Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Di Balik Jejak yang Tertinggal

Sastra | 2024-10-22 19:38:33
Dokumen pixabay.com

Matahari senja menyisakan semburat jingga di ufuk barat ketika aku melangkah meninggalkan rumah itu. Rumah sederhana bercat putih gading dengan pagar besi yang sudah mulai berkarat di beberapa bagian. Halaman depannya ditumbuhi rumput manila yang selalu Ibu rawat dengan telaten setiap akhir pekan. Di sudut halaman, pohon mangga yang kutanam saat kelas enam SD masih berdiri kokoh, daunnya bergoyang pelan ditiup angin sore.
Selama dua puluh tujuh tahun, rumah ini menjadi saksi bisu perjalanan hidupku. Setiap sudutnya menyimpan kepingan memori yang kini terasa begitu menyesakkan. Ruang tamu dengan sofa biru tua yang mulai memudar, tempat aku biasa menghabiskan waktu mengerjakan tugas kuliah. Ruang makan dengan meja kayu jati warisan Nenek, tempat keluarga kami berkumpul setiap pagi dan malam. Bahkan aroma masakan Ibu yang menguar dari dapur masih terasa begitu familiar, mengingatkanku pada kehangatan yang sebentar lagi harus kutinggalkan.
Sebuah koper usang berisi beberapa helai pakaian adalah satu-satunya yang kubawa. Tidak ada foto, tidak ada kenangan, tidak ada masa lalu. Bahkan pigura foto keluluisanku yang tergantung di dinding ruang keluarga pun kutinggalkan. Aku telah memutuskan untuk meninggalkan semuanya di belakang.
"Kamu yakin dengan keputusan ini, Nak?" suara Ibu terdengar bergetar. Wanita yang telah membesarkanku itu berdiri di ambang pintu, tangannya menggenggam sapu tangan putih yang sudah basah oleh air mata. Di sampingnya, Ayah berdiri dalam diam, wajahnya keras seperti batu, tapi aku bisa melihat kesedihan yang dalam di matanya.
Ya, aku yakin. Sangat yakin. Karena aku tahu, perjalanan akan menjadi jauh lebih mudah jika aku tidak membawa masa laluku.
***
Enam bulan yang lalu, duniaku masih sempurna. Setidaknya itu yang kupikirkan. Sebagai kepala divisi keuangan di PT Mitra Sejahtera International, perusahaan multinasional yang bergerak di bidang properti, aku merasa telah mencapai puncak karir di usia yang relatif muda. Gaji yang lebih dari cukup, mobil dinas yang mewah, dan apartemen di kawasan elite Jakarta Selatan, semua terasa seperti bukti bahwa kerja kerasku selama ini tidak sia-sia.
Diana, tunanganku, adalah putri seorang pengusaha tekstil ternama. Kami bertemu di sebuah acara amal dua tahun lalu dan langsung merasa cocok. Dia cantik, cerdas, dan memiliki selera humor yang sama denganku. Kami berencana menikah tahun depan, bahkan sudah memesan gedung dan mengurus segala persiapannya.
Namun, seperti pohon yang tumbuh di atas fondasi rapuh, kesempurnaan itu akhirnya runtuh dalam sekejap mata.
Semua bermula dari sebuah file yang tidak sengaja kutemukan saat mengaudit laporan keuangan tahunan. Serangkaian transaksi mencurigakan senilai puluhan miliar rupiah tercatat sebagai "biaya operasional" namun tanpa rincian yang jelas. Naluri akuntanku langsung bekerja. Aku mulai menggali lebih dalam, mengumpulkan data, menganalisis setiap angka.
Selama dua minggu, aku bekerja diam-diam hingga larut malam di kantor. Mengumpulkan bukti-bukti, menyusun kronologi, dan membangun kasus. Yang kutemukan sungguh mengejutkan: ada penggelapan dana sistematis yang melibatkan hampir seluruh jajaran direksi. Dana investor dialihkan ke rekening-rekening pribadi melalui serangkaian transaksi rumit yang disamarkan sebagai biaya operasional.
Dengan keyakinan bahwa kebenaran harus ditegakkan, aku menyusun laporan lengkap dan membawanya ke dewan komisaris. "Ini tuduhan serius," kata Pak Hendra, ketua dewan komisaris, sambil membolak-balik berkas laporanku. "Kami akan menindaklanjuti ini."
Tapi aku lupa bahwa dalam permainan kekuasaan, kebenaran seringkali menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. Dalam hitungan hari, bukti-bukti yang kukumpulkan menghilang. Saksi-saksi yang kukumpulkan tiba-tiba mengubah kesaksian mereka. Dan yang paling mengejutkan, aku justru dituduh sebagai dalang dari penggelapan dana tersebut.
"Maaf, kami terpaksa memberhentikan Anda," kata manajer HRD dengan wajah datar, menyodorkan surat pemecatan di atas meja. "Dan pihak direksi akan menempuh jalur hukum atas tuduhan pencemaran nama baik perusahaan."
Diana awalnya percaya padaku. Dia bahkan menawarkan bantuan pengacara dari keluarganya. Tapi tekanan dari keluarganya yang terpandang terlalu besar untuk ditanggung. "Kami tidak ingin nama baik keluarga tercoreng," kata ayahnya tegas. Perlahan tapi pasti, Diana mulai menjauh. Hingga suatu pagi, kutemukan cincin pertunangan kami tergeletak di meja apartemen, ditemani sepucuk surat yang hanya berisi dua kalimat: "Maafkan aku. Semoga kamu menemukan kebahagiaanmu."
***
Kini, berdiri di peron stasiun dengan tiket kereta di tangan, aku merasa seperti selembar kertas kosong yang siap ditulisi cerita baru. Aroma kopi dari gerai mini market stasiun bercampur dengan bau khas kereta api yang baru tiba. Suara pengumuman keberangkatan bergema di langit-langit stasiun, berbaur dengan hiruk-pikuk penumpang yang berlalu-lalang.
"Kereta api tujuan Surabaya akan berangkat dari jalur dua dalam lima menit," suara pengumuman menggema, menyadarkanku dari lamunan.
Ya, masa lalu telah membentukku menjadi siapa aku hari ini. Tapi masa lalu tidak harus menentukan siapa aku di masa depan. Surabaya, kota yang sama sekali asing bagiku, akan menjadi tempat memulai lembaran baru.
Kereta mulai bergerak perlahan. Dari jendela, aku melihat kota Jakarta yang selama ini menjadi rumahku semakin menjauh. Gedung-gedung pencakar langit yang dulu membuatku bangga kini terlihat seperti siluet kelabu di kejauhan. Ada rasa sesak yang aneh di dada, campuran antara kesedihan dan kelegaan.
Di luar jendela, lampu-lampu kota mulai menyala satu persatu, berkedip seperti kunang-kunang di malam gelap. Mungkin suatu hari nanti aku akan kembali. Mungkin suatu hari nanti aku akan cukup kuat untuk menghadapi semua ini. Tapi untuk sekarang, aku memilih untuk meninggalkannya. Karena perjalanan akan menjadi jauh lebih mudah, jika kamu tidak membawa masa lalumu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image