Apa Lebak Bulus Kita Sudah Kehilangan Kendali?
Info Terkini | 2024-10-24 08:28:01“Kerusakan terbesar di Bumi adalah produk dari keserakahan manusia dan kurangnya tanggung jawab terhadap lingkungan” - James Lovelock
Ketika kita berbicara mengenai Jakarta, satu hal yang pasti terlintas di pikiran kita adalah kemacetan, polusi, dan kepadatan penduduk. Salah satu area yang yang akan dibahas disini adalah Lebak Bulus yang terletak di Kawasan Jakarta Selatan. Lebak Bulus merupakan salah satu lokasi strategis yang berkembang pesat, Lebak Bulus kini menghadapi banyak masalah yang mengancam kualitas hidup penduduknya yang tinggal disana.
Kemacetan yang berada di Lebak Bulus merupakan hasil dari pertumbuhan infrastruktur yang memadai. Bechtel & Wiley (2002) menjelaskan kemacetan lalu lintas tidak hanya menganggu mobilitas namun juga berdampak pada psikologis dan kesehatan masyarakat. Lebak Bulus mungkin tampak menjanjikan dengan pertumbuhan infrastruktur dan properti yang pesat. Namun, dibalik itu semua banyak penduduk yang merasakan dampak negatif dari perkembangan yang tak terencana, salah satunya kemacetan lalu lintas. Gifford (2014) berpendapat, tingkat kepadatan tinggi dapat menyebabkan stress lingkungan yang dapat memunculkan masalah pada kesehatan fisik dan mental. Bayangkan saja, terjebak berjam-jam di dalam mobil, inhalasi asap kendaraan, dan berkurangnya ruang terbuka hijau yang membuat semua hal tersebut tidak nyaman di kehidupan sehari-hari. Lebak Bulus mengalami kemacetan parah terutama pada jam sibuk seperti pagi hari dan sore hari. Jalan-jalan utama sering kali terkena macet dengan waktu tempuh yang dapat mencapai dua kali lipat dari waktu normal. Traffic Congestion Kozlowsky (1995) sebagaimana dikutip (Steg & Groot, 2019) menjelaskan bahwa kemacetan lalu lintas dapat meningkatkan stress secara fisiologis dan afektif negative, serta menimbulkan efek “spillover” yang berdampak pada interaksi sosial dan tempat kerja.
Selain kemacetan, Lebak bulus juga sedang berjuang dengan melawan polusi udara. Adanya banyak kendaraan di jalan dan sedikitnya ruang hijau, kualitas udara di Lebak Bulus menurun secara drastis. Terdapat penelitian dari “ Air Pollution and its impact on respiratory and cardiovascular systems” oleh (Arden et al., 2002) yang membahas bagaimana emisi dari kendaraan beroda dua dapat berkontribusi signifikan terhadap gangguan pernapasan dan penyakit jantung. Polusi udara seperti PM2.5 yang ada dari kendaraan dapat merusak fungsi paru-paru kita dan dapat menyebabkan berbagai penyakit kronis. Dengan tingginya emisi dari kendaraan bermotor menyebabkan kualitas udara kawasan ini berada dalam katagori tidak sehat. Polusi udara di Lebak Bulus, sudah mencapai seperti PM2.5 dan nitrogen dioksida (NO2), hal tersebut sering kali melampaui ambang batas yang ditetapkan oleh WHO. Menurut (buku envi yang dari lu) polusi udara juga memperparah fenomena “urban heat island” yang dimana daerah perkotaan dapat menjadi lebih panas dibandingkan daerah sekitarnya akibat adanya emisi dan aktivitas manusia. Hal ini dapat menjadi panggilan untuk kita agar lebih mempertimbangkan bagaimana lingkungan fisik di sekitar kita dapat mempengaruhi kesehatan kita.
Terdapat juga kebisingan yang terjadi di Lebak Bulus dikarenakan banyaknya kendaraan yang melintas setiap harinya, tingkat kebisingan di Lebak Bulus pun termasuk kedalam katagori tinggi. Kebisingan lalu lintas yang berkelanjutan pun dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik masyarakat yang tinggal disana, terutama bagi mereka yang jarak rumah atau tempat bekerjanya bersebrangan dengan jalan raya. Klatte et al (1987), sebagaimana dikutip dalam (Steg & Groot, 2019) menyatakan bahwa kebisingan yang terlalu intens, tidak terprediksi, dan tidak dapat terkendali dapat menciptakan perasaan negatif seperti jengkel dan iritasi. Kebisingan juga dapat mengakibatkan seseorang mengalami peningkatan tekanan darah pada orang dewasa apabila kebisingan tersebut sudah sangat menganggu Babisch & Kim (2011), sebagaimana dikutip dalam (Steg & Groot, 2019). Menurut Goines & Hagler (2007), sebagaimana dikutip dalam (Goines & Hagler, 2007) mengatakan bahwa kebisingan jangka Panjang dapat menyebabkan gangguan tidur, hipertensi, dan bahkan penyakit kardiovaskular. Kebisingan tersebut juga dapat meningkatkan stress dan menurunkan kualitas hidup manusia.
Melalui wawancara yang dilakukan kepada salah satu warga berininsial RRS seorang wanita berusia 24 tahun yang tinggal di kawasan Lebak Bulus mengatakan bahwa “tinggal di lebak bulus sudah tidak worth it lagi dikarenakan kemacetan yang semakin parah”. Ia mengeluhkan kondisi lalu lintas yang membuatnya terlambat masuk kantor “saya hampir selalu terlambat setiap harinya dikarenakan macet”, ungkapnya. Menurut RRS suara klakson yang tak kunjung berhenti dapat membuatnya semakin stress. “Suara klakson kendaraan dari bis, mobil, motor, dan kendaraan lainnya membuat saya emosi sampai kepala saya pusing saat berangkat dan maupun pulang kerja”.
Tidak hanya kebisingan, RRS juga merasakan dampak buruk dari polusi yang semakin memperburuk kualitas hidupnya di Kawasan tersebut. “Ditambah lagi dengan adanya asap dari kendaraan yang menganggu pernapasan saya”, keluhnya. Bahkan ia merasa menggunakan masker tidak cukup untuk melindungi giri dari polusi tersebut. “Contohnya knalpot motor yang asapnya bisa sampai berwarna hitam, hal tersebut sangatlah menganggu pernapasan saya sampai saya berpikir memakai masker saja tidak cukup untuk menahan asap-asap kendaraan disaat macet melanda”, tambahnya.
Dengan pembahasan diatas upaya mengatasi kemacetan, polusi, dan kebisingan di Lebak Bulus bisa dengan meningkatkan transportasi umum serta penerapan sistem transportasi umum berbasis listrik yang dapat menjadi solusi utama dalam mengatasi kemacetan. Pemisahan jalur kendaraan serta pengaturan ruang kota yang lebih baik dapat membantu hal ini. Penggunaan kendaraan listrik dan penerapan zona emisi rendah akan menurunkan polusi udara. Untuk mengatasi kebisingan, diperlukan pembangunan dinding penghalang suara di jalan-jalan utama, adanya penegakan regulasi yang lebih tepat terhadap kendaraan bising, serta kampanye kesadaran tentang dampak kebisingan terhadap Kesehatan (Bechtel & Wiley, 2002). Dengan Langkah-langkah tersebut, Lebak Bulus bisa menjadi Kawasan yang lebih nyaman dan layak huni serta dapat mengembalikan control atas kualitas lingkungan bagi masyarakat sekitar.
Daftar Pustaka
Arden, C., Burnett, R. T., Thun, M. J., Calle, E. E., Krewski, D., Ito, K., & Thurston, G. D. (2002). Lung Cancer, Cardiopulmonary Mortality, and Long-term Exposure to Fine Particulate Air Pollution. http://jama.jamanetwork.com/
Bechtel, R. B., & Wiley, J. (2002). HANDBOOK OF ENVIRONMENTAL PSYCHOLOGY.
Gifford, R. (2014). Environmental psychology matters. In Annual Review of Psychology (Vol. 65, pp. 541–579). Annual Reviews Inc. https://doi.org/10.1146/annurev-psych-010213-115048
Goines, L., & Hagler, L. (2007). Noise Pollution: A Modem Plague. www.lhh.org/noise
Steg & Groot. (2019). Environmental Psychology. http://psychsource.bps.org.uk
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.