Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Iwan Rudi Saktiawan

Ekonomi Syariah, Ramuan Manjur Kesenjangan Sosial Indonesia

Ekonomi Syariah | 2025-01-17 21:38:00

Ekonomi Indonesia sedang sakit, yang ditandari dengan tingginya kesenjangan sosial. Permasalahan kesenjangan sosial tersebut diantaranya adalah sebagaimana yang dilaporkan oleh Center of Economic and Law Studies (Celios), kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang di Indonesia. Kabar gembiranya, alhamdulillah obatnya sudah ada, dan insya Allah manjur karena ada ramuan ekonom syariah (Eksyar) di dalamnya.

Mengapa Eksyar dinilai manjur sebagai sebagai solusi atas kesenjangan sosial?

Pertama, dalam Eksyar ada dana sosial seperti zakat dan infaq, yang dapat mengurangi kemiskinan sehingga kesenjangan sosial mengecil. Yang kedua, bila dana komersial dilaksanakan sesuai Eksyar maka akan dapat mengatasi masalah kesenjangan sosial. Bila dana komersial dilaksanakan sesuai eksyar, maka dampaknya akan luar biasa, karena jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan dana sosial Islam. Salah satu model pengelolaan dana komersial dalam eksyar yang dapat mengurangi kesenjangan sosial adalah sistem ekonomi nonriba.

Untuk lebih memahamai bahwa sistem nonriba dapat mengatasi kesenjangan sosial, maka secara ringkas diulas makna riba dalam konteks pembayaran tangguh atau perguliran dana pada lembaga keuangan. Dalam konteks ini, riba menurut Badruddin al-Ayni definisi riba adalah penambahan atas harga pokok tanpa adanya transaksi bisnis [sektor] riil. MUI dalam fatwa nomor 1 tahun 2004 mendefisinikan riba adalah “bilaa iwadh” (tanpa iwadh). MUI menerjemahkan iwadh sebagai “imbalan” sedangkan Badruddin al-Ayni menerjemahkan iwadh dengan frasa bisnis riil.

Tanpa iwadh adalah frasa kunci untuk arti riba. Dengan demikian maka sesuatu disebut riba bukan karena besar kecilnya nominal pengambilan keuntungan oleh lembaga keuangan dalam perguliran dana. Faktor penentu terkategori riba atau bukan, ada pada iwadh atau underlying asset/transaction. Iwadh adalah imbangan/padanan atau sektor riil yang halal diambil keuntungannya. Sebaliknya, bila mengambil keuntungan tanpa iwadh, maka terkategori riba.

Oleh karena itu, pengambilan keuntungan oleh bank syariah dari perguliran dananya tidak dikategorikan riba. Hal itu karena bank syariah tidak mengambil keuntungan dari meminjamkan uang, namun mengambil keuntungan dari jual beli, kerjasama bagi hasil, sewa-menyewa, dan sektor riil lainnya.

Untuk memahami lebih lanjut konsep iwadh, maka kita bahas sekilas tentang konsep pasar yang secara umum terbagi dua. Yang pertama adalah pasar uang (PU), serta yang kedua adalah pasar barang dan jasa (PBJ). Pada sistem ekonomi non riba, PU dan PBJ tersambung, yang karenanya ketika ada penambahan nilai (keuntungan) pada PU maka harus melibatkan PBJ.

Bila digambarkan dengan tabel, maka akan seperti berikut:

Dari tabel tersebut, maka terlibat bahwa pengambilan (terjadinya) keuntungan hanya boleh ketika melibatkan PBJ. Sehingga terjadinya keuntungan boleh terjadi melalui:

• PBJ x PBJ (barter)

• PBJ x PU (jual beli, pengupahan, sewa, bisnis, dll)

Sebagai ilustrasi, mari kita bandingkan akad jual beli pada bank syariah dan akad pinjaman pada bank konvensional. Pada bank syariah, akadnya adalah bank membeli barang dari penyedia barang lalu menjualnya ke nasabah, keuntungan bank adalah selisih (margin) jual – beli barang tersebut. Sedangkan di bank konvensional, akadnya adalah bank meminjamkan uang ke nasabah, yang karena nasabah telah menerima uang tersebut, maka telah jatuh kewajiban nasabah untuk membayar bunga ke bank konvensional. Uang yang diterima oleh nasabah pada bank konvensional, memang pada akhirnya akan dibelanjakan. Namun dimungkinkan ada kondisi, di mana uang belum bertukar dengan barang atau jasa, namun bunga tetap harus dibayarkan kepada bank konvensional. Dengan kata lain ada kondisi di mana meskipun uang tidak bertukar dengan barang/jasa, keuntungan (nila tambah) dapat terjadi. Hal ini berbeda dengan bank syariah. Pada bank syariah, keuntungan hanya boleh terjadi, ketika uang sudah ditukar dengan barang atau jasa.

Dengan demikian, pada sistem ekonomi konvensional, PU bisa berkembang pesat tanpa diiringi oleh perkembangan PBJ. Sedangkan pada Eksyar, perkembangan PU harus selalu terkoneksi/beriring dengan perkembangan PBJ.

Apa kaitannya PU dan PBJ dengan kesenjangan sosial?

PBJ adalah ranah di mana diperlukan kerja keras dan pengorbanan waktu untuk mendapatkan keuntungan/upah. Sedangkan PU yang tidak terkoneksi dengan PBJ adalah ranah di mana orang bisa mendapatkan keuntungan tanpa harus bekerja keras, atau mengorbankan waktu. PU adalah tempat di mana orang-orang yang kaya berada dan hanya sedikit dari kalangan menengah dan bawah yang bisa mengakses PU. Mayoritas kalangan menengah dan bawah umumnya berada di ranah PBJ.

Ketika sistem yang ada adalah membiarka PU tumbuh pesat tanpa ada interaksi dengan PBJ, maka para orang kaya akan semakin kaya dan jumlah kekayaannya jauh meninggalkan jumlah harta orang miskin, sementara kalangan menengah dan bawah tidak bertambah kekayaannya karena PBJ tidak bergerak (menghasilkan nilai tambah). Dengan demikian, terjadilah kesenjangan ekonomi yang semakin lebar. Orang kaya bisa cepat menggandakan kekayaannya, sementara orang miskin butuh puluhan kali waktu hanya untuk sekedar keluar dari kemiskinan sebagaimana laporan CELIOS. Dari laporan CELIOS, bila merujuk kondisi saat ini, maka dalam kurun waktu 6 tahun ke depan, Indonesia akan memiliki kuadriliuner pertama dalam sejarah. Sementara itu, butuh waktu 133 tahun untuk menghilangkan kemiskinan di Indonesia.

Dengan sistem ekonomi non riba, maka adanya pendapatan dari PU hanya dimungkinkan ketika melibatkan PBJ. Sehingga para pemilik dana, yang umumnya orang kaya hanya akan berinvestasi pada sektor-sektor yang mendorong sektor riil (PBJ). Tidak akan terjadi PU berkembang pesat sementara PBJ tidak berkembang. Dengan demikian berkembangnya PU akan selalu diikuti dengan berkembangnya PBJ. Secara tidak langsung, peningkatan kekayaan orang kaya, akan diikuti oleh kelas menengah dan bawah karena PBJ ikut berkembang juga. Dengan demikian, kesenjangan sosial akan mengecil. Selain itu, dengan sistem ekonomi non riba, maka sektor riil terdorong untuk berkembang pesat, bahkan sektor riil menjadi basis perkembangan ekonomi.

Memang obat penyembuh kesenjangan sosial tidak hanya Eksyar. Ada hal-hal yang lain yang diperlukan untuk mengatasi kesenjangan sosial seperti penyempurnaan sistem pajak, pembukaan lapangan pekerjaan, dan lain-lain. Namun ada yang berbeda pada pemerintahan ke depan dan seterusnya, karena Eksyar untuk pertamakalinya masuk ke Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025 - 2045. Dengan demikian, RPJPN yang sekarang diharapkan menjadi lebih manjur mengatasi kesenjangan sosial dibandingkan dengan sebelumnya karena ada Eksyar di dalamnya.

Bila dulu sempat populer sebuah jargon “intel inside” untuk menunjukkan komputer yang berkualitas, maka Indonesia memiliki harapan baru karena “Eksyar Inside.”

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image