Langkah Pulang
Sastra | 2024-10-20 15:17:55
Rani melangkah mantap menembus keramaian Jalan Sudirman. Gemerlap lampu kota menerangi wajahnya yang kini dipenuhi tekad. Lima tahun di Jakarta telah mengubahnya, membentuknya menjadi sosok yang lebih tangguh dan bijaksana. Namun, di balik keteguhan hatinya, masih tersisa secercah keraguan.
Langkahnya terhenti di depan sebuah gedung pencakar langit. Kantor tempatnya bekerja selama tiga tahun terakhir menjulang tinggi, seolah menantang langit Jakarta. Rani menengadah, menatap logo perusahaan yang bersinar terang di puncak gedung. Sejenak, pikirannya melayang pada tawaran promosi yang baru saja ia terima siang tadi.
"Manajer Pemasaran," gumamnya pelan, mengecap setiap suku kata dari jabatan yang ditawarkan padanya. Posisi yang selama ini ia impikan, yang ia kejar dengan segala daya dan upayanya. Namun, mengapa hatinya justru terasa berat?
Rani merogoh tasnya, mengeluarkan ponsel dan membuka pesan terakhir dari ibunya. "Nak, kapan kamu pulang? Bapakmu sakit, ingin bertemu denganmu." Pesan singkat itu seolah menghantam dadanya, mengingatkannya akan harga yang harus ia bayar untuk mengejar mimpinya di kota besar.
Ia melangkah ke arah taman kecil di samping gedung, duduk di bangku kayu yang menghadap air mancur. Suara gemericik air menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Di satu sisi, promosi ini adalah kesempatan emas yang tak boleh ia sia-siakan. Di sisi lain, kerinduan akan kampung halaman dan keluarganya semakin mendera.
"Ada begitu banyak cara untuk maju," bisiknya pada diri sendiri, mengingat kata-kata motivasi yang sering ia baca. Ya, ia bisa menerima promosi ini, bekerja lebih keras lagi, dan mungkin dalam beberapa tahun bisa mencapai posisi direktur. Atau ia bisa mencari peluang di perusahaan lain yang mungkin menawarkan gaji lebih tinggi. Bahkan, ia bisa memulai bisnisnya sendiri, menerapkan semua pengalaman dan pengetahuan yang telah ia dapat selama ini.
Namun, di tengah semua pilihan untuk maju itu, ada satu pilihan yang terus menggoda: pulang ke Belitong. Kembali ke pelukan keluarga, ke kehidupan yang lebih sederhana namun penuh kedamaian. "Hanya ada satu cara untuk tetap diam," pikirnya. Tetap di zona nyaman, tidak mengambil risiko, tidak mengejar perubahan.
Angin malam Jakarta berhembus lembut, membawa aroma khas kota besar - campuran antara asap kendaraan, makanan jalanan, dan parfum pejalan kaki yang berlalu lalang. Rani memejamkan mata, membayangkan aroma laut dan pasir Belitong yang begitu ia rindukan.
Pikirannya melayang pada perjalanannya selama lima tahun terakhir. Setiap tantangan yang ia hadapi, setiap air mata yang ia teteskan, setiap keberhasilan kecil yang ia raih, semua itu telah membentuknya menjadi wanita yang ia banggakan hari ini. Jakarta mungkin keras, tapi kota ini juga telah mengajarkannya banyak hal.
Rani membuka matanya, menatap pantulan dirinya di air mancur. Ia melihat sosok yang jauh berbeda dari gadis Belitong yang datang ke Jakarta lima tahun lalu. Lebih tegar, lebih percaya diri, namun juga lebih bijaksana dalam memaknai hidup.
"Mungkin," pikirnya, "maju tidak selalu berarti mengejar jabatan atau materi." Maju bisa juga berarti berkembang sebagai manusia, memahami diri sendiri lebih dalam, dan menemukan keseimbangan antara ambisi dan kebahagiaan.
Dengan pemikiran itu, Rani bangkit dari bangku taman. Ia mengeluarkan ponselnya lagi, kali ini untuk menelepon ibunya. Setelah tiga kali nada sambung, suara lembut yang ia rindukan menyapa telinganya.
"Halo, Ma," kata Rani, suaranya sedikit bergetar.
"Rani? Nak, kamu baik-baik saja?" tanya ibunya, nada khawatir terdengar jelas.
Rani menarik napas dalam-dalam. "Iya, Ma. Rani baik-baik saja. Ma, Rani... Rani mau pulang."
Hening sejenak di ujung telepon, sebelum suara ibunya kembali terdengar, kali ini diiringi isakan haru. "Kapan, Nak? Bapakmu pasti senang mendengar ini."
"Minggu depan, Ma," jawab Rani mantap. "Rani akan mengambil cuti panjang. Ada... ada yang perlu Rani pikirkan."
Setelah menutup telepon, Rani merasa beban di pundaknya sedikit terangkat. Ia belum membuat keputusan final, tapi setidaknya ia telah memutuskan untuk mengambil langkah. Bukan langkah maju dalam arti konvensional, tapi langkah untuk menemukan dirinya kembali.
Keesokan harinya, Rani menemui atasannya. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menyerahkan surat permohonan cuti panjangnya.
"Kamu yakin, Rani?" tanya atasannya, alis terangkat heran. "Bagaimana dengan tawaran promosi itu?"
Rani tersenyum tipis. "Saya perlu waktu untuk memikirkannya, Pak. Ada beberapa hal yang harus saya selesaikan dulu."
Atasannya mengangguk paham. "Baiklah. Tapi ingat, kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Jangan sampai menyesal nanti."
Kata-kata itu mengiang di telinga Rani saat ia membereskan barang-barangnya. Menyesal? Mungkin. Tapi bukankah hidup penuh dengan pilihan? Dan setiap pilihan pasti memiliki konsekuensinya masing-masing.
Seminggu kemudian, Rani berdiri di Bandara Soekarno-Hatta, tas koper di sisinya. Ia menatap papan keberangkatan, mencari jadwal penerbangannya ke Tanjung Pandan. Hatinya berdebar, campuran antara antisipasi dan keraguan.
Saat pesawat lepas landas, Rani memandang keluar jendela. Jakarta perlahan menghilang dari pandangan, digantikan oleh hamparan awan putih. Ia tersenyum, menyadari bahwa ini bukan akhir dari petualangannya, melainkan awal dari babak baru.
Di Belitong, Rani disambut oleh pelukan hangat keluarganya. Aroma laut yang familiar menyapa penciumannya, membawanya kembali ke masa kecil yang penuh keceriaan. Selama sebulan berikutnya, ia menghabiskan waktu merawat ayahnya yang sakit, berbincang panjang dengan ibunya, dan merenung di tepi pantai.
Jauh dari hiruk pikuk Jakarta, Rani menemukan ketenangan untuk memikirkan langkah selanjutnya. Ia menyadari bahwa 'maju' memiliki definisi yang berbeda bagi setiap orang. Baginya, maju berarti menemukan keseimbangan antara ambisi pribadi dan tanggung jawab terhadap keluarga.
Pada akhir bulan ketiganya di Belitong, Rani telah membuat keputusan. Ia akan kembali ke Jakarta, menerima promosi yang ditawarkan, tapi dengan syarat. Ia ingin membuka cabang perusahaan di Belitong, membawa perkembangan ke pulau kelahirannya sekaligus tetap dekat dengan keluarga.
Ketika pesawat mendarat kembali di Bandara Soekarno-Hatta, Rani melangkah keluar dengan tekad baru. Jakarta menyambutnya dengan deru dan gemerlap yang familiar. Kali ini, ia siap menghadapi kota ini dengan perspektif baru.
Ada begitu banyak cara untuk maju, dan Rani telah menemukan caranya sendiri. Bukan dengan tetap diam di zona nyaman, bukan pula dengan mengorbankan segalanya demi ambisi. Melainkan dengan bijaksana memilih jalan tengah, menciptakan harmoni antara mimpi pribadi dan tanggung jawab pada akar kehidupannya.
Senja kembali menyapa Jakarta, kali ini dengan warna jingga yang lebih cerah di mata Rani. Ia tersenyum, siap menulis bab baru dalam kisah hidupnya. Sebuah kisah tentang maju dengan hati, tentang menemukan makna kesuksesan yang sejati.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.