Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image padma malikahani

Adolesensies

Curhat | Tuesday, 08 Feb 2022, 00:11 WIB

Relasi, percintaan, karier, dan kehidupan sosial

Ola, panggil saja aku dengan sebutan nama kecil itu. Aku terlahir dengan latar belakang sikap yang cukup dingin dan cuek, namun aku memiliki satu warisan privilege dari kakekku yang cukup istimewa yaitu mampu mengenali detail dari sikap seseorang. Setelah 20 tahun aku menjana kehidupan di muka bumi ini, kini aku dihadapkan pada masa di mana setiap remaja merasakan ketakutan, kegusaran, dan ketidaksesuaian. Atau yang belakangan ini dikenal dengan sebutan Quarter Life Crisis.

Canggung rasanya, berpihak pada perasaan yang terlalu dalam ini setelah bertahun tahun tidak pernah peduli pada keadaan sekitar. Aku memiliki kecendrungan terlalu pemilih dan enggan untuk mengambil keputusan terlalu cepat akhir ini, aku juga menjadi pribadi yang penuh antisipasi dalam setiap tindakan. Dan diantara sikap yang paling nyata kurasakan adalah terlalu penuh pertimbangan terhadap diri sendiri, dan untungnya ini baik.

Akhir ini perasaan tidak tentu menghantui isi kepalaku. Bekelabut fikiran tentang kriteria seorang pasangan ideal versiku. Sejujurnya aku bukan tipe seorang penuntut dan pemuluk, aku hanya berharap pada yang terbaik dan pastinya baik juga untuk keberlanjutan hidupku nantinya. Aku berkelindan dalam ranah fikir apakah aku menginginkan seorang kutu buku ataukah seorang periang? Apakah aku menginginkan pekerja independen ataukan seorang pria karir? Dan lagi-lagi apakah aku menginginkan kepulangannya setiap malam ataukah menikmati satu bulan berkesan setelah pulang dari dinasnya?. Dan yang pasti semua ini akan menjadi tidak penting lagi seiring berjalannya waktu, karena aku hanya ingin sesosok pria yang terbaik versiku dan visinya yang jelas.

Aneh rasanya, setiap aku berpapasan dengan sesosok pria. Instingku mengatakan apakah dia termasuk kriteria pria idamanku? Atau apakah ia lulus uji spesifikasi priaku?. Haduh..., haduh..., kenapa bocah telat puber ini malah sibuk mengkritisi dia yang terlalu pendek, si dia yang terlalu buncit, si dia yang terlampau kurang atletis, si dia yang kurang terurus, dan dia yang lainnya. Apakah ironinya pasangan memang harus datang dalam setiap ketidakmungkinan di hidup ini?, apakah semua sinetron menyiarkan yang sesungguhnya?. Buncah isi kepalaku, Seakan aku hidup dalam bilik labirin yang tidak berhujung.

Dasar fabiola, kenapa kamu terus bergelut dalam awak fikiran yang tidak akan berhujung ini. Kan tuhan pasti memberikan yang terbaik untuk umatnya yang taat. Kemelut fikir ini juga menghantarkanku pada kegelisahan kedua, yaitu jenis karir apakah yang aku inginkan?, dan untuk menentukan angan maupun cita-cita di usiaku yang tidak menentu ini tidak semudah semasaku masih menjadi bocah ingusan. Selantang itu setiap aku mengucap ingin jadi dokter!, polisi!, guru! Namun tidak lagi untuk sekarang. Sekarang yang terbesit dalam fikiranku selalu ketakutan, apakah aku bisa di terima oleh perusahaanku nanti? Apakah aku pantas bekerja disini? Apakah pekerjaan ini sesuai dengan bidang dan latar belakangku? Akankah aku naik pangkat?, beribu pertanyaan terus menghantui fikiranku. Dan apa kata dunia jika nanti suamiku hanya menginginkanku menjadi profesi tunggal yang statusnya dimiliki oleh mayoritas wanita di muka bumi ini “ibu rumah tangga”, waduh! Panjang lagi urusannya nanti.

Ola juga bimbang dan bertaruh dengan diri sendiri atas kegelisahan ketiganya. Apakah jurusan kuliahku relate dengan minat dan bakat yang kumiliki, aku mengeluh setiap aku hendak mengambil keputusan untuk bermalas-malasan, aku kerap kali merajuk karena tidak menginginkan kelanjutan hidup dengan keberlangsungan nasib dalam jurusan ini, dan selalu mengeluh setiap menerima mata kuliah yang tidak relate dengan kehidupanku. sulit rasanya untuk melangkah tanpa kesalahan. Seakan aku selalu membuang waktu untuk sensaional yang tidak penting dan tidak terlalu dibutuhkan. Rasanya aku tidak ingin cepat dewasa untuk berlanjut usia terlalu dini.

Aku tidak habis fikir, haruskah aku menyusun to do list per tahunku selama masa gencar bahaya Quarter Life Crisis ini?. Terus terang aku ingin hidup mandiri dan independen tanpa harus membebani kedua orang tuaku, tapi kenapa aku masih harus mempertimbangkan keputusan hidupku, aku terlampau bias dalam bilik kemanjaan yang mengakar. Dan aku berterus terang pada diriku untuk 5 tahun dari sekarang, karena aku menjanjikan seongok rumah yang sudah teriisi perabot terbaik pilihanku dan dihiasi dengan dekorasi favoritku. Pada akhirnya aku hanya bisa memastikan, Akankah semua ini berjalan dengan mudah tanpa halangan apapun?

Terus terang aku hidup dalam kondisi yang sangat tidak menentu, berkali kali rasanya aku harus menyusun, menghapus, mengganti, menyusun kembali berbagai target yang ingin ku lalui nantinya. Pamanku pernah berkata, untuk menyusun sebuah kayu balok dengan sempurna maka dibutuhkan riset yang mendalam dalam pembuatannya, ketelitian dalam menentukan ukuran setiap sisinya, dan kerapihan dalam pembuatannya. Kucerna, kalau ritme hidupku hingga detik ini masih tidak menentu, mampukan aku menyusun balok tersebut dengan tepat ukuran?. Apakah semua anak di usia remaja akhir merasakan keresahan seperti yang kualami?

Aku juga turut berkabung terhadap diriku yang masih belum mampu mengontrol pengeluaran bulananku, aku menoreh rapot merah dalam catatan keuangan setiap tahunku. Kenapa tidak terfikirkan olehku sejak dahulu untuk me manage keuanganku dengan baik. Apakah setiap milyader selalu sukses dalam setiap tahap karir keuanganya, aku takut terkalahkan perlahan oleh ambisi, keinginan dan egoku semata. Rasanya menopang lara dalam diri lebih sulih sulit daripada menanjaki bukit harapan. Kalau aku boleh bertanya terhadap diriku sendiri, sampai kapan kamu akan sadar untuk menjadi pribadi yang terbaru dengan misi yang lebih jelas.

Ambisi berlebihku kerap kali meronta setiap rasa malasku merajuk untuk tidak berterus terang. Mengapa susah sekali untuk menjadi diri sendiri yang seutuhnya. Ola, yang sekarang terlalu pemilih dan kurang percaya diri, apakah semua remaja wanita di masa adolesens merasakan hal yang sama? Aku tidak lagi bertajuk harapan dalam setiap orientasi kehidupanku, aku yang sekarang bertajuk antisipasi atas indikator capaian terakhirku. Aku hanya gadis rapuh yang tidak tentu arah.

Rasanya mendamba kerja keras untuk kehidupan dalam 5 tahun terakhir ini adalah hal yang menjanjikan dan juga terbaik untuk masa depanku nantinya. Seakan aku membesit benang merah antara aku yang seorang diri dengan diriku dalam khayal bersama keluarga kecilku nanti. Aku sadar bahwa diriku tidak setegar rumput ilalang, yang kian ditebas dan dirusak kian menjalar dan terus tumbuh membabi buta. Aku butuh waktu untuk berfikir keras melalui kehidupan yang pahit ini demi menanti berakhirnya masa usia rentan dengan keadaan mental yang tidak menentu ini. Dan pada akhirnya aku tidak harus serlalu bersikeras untuk menjadi pemilih, melainkan orang pertama yang mengadahkan tangan untuk mengucap syukur kepada tuhan di setiap detiknya.

BERSAMBUNG.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image