Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Mengupayakan Berhati Hening dan Tenang di Tengah-Tengah Bisingnya Kehidupan

Agama | Saturday, 05 Feb 2022, 06:42 WIB

Peribahasa biar lambat asal selamat hampir tak berlaku dalam kehidupan yang serba cepat seperti sekarang ini. Nyaris semua orang nampak seperti orang yang sedang mengikuti ajang road race, beradu cepat satu sama lainnya.

Seperti halnya dalam ajang road race, terkadang terjadi saling senggol yang menyebabkan peserta lainnya jatuh terguling. Meskipun jarang sampai terjadi keributan, namun hati dongkol sudah pasti dialami para pesertanya.

Lain halnya lagi dalam “road race” kehidupan yang kita jalani. Dalam persaingan kehidupan ekonomi, sosial, dan terutama politik sering terjadi saling sikut, saling menjatuhkan martabat yang berujung pada keributan dan saling lapor kepada pihak berwajib.

Kalau kehidupan sudah saling sikut, saling salahkan, saling lapor kepada pihak berwajib, maka kebisingan hidup akan menggantikan ketenteraman. Padahal ketenteraman merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam kehidupan manusia. Ketenteraman identik dengan kebahagiaan.

Dari sudut pandang apapun, ketenteraman dan keheningan pada kehidupan seperti sekarang ini menjadi barang mahal yang sulit didapat. Apalagi bagi mereka yang hidup di perkotaan, ketenteraman dan keheningan menjadi barang istimewa yang susah didapat.

Berbagai kebisingan senantiasa menyapa nyaris dua puluh empat jam. Karenanya, tidaklah mengherankan jika orang-orang kota selalu mengejar liburan ke pegunungan atau pedesaan yang hawanya sejuk dan suasananya hening, meskipun tidak sehening zaman dahulu.

Keheningan sendiri identik dengan sunyi atau sepi. Tempat yang hening biasanya memberikan efek ketenangan. Tempat yang hening merupakan tempat istirahat untuk melepaskan lelah atau sekedar menghilangkan kepenatan agar hati dan pikiran kembali segar.

Perkampungan yang dikelililingi pesawahan, gemerciknya suara air bening yang dihiasi ikan berenang riang, dan merdunya suara burung merupakan gambaran tempat yang hening. Demikian pula, bukit dengan berbagai pepohohan hijau dihiasi nyanyian burung menambah indahnya tempat yang hening.

Semilir angin dan udara segar menjadikan diri kita nyaman dan tenang tinggal di sekitarnya. Karenanya, orang-orang berduit senang membangun villa, tempat peristirahatan di tempat-tempat hening seperti itu.

Mereka membangun vilanya sealami mungkin. Bangunannya bukan berbahan batu bata, tapi terbuat dari bahan alami, baik kayu maupun bambu. Tak memakai listrik, tak ada kompor gas, dan alat elektronik lainnya, benar-benar alami. Ia sengaja membangunnya untuk mendapatkan keheningan alami yang dapat menyegarkan pikiran, menghilangkan kepenatan dari berbagai beban kehidupan.

Dahulu, penduduk yang tinggal di perkampungan sudah sejak lama menikmati keheningan. Udara segar, nyanyian burung, dan indahnya gemercik air yang terdengar pada pagi dan sore hari. Mereka hidup rukun dan damai. Kalaupun ada perselisihan antara warga, sesepuh kampung, baik tokoh agama, tokoh adat, Rukun Tetangga (RT), dan Rukun Warga (RW) segera turun meredamnya.

Persaudaraan, ramah kepada semua orang, gotong royong, dan saling membantu menjadi hiasan kehidupan sehari-hari. Kesadaran mereka hidup bergotong-royong dan saling membantu diperoleh dari ajaran para sesepuh agama di masjid.

Masjid menjadi tempat pelarian utama orang-orang yang ingin menyepi, mengadukan segala keluh kehidupan kepada Pemilik Kehidupan. Tempat suci ini pun menjadi tempat meminta solusi kepada sesepuh agama yang bijak dan toleran dalam mendengarkan keluhan hidup yang dihadapi jamaahnya.

Para sesepuh agama menyampaikan petuah dengan “hening”, tanpa tuntutan duniawi. Tak ada “salam tempel amplop” selepas memberikan ceramah, apalagi pasang tarif jika ingin mendengarkan atau mendapatkan petuahnya. Mereka benar-benar tulus menyampaikan petuah agama demi kebaikan akhlak dan ketaatan warga kepada sang Khaliq.

Masjid benar-benar menjadi tempat sakral. Tempat suci yang tak boleh dikotori, jangankan dengan sesuatu yang najis, sekedar mengeluarkan kata-kata kasar saja sudah tak boleh. Para sesepuh masjid mengeluarkan aturan, meskipun tidak tertulis tapi sangat ditaati, misalnya di masjid tak boleh bersiul, apalagi sampai membunyikan musik.

Semua gambaran tadi merupakan gambaran situasi perkampungan dahulu kala yang penuh keheningan dan kedamaian. Kini rasanya sulit mencari perkampungan yang benar-benar hening. Dengan kemajuan teknologi, kini keheningan di perkampungan telah tergantikan dengan berbagai kebisingan.

Suara gemecik air dengan hiasan ikan berenang riang hanya ada di akuarium. Nyanyian burung di perkampungan yang dikelilingi sawah dan pepohonan hijau, kini tergantikan dengan hentakan berbagai suara musik keras dari setiap rumah, suara gergaji mesin para penebang pohon, juga tergantikan dengan deru suara mesin pabrik.

Nyanyian burung yang indah hanya ada di dalam sangkar sempit yang mengebiri kebebasannya untuk terbang tinggi. Langit nan biru menjadi kelabu karena asap dari mesin-mesin pabrik dan kendaraan.

Masjid, tempat yang suci, kini tidak hening lagi. Suara handphone dengan berbagai ringtone-nya sering berbunyi keras membuyarkan kekhusyukan zikir. Meskipun tertulis himbauan di pintu masjid, “Masuk Masjid, HP dimatikan/di-silent-kan”, masih banyak yang tak menghiraukannya.

Tak jarang, ketika shalat Jum’at tengah berlangsung, berbagai ringtone handphone berbunyi nyaring. Bukan dari jamaahnya saja, terkadang ringtone handphone khatibnya pun berbunyi nyaring, ia lupa mematikannya. Zikir atau mendengarkan lantunan ayat suci yang harus menjadi hiasan utama di masjid tergantikan dengan mendengarkan berbagai ringtone handphone.

Selama tinggal di masjid, ibu jari yang seharusnya sibuk “memainkan” tasbih sambil membaca zikir, kini tergantikan dengan sibuk memainkan gadget atau handphone yang ada di tangan. Sibuk melihat barang yang akan dibeli secara online yang terkadang dihiasai dengan iklan-iklan yang mengumbar aurat.

Petuah agama yang dulu benar-benar toleran, membawa pesan kedamaian, saling menghormati, dan saling menghargai, kini tergantikan dengan saling menghujat dan saling menjelekkan. Masing-masing kelompok mengklaim kelompoknya sebagai kelompok yang paling benar, paling mengikuti Sunnah Rasulullah saw.

Kini hampir semua keheningan digantikan dengan berbagai macam kebisingan. Alam yang indah diganti dengan “kebisingan” berbagai polusi yang mengotorinya. Sampah pelastik, residu pestisida, asap pabrik, dan kendaraan serta berbagai barang lainnya membuat lingkungan kita menjadi tercemar.

Kita nampak sudah enggan bersahabat dan berlaku ramah kepada alam sekitar. Janganlah mengherankan jika bencana banjir, kekurangan air, ketidaksuburan tanah, gerahnya udara, dan lain sebagainya menimpa kita. Semua itu merupakan balasan atas ketidakramahan kita kepada alam sekitar kita.

Kehidupan bermasyarakat yang hening digantikan pula dengan berbagai kebisingan sosial-politik. Persaingan hidup yang semakin ketat menyebabkan orang tidak mau lagi saling bantu. Kehidupan yang dilandasi egoisme melanda setiap jiwa. Apalagi di bidang politik, kebisingan yang memekakkan telinga sering terjadi.

Saling kritik sampai saling hujat antar politisi, perang urat syaraf, sampai bertengkar dan tawuran hampir sudah dianggap lumrah. Kalaupun ada perdamaian hanya sesaat, disesuaikan dengan kepentingannya masing-masing. Mereka memegang rumus utama dunia politik, “tak ada kawan abadi, tak ada lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.”

Masing-masing individu, kini kesulitan mendapatkan keheningan baik secara psikologi, sosial, ekonomi, maupun politik. Di sekitar lingkungan hidupnya sudah sarat dengan berbagai kepentingan sesaat, berbagai polusi udara dan suara.

Kesulitan hidup yang setiap saat selalu menghadang menjadikan diri setiap individu semakin resah dan gelisah. Perdebatan dan perselisihan antar politisi pengelola negara membuat kehidupan semakin bising, tidak nyaman.

Demikian pula persaingan dalam bidang ekonomi yang selalu sarat permainan. Ketersediaan bahan kebutuhan pokok khalayak selain dipermainkan ketersediaannya, juga dipermainkan harganya.

Kini, keheningan menjadi sesuatu yang mahal untuk kita dapatkan. Sekedar untuk tidak diganggu suara ringtone handphone saja sulit untuk mendapatkannya.

Benar karena sudah zamannya, kita tak mungkin bisa lari dari dampak semua kemajuan ini. Kita tak mungkin dapat kembali ke masa lalu. Namun demikian, kita tak boleh larut dalam kebisingan hidup terus menerus. Kita harus kembali menghidupkan keheningan dan ketenteraman, minimal dalam jiwa kita.

Kita harus menyediakan waktu khusus untuk kembali menghidupkan keheningan dan ketenteraman tersebut tanpa terganggu suara ringtone handphone atau suara kebisingan lainnya. Kita pun bisa memperolehnya tanpa harus pindah tempat. Kita dapat menghidupkan keheningan dan ketenteraman di hati melalui zikir.

Kita harus kembali menghidupkan zikir, membasahi lisan, menghidupkan hati dengan banyak memuji Sang Pencipta Kehidupan, Allah swt, seraya kembali mempererat tali silaturahmi dengan sahabat dan kerabat, dengan tak lupa menjalankan sikap sabar dalam menghadapi segala permasalahan.

Zikir merupakan ruh kehidupan yang akan menjadikan jiwa kita hidup dan bergerak. Orang yang senantiasa berzikir ibarat ikan di lautan, seumur hidupnya tinggal di lautan yang bergaram, tapi tubuhnya tak terasa asin.

Demikian pula, orang-orang yang senantiasa berzikir, mengingat Allah, meskipun hidup di tengah-tengah berbagai kebisingan, hatinya akan tetap hening dan tenteram, tidak larut dan hanyut dalam kehidupan yang semakin bising dan penuh persaingan.

“(Yaitu) orang-orang yang beriman, dan hati mereka menjadi tenteram dengan zikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Q. S. ar Ra’du : 28).

ilustrasi :pesawahan (sumber gambar : pegipegi.com)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image