Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Firdaus Cahyadi

Power Wheeling, Penumpang Gelap Transisi Energi?

Kolom | 2024-10-15 17:07:47

Transisi energi sudah tidak bisa dielakan lagi. Dalam konteks Indonesia, transisi energi bukan hanya sekedar mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim, namun juga mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil bisa berdampak buruk bagi ketahanan energi secara jangka panjang.

Firdaus Cahyadi, Climate Justice Literacy Indonesia

Dalam konteks itulah, transisi energi menjadi sebuah keniscayaan bagi Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah dengan cara apa transisi energi itu dilakukan? Seperti ditulis Majalah TEMPO edisi 15 September 2024, September 2024, sekelompok pengusaha yang tergabung dalam RE100 mendesak pemerintah menggenjot transisi energi melalui skema power wheeling.

Skema power wheeling adalah penggunaan jaringan bersama khusus energi terbarukan. RE100 sendiri adalah lembaga yang terdiri dari 430 perusahaan internasional. Mereka berkomitmen menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan paling lambat pada 2050. Saat ini, angka konsumsi listrik anggota RE100 di Indonesia mencapai 2,1 terawatt-jam (tWh), setara dengan 0,74 persen dari total penjualan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN pada 2023.

Seperti desakan pebisnis terhadap pemerintah dalam tradisi madzab ekonomi neoliberal, mereka menebar janji manis dan juga ancaman dalam waktu yang hampir bersamaan. Mereka berjanji anggota kelompoknya bakal menambah investasi di Indonesia hingga miliaran dolar Amerika Serikat, bila ditunjung energi terbarukan, selah satunya dengan skema power wheeling. Setelah memberikan janji manis mereka juga menagancam perusahaan-perusahaan internasional dan rantai pasokan mereka akan pindah ke negara lain, yang memiliki peran lebih besar untuk energi terbarukan dalam perekonomian dan bauran energinya.

Power wheeling akan membuat pentuan tarif listrik berfluaktif ditentukan oleh mekanisme pasar. Dengan kata lain, power wheeling menjadi bagian dari praktik unbundling dalam ketenagalistrikan di Indonesia. Unbundling dalam ketenagalistrikan adalah pemisahan kegiatan pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan listrik menjadi entitas terpisah

Konstitusi Indonesia, Pasal 33 Undang Undang Dasar (UUD) 1945 ayat 2, secara jelas mengungkapkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Energi adalah bagian dari cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Liberalisasi sektor energi melalui skema unbundling jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi.

Pelanggaran konstitusi dalam praktik unbundling di sektor ketenagalistrikan ini bukan hanya sekedar wacana. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 111/PUU-XIII/2015, bertanggal 14 Desember 2016 secara jelas dan tegas menegaskan bahwa unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik adalah tidak sesuai dengan UUD 1945 pasal 33. Pertanyaannya adalah bila dalam konteks Indonesia sudah jelas bahwa praktik unbundling di sektor ketenagalistrikan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, kenapa praktik itu hendak diusung kembali melalui skema power wheeling?

Transisi energi sejatinya bukanlah agenda yang buruk. Namun, transisi energi akan menampakan wajah bopengnya bila aktor di belakangnya mengarahkan agenda itu hanya untuk kepentingan akumulasi laba tanpa ada pertimbangan keadilan sosial di dalamnya. Indonesia memiliki banyak sekali potensi energi terbarukan, ironis bila kemudian potensi yang besar itu dimanfaatkan oleh aktor-aktor yang hanya bertujuan melakukan akumulasi laba dengan mengatasnamakan energi hijau. Pilihan transisi energi di Indonesia dengan berbasis liberalisasi pasar, tentu akan menguntungkan segelintir aktor-aktor tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah siapa aktor-aktor yang diuntungkan dari proyek liberalisasi ketenagalistrikan dengan topeng transisi energi itu.

Menarik bila kita menyimak laporan penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2024. Laporan penelitian ICW yang berjudul, ‘Siapa yang Diuntungkan, Bisnis Ekstraktif dan Energi Terbarukan di Balik Prabowo-Gibran’, itu mengungkapkan bahwa pemain bisnis energi terbarukan di Indonesia sebagaian besar didominasi oleh elite ekonomi-politik yang sebelumnya juga berbisnis enegri fosil.

Dalam laporan tersebut, ICW menyebut TOBA Group, yang sebelumnya memiliki focus ke energi kotor batubara kini telah memiliki bisnis di bidang energi terbarukan. TOBA group, menurut laporan itu memiliki proyek-proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Apung Trembesi di Batam, dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Bukan hanya TOBA Group, Adaro Group yang sebelumnya berfokus pada bisnis batubara, kini juga merambah bisnis energi terbarukan. Adaro Group, dalam laporan ICW disebutkan memiliki proyek-proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Mentarang Induk di Kalimantan Utara, PLTB Tanah Laut di Kalimantan Selatan, dan PLTS Kelanis di Kalimantan Tengah.

Deretan konglomerat yang sebelumnya berbisnis energi kotor batubara dan kemudian berbisnis energi terbarukan lainnya, menurut laporan penelitian ICW itu, adalah Bakrie Group. Group perusahaan yang pernah yang pernah berjaya dalam bisnis batubara melalui BUMI dan tersandung kasus semburan lumpur Lapindo, kini juga juga memiliki bisnis energi terbarukan. PT Bakrie & Brothers melalui anak usaha PT Braja Multi Cakra memiliki bisnis PLTS Atap. PT Bakrie & Brothers melalui anak usaha PT Bakrie Power juga memiliki proyek pengadaan dan pemasangan PLTS Hybrid di Sulawesi Selatan.

Celakanya, menurut penelitian tersebut sebagian dari mereka adalah pebisnis yang dekat dengan pasangan Presiden Indonesia terpilih pada pilpres 2024, Prabowo-Gibran. Artinya, proyek-proyek energi terbarukan skala besar di Indonesia bukan hanya berpotensi berdampak buruk secara sosial dan ekologi bagi masyarakat sekitar, namun juga rentan konflik kepentingan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah usulan power wheeling menjadi bagian dari konflik kepentingan para pemain lama bisnis energi fosil, yang kebetulan dekat dengan kekuasaan politik, dan sekarang merambah bisnis energi terbarukan?

Jika kemudian liberalisasi ketenagalistrikan dengan mengatasnamakan transisi energi melalui skema power wheeling berhasil diadopsi pemerintah, maka pihak-pihak yang diuntungkan dan dirugikan sudah sangat jelas. Segelintir pemilik modal yang diuntungkan, namun mayoritas rakyat dirugikan karana salah satu hajat hidupnya, yaitu energi, diserahkan kepada mekanisme pasar.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image