Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Admin Eviyanti

Sertifikasi Berujung Komersialisasi

Politik | 2024-10-21 07:48:10

Oleh Aas K

Aktivitas Muslimah

Jaminan halal sangat penting bagi umat Islam pada setiap produk yang digunakan. Terutama dalam hal makanan dan minuman tidak boleh diabaikan oleh pemerintah. Apalagi Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk muslim.

Sebagaimana dilansir oleh media online Wartabanjar.com, hari Selasa (01-10-2024), Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan temuan mengejutkan terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial. Seperti Tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Merespon temuan tersebut, BPJPH Kementerian Agama Republik Indonesia menegaskan, polemik yang terjadi di media sosial saat ini adalah terkait nama produk yang digunakan. Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mamat Selamat Burhanudin mengatakan produk tersebut telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapat ketetapan hal-hal sesuai mekanisme yang berlaku.

Sertifikasi halal pada produk-produk dengan nama produk yang menunjukkan sebutan sesuatu yang tidak halal memang kini menjadi perbincangan. Mirisnya, hal tersebut dianggap aman dan tidak masalah. Karena zatnya halal apalagi adanya model self declare yang merupakan klaim halal dari perusahaan itu sendiri yang berlaku seumur hidup tentu menimbulkan kekhawatiran atas jaminan kehalalannya.

Inilah model sertifikasi halal dalam sistem kapitalis, nama tidak menjadi asas kehalalan produk. Padahal nama tersebut sudah jamak dipakai untuk produk tidak halal yang masih beredar di pasaran. Tentu hal ini berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan, karena persoalannya adalah halal haramnya suatu benda yang dalam Islam merupakan persoalan prinsip.

Fenomena seperti ini bukan hal yang aneh muncul dalam negara yang tegak di atas asas sekularisme yakni pemisahan agama dari kehidupan. Negara berparadigma sekuler bisa dipastikan abai terhadap penjagaan aqidah rakyatnya, khususnya terhadap umat Islam. Jangankan masalah penamaan yang menyamakan produk halal dan haram, hingga hari ini pemerintah masih membiarkan produk haram beredar di pasaran.

Negara hanya mencukupkan penyediaan layanan sertifikasi halal berbayar untuk membantu umat Islam membedakan produk halal dan haram, itu pun diserahkan kepada produsen jika mereka mau dan sanggup membayar, mereka bisa menggunakan layanan tersebut untuk mendapatkan sertifikat halal. Namun, jika mereka tidak sanggup meskipun produknya halal, sampai kapanpun produk yang dihasilkan tidak akan mendapatkan sertifikat halal.

Adapun terkait konsumsi negara juga cenderung menyerahkan kepada masing-masing konsumen Muslim. Tidak ada hukum yang mengatur bagi Muslim yang mengonsumsi produk haram atau produk tanpa sertifikat halal. Semua ini menjadi bukti nyata bahwa negara berparadigma sekuler gagal menjamin kehalalan setiap produk yang dikonsumsi masyarakat. Sebaliknya negara tampak memanfaatkan sertifikasi halal ini sebagai ladang bisnis. Karena munculnya permintaan yang cukup besar dari kalangan muslim untuk memastikan kehalalan produk yang mereka konsumsi.

Tentu tak lekang dari ingatan kita bahwa proses sertifikasi halal yang dulunya di inisiasi dan dikendalikan oleh MUI telah diambil alih oleh pemerintah. Tidak dimungkiri bahwa sertifikasi halal menjadi ladang cuan, mengingat prosesnya yang harus dilakukan secara berkala bukan di awal saja. Artinya pemerintahan sekuler yang memberikan label atau sertifikat halal pada suatu produk sejatinya tidak didorong oleh keimanan kepada Allah SWT. Namun, karena faktor ekonomi dan materialistic. Oleh karena itu persoalan utamanya adalah hadirnya negara yang berparadigma sekuler sehingga melahirkan kebijakan sekuler yang merugikan umat Islam.

Berbeda dengan Islam yang menyandarkan segala aturan dan kebijakannya pada Al-Qur'an dan As-sunnah. Oleh karena itu negara hadir di tengah umat sebagai pelaksana syariat Islam. Negara berperan penting dalam menjaga dan melindungi umat salah satu implikasinya adalah negara memastikan rakyatnya jauh dari benda dan perbuatan haram.

Sebagaimana diketahui Islam memiliki aturan rinci tentang benda atau zat yang kemudian dibedakan menjadi halal boleh dikonsumsi dan haram tidak boleh dikonsumsi. Kehalalan dan keharaman suatu benda atau zat disandarkan pada dalil-dalil syariat bukan pada akal manusia, kemanfaatan hawa nafsu, apalagi nilai materi sebagai penjaga aqidah umat.

Negara Islamlah yang memiliki kewajiban menjamin kehalalan benda yang dikonsumsi manusia. Jaminan ini diwujudkan negara diantaranya dengan memberikan jaminan halal pada setiap produk yang diproduksi dan didistribusikan layanan tersebut menjadi tanggung jawab negara, bukan produsen. Oleh karena itu, Negara memberikan layanan tersebut dengan biaya murah bahkan gratis, memastikan kehalalan dan setiap benda atau makanan dan minuman yang akan dikonsumsi manusia.

Negara akan menugaskan para poli hisbah untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar tempat pemotongan hewan gudang pangan atau pabrik. Para kodi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase. Jika terjadi peredaran barang haram di pasar baik pelakunya muslim atau nonmuslim, maka negara memberlakukan sanksi ta'zir kepada mereka.

Adapun bagi ahli zimah atau kafir dzimmi, Negara membebaskan mereka mengonsumsi makanan atau minuman menurut agama mereka, tetapi produk-produk tersebut hanya dapat diperjualbelikan di antara mereka bukan di tempat umum baik toko atau pasar umum.

Sungguh penerapan syariat Islam oleh negara berparadigma Islam akan memberikan rasa tenang di dalam jiwa seluruh rakyat negara khilafah, sebab umat Islam dijamin keterikatannya dengan syariat Islam kaffah oleh negara.

Wallahu'alam bissawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image