Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Pertarungan Sunyi (Cerpen)

Sastra | 2024-10-22 14:11:40

Senja memeluk kota dengan cahaya kemerahannya, menyusup melalui celah-celah jendela kamar yang pengap. Di sudut ruangan itu, selembar kertas tergeletak nanar di atas meja belajar  sebuah surat penolakan beasiswa yang telah merampas harapan terakhirnya. Arina menatap kosong ke arah langit yang mulai menggelap, membiarkan pikirannya berkelana ke berbagai sudut kemungkinan yang kini terasa semakin menjauh.

Tiga tahun. Seribu sembilan puluh lima hari yang dihabiskannya dengan mata terpaku pada buku-buku bahasa Jepang. Ratusan jam yang dilaluinya dengan telinga setia mendengarkan rekaman percakapan. Ribuan kosakata yang dihafalkannya hingga tengah malam. Semua itu kini seakan menguap, lenyap bersama mimpi-mimpinya yang telah hancur berkeping-keping.

Di lantai bawah, suara mesin jahit berdetak konstan, mengisi keheningan rumah dengan irama monoton yang familiar. Suara itu adalah pengingat akan pengorbanan tak berujung seorang ibu - pengorbanan yang kini terasa sia-sia. Setiap ketukan mesin jahit seolah menggetarkan rasa bersalah yang semakin mengakar dalam di dadanya.

Malam merangkak masuk, membawa serta kegelapan yang mencekam. Namun kegelapan di luar tak seberapa dibanding gulita yang kini menyelimuti pikirannya. Berbagai pertanyaan bergema dalam benaknya: Mengapa usaha keras tidak selalu berbuah manis? Mengapa takdir seakan senang mempermainkan mereka yang sudah berjuang? Mengapa mimpi harus dibatasi oleh kenyataan yang begitu kejam?

Matanya tertumbuk pada kalender di dinding, pada tanggal yang dilingkari dengan spidol merah -deadline pendaftaran beasiswa tahun depan. Angka-angka itu kini terasa mengejek, menertawakan kenaifannya yang masih berani bermimpi. Bagaimana mungkin ia bisa mencoba lagi? Tabungan ibunya sudah terkuras untuk biaya kursus dan persiapan dokumen. Setiap lembar uang yang terpakai adalah hasil dari jemari yang telah mulai keriput itu, yang tak kenal lelah menjahit hingga larut malam.

Namun di tengah keputusasaan itu, sebuah memori menyeruak ke permukaan. Kenangan akan mendiang ayahnya yang selalu berkata bahwa hidup adalah tentang bagaimana kita bangkit setelah terjatuh. Kata-kata itu dulu terasa seperti klise murahan, tapi kini mulai meresap ke dalam sanubarinya, memberikan secercah cahaya dalam kegelapan yang menyelimuti.

Perlahan, ia bangkit dari tempat tidur, melangkah menuju meja belajar. Tangannya meraih sebuah buku catatan usang - jurnal hariannya yang telah lama terlupakan. Dalam keheningan malam, pena mulai menari di atas kertas, menuangkan segala pergumulan batin yang selama ini terpendam:

"Mungkin mimpi memang bukan sesuatu yang bisa dipetik begitu saja dari pohon kehidupan. Ia adalah benih yang harus ditanam dengan air mata, dipupuk dengan keringat, dan dirawat dengan kesabaran tak berbatas. Kegagalan bukan akhir dari segalanya, melainkan ujian untuk melihat seberapa dalam akar mimpi itu tertanam dalam jiwa kita."

Malam demi malam berlalu, membawa serta transformasi yang tak kasat mata. Setiap penolakan yang diterimanya perlahan berubah menjadi batu pijakan. Setiap air mata yang jatuh menjadi pupuk bagi ketangguhannya yang kian tumbuh. Dalam setiap ketukan mesin jahit ibunya, ia menemukan irama perjuangan yang memberikannya kekuatan untuk terus melangkah.

Enam bulan kemudian, takdir membuka jalan lain. Sebuah kesempatan magang di perusahaan Jepang muncul bagaikan oasis di padang gurun. Bukan beasiswa yang ia impikan, tapi ini adalah tangga pertama menuju puncak yang ia tuju. Keputusan untuk meninggalkan kota kelahiran bukanlah hal mudah, namun ia telah belajar bahwa mimpi terkadang menuntut pengorbanan yang lebih besar dari yang kita bayangkan.

Dua tahun berlalu bagai hembusan angin. Kini ia berdiri di Bandara Narita, menggenggam erat dokumen-dokumen pendaftaran kuliah. Bukan lagi sebagai gadis naif yang hanya bisa bermimpi, tapi sebagai wanita tangguh yang telah menempa diri dalam tungku perjuangan. Tabungan hasil kerja kerasnya selama ini akhirnya membuka pintu yang dulu terkunci rapat.

Di tangannya tergenggam sebuah jurnal baru, halaman pertamanya bertuliskan: "Impian tidak pernah datang pada mereka yang hanya bisa menunggu. Ia datang pada mereka yang berani bangkit setelah terjatuh, yang tetap melangkah meski tertatih, yang tetap percaya meski dunia meragukan. Karena pada akhirnya, perjuangan dalam sunyi akan selalu menemukan jalannya menuju cahaya."

Pesawat lepas landas membawa serta harapan baru. Di rumah sederhana itu, mesin jahit masih setia berdetak, kini menjahit mimpi-mimpi baru yang mulai berani tumbuh. Karena mereka telah memahami bahwa impian sejati tidak pernah mati - ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk mekar, dibawah naungan tekad yang tak pernah padam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image