seorang siswi SMA, tapi Nila tak pernah merasa malu. Setiap gelas piring yang ia bersihkan adalah batu loncatan menuju mimpinya. Uang yang ia kumpulkan, meski tak seberapa, setidaknya bisa meringankan beban ibunya untuk membeli buku-buku pelajaran.

Malam-malam di rumahnya selalu sunyi, hanya ditemani dengung lampu minyak yang setia menerangi buku-bukunya yang sudah lusuh. Keheningan ini menjadi saksi bisu pergumulan batinnya. Sering kali matanya terasa berat, tulisan di buku-buku itu mulai mengabur, tapi Nila memaksa dirinya untuk tetap terjaga. Setiap rumus fisika yang ia hafalkan, setiap soal matematika yang ia pecahkan, adalah langkah kecil menuju impiannya yang besar.

Kadang, di tengah keheningan malam, Nila membiarkan air matanya jatuh. Bukan karena lelah, tapi karena rindu pada sosok ayah yang selalu membelai kepalanya dengan bangga setiap kali ia pulang membawa rapor dengan nilai sempurna. Namun air mata itu selalu cepat ia hapus. Kesedihan tidak boleh berlama-lama singgah, karena masih banyak hal yang harus ia perjuangkan.

Prestasi akademiknya yang selalu berada di puncak bukan sekadar angka-angka di atas kertas. Bagi Nila, setiap nilai sempurna adalah bukti bahwa kemiskinan bukanlah penghalang untuk berprestasi. Ranking satu yang ia raih di semester pertama kelas dua SMA membuka pintu kesempatan yang selama ini ia impikan - program beasiswa pemerintah daerah untuk melanjutkan kuliah.

Pengumuman tentang beasiswa itu menjadi titik balik dalam hidupnya. Semangatnya yang sudah membara kini semakin berkobar. Ia rela mengorbankan waktu istirahatnya, menghabiskan setiap Minggu di ruang bimbingan belajar gratis, sementara teman-temannya menikmati deburan ombak Pantai Nyiur Melambai. Baginya, suara pensil yang bergesekan dengan kertas jauh lebih merdu dibanding gemuruh ombak.

Kelulusan SMA menjadi momen yang mengharukan sekaligus membanggakan. Nilai tertinggi se-SMA Negeri Manggar dan beasiswa penuh ke universitas negeri di Yogyakarta adalah buah dari kerja kerasnya selama ini. Air mata haru ibunya adalah penghargaan terindah yang pernah ia terima. Dalam pelukan hangat sang ibu, Nila merasakan bahwa semua perjuangannya tidak sia-sia.

Di pelabuhan Manggar, sebelum kapal yang akan membawanya ke Pulau Jawa bersandar, Nila menatap laut yang membentang luas. Ombak yang bergulung-gulung seolah mengingatkannya pada perjalanan hidupnya - terkadang tenang, terkadang bergejolak, namun selalu bergerak maju. Angin timur yang berhembus sepoi-sepoi membawa aroma asin yang familiar, mengingatkannya bahwa ini bukanlah akhir dari perjuangannya, melainkan awal dari babak baru yang harus ia tulis dengan tekad dan kerja keras yang sama.

Nila mengerti, keberhasilan yang ia raih bukanlah kebetulan. Ia adalah hasil dari ribuan jam belajar di bawah temaram lampu minyak, ratusan pagi yang dimulai sebelum fajar, dan jutaan tekad yang tak pernah padam. Di tanah rantau nanti, ia akan membuktikan bahwa anak Manggar juga bisa menggapai bintang-bintang, asalkan tidak pernah berhenti bermimpi dan berjuang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image