Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Halia Isthifani Zahro

Munir: Ketika Harapan Bertemu Realitas dan Secangkir Kopi

Politik | 2024-10-17 06:22:54

Suara keadilan semakin memudar, perlindungan hak asasi manusia semakin tergerus, dan ingatan akan kematian Munir justru menjadi api yang tak kunjung padam dalam gelapnya kesewenang-wenangan.

Halia Isthifani Zahro (188241026)

Universitas Airlangga

Pernahkah kamu membayangkan hidupmu 15 tahun dari sekarang? Meraih gelar S2 di Harvard, membangun klinik untuk orang miskin, atau mungkin menjadi sutradara film kolosal? Mimpi-mimpi indah itu mungkin ada di benak banyak orang. Tapi, bagaimana jika pilihan hidupmu justru membawamu pada jalan yang jarang dilalui, jalan yang penuh tantangan, bahkan ancaman? Seperti jalan yang dipilih Munir?

Pada 7 September 2004 menjadi salah satu momen gelap dalam sejarah Indonesia. Munir, aktivis HAM yang gigih memperjuangkan keadilan, meregang nyawa karena diracun. Dua hari setelahnya, tepatnya pada 9 September, bom mengguncang Kedutaan Besar Australia, menambah daftar tragedi yang memukul batin kita semua. Beberapa bulan kemudian, Tsunami melanda Aceh pada 26 Desember, meninggalkan kehancuran yang sulit dibayangkan. Dalam rentetan peristiwa ini, muncul pertanyaan yang terus menggema: Mengapa orang baik seringkali pergi terlalu cepat, sementara keburukan terus berjalan tanpa henti? Seiring berjalannya waktu, hati kita terancam kebal terhadap rasa sakit, seolah-olah tragedi demi tragedi hanyalah episode yang berlalu tanpa meninggalkan bekas mendalam. “Saat kita menemukan dunia ini terlalu buruk, kita butuh mengungsi ke dunia lain,” kata Gustave Flaubert pernah bertutur dalam sebuah novelnya.

"... Tahun '89, udah mahasiswa, udah mau lulus, aku baru tau ada yang namanya Aceh dan di situ ada tentara,” tutur Munir. Kutipan tersebut menunjukkan awal mula Munir menyadari adanya ketidakadilan di negerinya sendiri. Di saat teman-temannya mungkin sibuk mengejar karir dan mimpi pribadi, Munir justru memilih jalan yang "jarang dilewati", yaitu memperjuangkan hak asasi manusia.

"Di Surabaya, ada orang ngumpulin dana dari masyarakat atas namaku dan Nabi Muhammad buat bikin Partai Buruh," Munir bercerita dengan tenang, seolah sedang membicarakan hal yang biasa saja. Padahal, di balik ketenangannya itu, ia hidup dalam bayang-bayang ancaman. Tubuhnya mungkin ringkih, seringkali ia merasakan sakit mendera. Namun, semangatnya untuk melawan ketidakadilan tak pernah padam yang hidupnya jauh dari impian kebanyakan orang. Jangankan remaja, orang-orang yang sudah berumur dan biasa hidup menderita sekalipun bisa dipastikan enggan jika disuruh menjalani kehidupan seperti dia.

Munir yang difitnah menghamili perempuan yang bukan istrinya, yang motornya pernah diserempet, sering dikirimi SMS berisi teror, rumahnya hendak dibom, kantornya diledakkan, dan ditodong dengan senapan di dada. Munir yang akhirnya mati dibunuh dengan racun arsenik dengan dosis yang bisa membunuh tiga nyawa sekaligus.

Kabar kematian Munir, seorang pejuang HAM yang gigih, mengejutkan dan membuat banyak orang marah, “Apa yang berharga pada tanah liat ini selain separuh ilusi? Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi,” ujar Goenawan Mohammad dalam “Kwatrin Sebuah Poci”.

Diracun dalam usia muda, Munir meninggalkan luka yang mendalam bagi mereka yang mendambakan keadilan. Ironisnya, sementara Munir gugur, pelaku kejahatan bisa berjalan bebas, dan korban-korban lainnya berjatuhan tanpa sempat bangkit lagi. Lebih menyedihkan lagi, sejarah seakan menjadi panggung fiksi yang dibentuk oleh mereka yang berkuasa. Banyak dari kita yang perlahan apatis, tidak lagi terusik oleh ketidakadilan yang berulang kali terjadi di depan mata. Kita memilih apa yang ingin kita kenang, dan seringkali, apa yang penting justru terlupakan.

Seperti kopi yang pahit namun memikat, perjuangan Munir juga penuh tantangan namun sarat akan nilai-nilai luhur. Keberaniannya adalah warisan yang tak ternilai bagi bangsa ini. Bukankah hidup ini memang sementara? Sejarah mencatat, tapi apakah kita belajar? Munir telah tiada, namun perjuangannya tidak harus mati bersamanya. Dalam situasi seperti ini, kita dipaksa untuk merenung: Apakah kita hanya akan menjadi penonton, ataukah kita akan ikut berjuang? Pertanyaan yang tidak mudah dijawab, namun harus dihadapi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image