Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Langkah-Langkah Waktu

Sastra | 2024-10-23 13:53:55
Dokumen pixabay.com


Sudut kamar ini terasa semakin sempit. Aku menatap jarum jam yang berdetak tanpa henti, mengukur setiap detik yang berlalu dengan presisi yang kejam. Setiap suara detikannya seperti cambuk yang melecut punggungku, mengingatkan betapa aku telah menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berlari.
Ya, berlari.

Bukankah itu yang selalu kulakukan? Berlari dari tanggung jawab, berlari dari kenyataan, berlari dari diriku sendiri. Semua orang bilang aku sukses – eksekutif muda di perusahaan multinasional, apartemen mewah di pusat kota, mobil sport yang membuatku tampak mapan. Tapi mengapa dadaku masih terasa kosong?
"Kamu harus berhenti sejenak, Rama," kata Ibu minggu lalu, suaranya lembut namun menusuk. "Hidup bukan tentang siapa yang sampai duluan."

Aku masih ingat bagaimana aku menganggap nasihat itu kuno, terlalu sederhana untuk dunia yang kompleks ini. Tapi malam ini, saat kutatap pantulan wajahku di jendela apartemen lantai 27, aku melihat seseorang yang asing. Lingkaran hitam di bawah mata, kerutan halus yang mulai terbentuk di sudut-sudut wajah, dan sorot mata yang kehilangan cahayanya.
Di meja kerjaku, tumpukan dokumen menanti untuk diselesaikan. Laptop masih menyala menampilkan puluhan email yang belum terjawab. Ponselku terus bergetar dengan notifikasi dari berbagai grup kerja. Dulu, semua ini membuatku merasa hidup. Sekarang, aku merasa seperti robot yang diprogram untuk terus berlari tanpa tujuan.

Kuambil secangkir kopi yang sudah mendingin, menyesapnya perlahan sambil mengingat perkataan mendiang kakekku. "Hidup itu seperti menikmati secangkir kopi, Rama. Kalau kamu minum terburu-buru, yang terasa hanya pahitnya. Tapi kalau kamu meminumnya pelan-pelan, kamu akan merasakan setiap lapisan rasanya."

Mendadak, memori masa kecil melintas di benakku. Saat itu, aku jatuh dari sepeda di depan rumah. Bukannya langsung membawaku ke dokter, Kakek malah mengajakku duduk di teras, mengamati luka di lututku yang berdarah.
"Lihat lukamu baik-baik, Rama," katanya sambil tersenyum. "Perhatikan bagaimana darahnya mengalir, bagaimana kulitmu yang tergores perlahan membentuk keropeng. Tubuhmu sedang bercerita, dan kamu harus menjadi pendengar yang baik."
Saat itu aku tidak mengerti. Yang kuinginkan hanya plester dan obat untuk menghilangkan rasa sakit. Tapi sekarang, dua puluh tahun kemudian, aku mulai memahami. Kakek mengajarkanku untuk tidak selalu mencari jalan pintas, untuk tidak selalu ingin cepat-cepat sampai.
Kuletakkan cangkir kopi, berjalan ke arah jendela. Kota Jakarta terbentang di bawahku, lautan lampu yang berkedip-kedip seperti bintang. Mobil-mobil bergerak seperti semut, tergesa-gesa mengejar waktu. Dulu, pemandangan ini membuatku bangga – merasa berada di atas segalanya. Sekarang, aku merasa kesepian di ketinggian ini.
Ponselku berdering lagi. Nama Sarah, tunanganku, muncul di layar. Sudah tiga kali dia menelepon hari ini, dan tiga kali pula aku mengabaikannya dengan alasan rapat penting. Padahal, aku hanya takut mendengar kekecewaannya. Takut mendengar pertanyaan kapan kami akan menikah, kapan aku akan mulai memprioritaskan hubungan kami di atas karirku.
"Berjalanlah, jangan berlari." Kata-kata itu kembali menggema dalam benakku, kali ini dengan kejelasan yang menakutkan. Selama ini, aku telah salah mengartikan kesuksesan. Kukira kesuksesan adalah tentang seberapa cepat aku bisa mencapai target, seberapa tinggi aku bisa memanjat tangga karir, seberapa banyak angka yang tertera di rekening bankku.
Tapi malam ini, saat keheningan memeluk dan kota mulai tertidur, aku mulai memahami bahwa hidup bukanlah tentang pelarian. Hidup adalah perjalanan yang harus dinikmati setiap langkahnya. Setiap pertemuan yang bermakna, setiap tawa yang tulus, setiap air mata yang mengajarkan ketabahan, setiap kegagalan yang membentuk karakter.
Kuambil ponselku, men-dial nomor Sarah. Suaranya terdengar terkejut ketika aku mengajaknya bertemu besok. "Tapi bukannya besok kamu ada presentasi penting?" tanyanya ragu.
"Ya," jawabku. "Tapi aku ingin sarapan denganmu sebelum itu. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan."
Untuk pertama kalinya dalam entah berapa lama, aku merasa damai. Besok, aku akan mulai berjalan. Berjalan dengan tempo yang tepat, menikmati setiap detik yang Tuhan berikan. Karena hidup terlalu berharga untuk dihabiskan dengan berlari.
Kumatikan laptop, membiarkan email-email itu menunggu sampai besok. Dokumen-dokumen di meja kubiarkan tertumpuk rapi. Untuk pertama kalinya sejak lama, aku memutuskan untuk tidur tepat waktu. Besok adalah hari baru, dan aku akan menjalaninya dengan cara yang berbeda.
Sebelum menutup mata, aku tersenyum mengingat kata-kata terakhir Kakek sebelum dia pergi: "Ingatlah, Rama. Yang tercepat sampai ke garis finish belum tentu yang paling bahagia. Kadang, yang paling bahagia adalah mereka yang menikmati setiap langkah dalam perjalanan."
Dan malam itu, dalam keheningan kamarku di lantai 27, aku akhirnya mengerti. Hidup memang sebuah perjalanan, bukan pelarian. Dan aku, untuk pertama kalinya, siap untuk berjalan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image