Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Menyoal Ketidakjelasan Regulasi Contempt of Court dalam Hukum Positif Indonesia

Hukum | 2024-10-17 18:12:32
Sumber: Dokumen Pribadi

Contempt of court, atau contemptus curiae dalam bahasa Inggris, sering diterjemahkan sebagai penghinaan atau pelecehan terhadap pengadilan, maupun tindak pidana terhadap proses peradilan. "Contempt" berarti melanggar, menghina, atau meremehkan, sehingga contempt of court dapat diartikan sebagai pelanggaran atau penghinaan terhadap pengadilan. (Hamzah dan Waluyo, 1989, 9).

Contempt of court pada umumnya terbagi menjadi dua jenis, yaitu civil contempt dan criminal contempt, keduanya dikenakan sanksi pidana berupa denda atau penjara. Perbedaan antara keduanya terletak pada jenis pelssanggaran yang dilakukan. Selain itu, (Niswansyah, 2014, 19) dalam Tesisnya menyatakan contempt of court dapat diklasifikasikan sebagai direct contempt, yaitu tindakan yang secara langsung merendahkan wibawa peradilan baik di dalam maupun di luar sidang atau gedung pengadilan, dan indirect contempt, yang meliputi tindakan yang tidak langsung menentang otoritas pengadilan, seperti tidak mematuhi putusan pengadilan. Dengan demikian, contempt of court mencakup tindakan aktif atau pasif, langsung atau tidak langsung, yang merendahkan wibawa peradilan.

Di Indonesia, istilah contempt of court sendiri tidak diatur secara eksplisit dalam satu undang-undang tertentu. Pengaturan mengenai penghinaan terhadap lembaga peradilan hanya tersebar dalam beberapa pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti Pasal 207 yang mengatur tentang penghinaan terhadap penguasa umum atau pejabat dan Pasal 217 yang mengatur tentang gangguan terhadap jalannya persidangan. Serta beberapa pasal: 221,223,224,231,232,235,242,310,314,317,420, 522 dan sebaginya. Namun, pasal-pasal tersebut tidak secara khusus menyinggung tentang perlindungan terhadap pengadilan sebagai lembaga peradilan. Hal ini menimbulkan kesan bahwa pengadilan sebagai lembaga negara belum mendapatkan perlindungan hukum yang cukup kuat.

Ketidakjelasan ini juga menyebabkan aparat penegak hukum, terutama hakim, mengalami kesulitan dalam menindak pelanggaran yang merendahkan martabat pengadilan. Hakim harus mengandalkan penafsiran yang longgar terhadap pasal-pasal di KUHP untuk menegakkan otoritas pengadilan, yang tentunya menimbulkan keraguan dalam proses penerapan hukumnya. Di samping itu, pengaturan yang tersebar ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak ada pedoman yang jelas bagi pihak-pihak yang terlibat dalam persidangan mengenai batasan-batasan perilaku yang dapat dianggap sebagai contempt of court.

Jika kita mempertimbangkan hakikat Contempt of Court sebagai bagian dari penyelenggaraan peradilan, maka keberadaan pengaturan Contempt of Court sendiri harus segera dibuat mengingat dari penjelasan umum butir ke-4 Undang-Undang No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa ”Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik- baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu undang- undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai "Contempt of Court".”

Sedikit mengingat terkait penyelenggaraan peradilan, di Indonesia terutama Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sudah menetapkan perlindungan terhadap hakim maupun kode etik hakim. Perlindungan hakim sendiri sudah diatur dalam PERMA No. 5 dan No. 6 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Peradilan agar menghindari terjadinya Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH) dan juga Advokasi Hakim yang diatur didalam Peraturan Komisi Yudisial No. 8 Tahun 2013 serta kode etik hakim sendiri juga diatur didalam KEPPH yang dibuat oleh Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung.

Melihat dari beberapa pengaturan diatas memang pentingnya pengaturan sendiri terhadap Contempt of Court agar dapat mencegah tindakan dan dampak lain yang mengganggu prinsip kebebasan pengadilan, baik dari pihak yang terlibat maupun tidak terlibat dalam perkara. Dengan demikian, pengadilan dapat memutus perkara secara adil berdasarkan fakta dan hukum, tanpa pengaruh atau tekanan yang tidak semestinya (Kunarto, 1996, 97).

Menurut Penulis kondisi ini dapat menghambat proses penegakan hukum dan menciptakan situasi di mana keadilan sulit untuk ditegakkan secara efektif dan dampak yang diberikan ketika tidak ada pengaturan yang jelas dalam Contempt of Court sendiri ketika kondisi tidak mampu melindungi otoritas dan integritasnya dari tindakan-tindakan yang merendahkan maka akan menimbulkan perspektif negatif, Selain itu Pengaruh dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik, kekuasaan, atau menggunakan kekerasan serta pengerahan massa yang bersifat anarkis telah mencoreng proses peradilan dan mengganggu pelaksanaannya. Contonya seperti, pembunuhan Hakim Ahmad Taufik, pembunuhan Hakim Agung Syaifuddin Kartasasmita, pembakaran gedung Pengadilan Negeri Larantuka oleh massa, perusakan Pengadilan Negeri Temanggung, dan serangan bom Molotov di Pengadilan Negeri Pasuruan mencerminkan hal ini. Selain itu, insiden seperti teriakan advokat Adnan Buyung Nasution di ruang sidang, walk out-nya terdakwa Abubakar Ba’asyir beserta pengacaranya dan hakim ad hoc tipikor, serta tindakan walk out oleh pengacara terdakwa juga menunjukkan gangguan terhadap proses hukum. Tak kalah signifikan, ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Agung oleh Institut Pertanian Bogor (IPB), perilaku mengamuk pengacara, penembakan di Pengadilan Negeri Gorontalo, serta intimidasi terhadap PN Depok turut menambah daftar masalah yang mengganggu penyelenggaraan peradilan.

Untuk mengatasi ketidakjelasan ini, diperlukan adanya pengaturan yang lebih komprehensif mengenai contempt of court dalam hukum positif Indonesia. Sebuah regulasi khusus yang mengatur tentang contempt of court akan memberikan kejelasan hukum dan menjadi pedoman yang jelas bagi hakim dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan. Aturan tersebut juga harus mencakup definisi yang jelas mengenai contempt of court, jenis-jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai contempt of court, serta sanksi yang tepat bagi pelanggarnya. Dengan adanya regulasi yang jelas, diharapkan otoritas pengadilan akan lebih terlindungi, dan proses peradilan dapat berlangsung dengan lancar tanpa gangguan. Selain itu, aturan ini juga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menghormati kewibawaan pengadilan, sehingga dapat mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang merusak jalannya proses hukum dan menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam pelaksanaan peradilan demi menegakkan hukum dan keadilan sesuai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image