Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nanda Nurlina

Nusyuz dalam Alquran: Memahami Hak dan Kewajiban Suami-Istri

Agama | 2024-10-22 09:03:07

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga. Seorang laki-laki dan perempuan yang telah melaksanakan pernikahan akan membentuk keluarga kecil yang memiliki tujuan dan tanggung jawab dalam pernikahannya. Di antara tujuan pernikahan ialah untuk mendapatkan ketenangan dan perlindungan dari kedua belah pihak, serta mengembangkan manusia dengan segala unsur yang mendukungnya. Sedangkan tanggung jawab pernikahan dipikul atau dibebankan kepada suami dan istri sesuai fungsi dan peran masing-masing.

Keluarga sebagai sebuah organisasi yang memiliki setidaknya dua anggota di dalamnya, pasti mengalami permasalahan. Semakin banyak anggota sebuah keluarga, maka semakin besar pula potensi terjadinya konflik. Penyebab terjadinya konflik terkadang bisa karena perbedaan kepentingan atau cara pandang suatu persoalan dalam keluarga. Permasalahan-permasalahan dalam keluarga bisa dimunculkan oleh seluruh anggota keluarga, baik suami, istri maupun anak. Salah satu permasalahan dalam keluarga yang dimunculkan oleh suami maupun istri adalah nusyuz.

Para ulama memberikan berbagai penjelasan mengenai makna kata nusyuz. Di antaranya, Sayyid Quthb yang menyatakan bahwa makna nusyuz secara bahasa mengungkapkan suatu gambaran kondisi kejiwaan pelaku. Seseorang yang melakukan tindakan nusyuz adalah orang yang menonjolkan dan meninggikan dirinya dengan melakukan pelanggaran dan kedurhakaan.

Penggunaan istilah nusyuz pada suami dan istri dalam al-Qur‟an menunjukkan bahwa nusyuz adalah tindakan meninggalkan kewajiban bersuami istri. Nusyuz mempunyai makna yang lebih kuat daripada sekedar pengabaian kewajiban sebagai suami istri. Dengan kata lain, nusyuz baik yang dilakukan oleh suami maupun istri adalah pengabaian kewajiban berumah tangga yang berdampak serius bagi kelangsungan pernikahan.

Penyelesaian Nusyuz Berdasarkan al-Qur’an

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

Artinya: Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab) atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz) berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.(Q.S. An-Nisa [4]: 34)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir (1/703) disebutkan bahwa kaum laki-laki memiliki posisi sebagai pemimpin bagi kaum wanita. Ini karena beberapa alasan, pertama, Allah telah memberikan kesenangan dan kekuasaan tertentu kepada sebagian manusia (termasuk laki-laki) atas sebagian yang lain (termasuk perempuan). Kedua, karena laki-laki telah menafkahkan sebagian dari hartanya untuk kelangsungan hidup dan kebaikan ummat. Oleh karena itu, wanita yang shaleh adalah orang yang taat kepada Allah dan menjaga dirinya sendiri saat suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka.

Selanjutnya, ayat ini juga memberikan instruksi tentang bagaimana menghadapi perilaku nusyuz(durhaka) dari istri. Jika ada istri yang dinilai potensial melakukan nusyuz, maka suami harus menasihati dan mengingatkan mereka. Bila masih belum berhasil, maka suami boleh memisahkan diri dari tempat tidurnya dan bahkan memberikan hukuman ringan seperti pukulan. Namun, jika istri sudah mentaati, maka suami tidak boleh mencari-cari kesalahannya lagi. Ayat ini ditutup dengan kalimat "sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar," untuk mengingatkan bahwa semua otoritas dan keputusan akhir tetap ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa."

Mengenai nusyuz suami, Allah berfirman dalam (QS. Anisa [4]: 128)

وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۗوَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗوَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

Artinya: Jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz) atau bersikap tidak acuh, keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya) Perdamaian itu lebih baik (bagi mereka), walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir) Jika kamu berbuat kebaikan dan memelihara dirimu (dari nusyuzdan sikap tidak acuh) sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. Anisa [4]: 128)

Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan tentang keadaan nusyuz yang timbul dari pihak istri dan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mengembalikan ketaatannya pada suami demi keutuhan rumah tangga. Selanjutnya, pada ayat 128 dijelaskan dalam Tafsir Al-Misbah (12/604-605)tentang keadaan nusyuz yang dikhawatirkan muncul dari pihak suami dan dapat mengancam ketentramanistri serta menghancurkan keutuhan rumah tangga.

Ketika seorang istri khawatir suaminya melakukan nusyuz, Allah menganjurkan baginya untuk mengadakan perdamaian. Perdamaian yang dimaksudkan di sini menurut sebagian besar ulama adalah dengan merelakan sebagian hak yang seharusnya didapatkan oleh seorang istri dari suami. Misalnya, istri rela tidak diberi nafkah oleh suaminya asalkan suami tidak menceraikannya. Meskipun sebenarnya pemberian nafkah adalah kewajiban suami kepada istri, namun jika demi menyelamatkan keutuhan rumah tangga maka tindakan seperti ini dibenarkan. Sebagian hak lain seperti melepaskan giliran malamnya untuk istri lain jika suami memiliki istri lebih dari satu.

Kata syuḥ berarti kikir, pada awalnya kata ini digunakan untuk menunjukkan kekikiran dalam hal harta benda. Namun, pada ayat ini kikir yang dimaksud ialah kikir dalam hal perasaan dan menjadikannya enggan merelakan atau mengorbankan sebagian haknya.

Selanjutnya, Allah memberi isyarat bahwa jika para suami memilih cara yang bijak dengan bersikap baik kepada istri layaknya muamalah Rasulullah kepada istri- istrinya atau paling tidak berbuat baik sesuai kemampuannya, maka Allah Maha Mengetahui apa yang diusahakan hambanya. Allah tidak akan membiarkan hambanya bersusah payah tanpa memberinya imbalan atas apa yang dikerjakannya. Oleh karena itu, baik suami maupun istri yang berusaha menghindari sifat kikir dalam dirinya karena mengharap ridha Allah, tentu akan memperoleh kebahagiaan di sisi-Nya. Begitu juga jika suami maupun istri berusaha menghindari prilaku nusyuzdalam rumah tangga dan memperlakukan pasangannya sesuai yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya, maka Allah menjanjikan imbalan kebahagiaan kepada mereka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image