Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Susilo Dwi Rahayu

Mustahilkah Mengubah Budaya Sekolah Menjadi Budaya Positif?

Guru Menulis | Wednesday, 02 Feb 2022, 15:44 WIB

Pertama kali membaca modul budaya positif di LMS Guru Penggerak, terus terang saya agak skeptis. Merasa sulit percaya. Benarkah siswa menjadi disiplin karena win win solution. Tidak ada hukuman. Jika ada hukuman itu merupakan alternatif terakhir. Siswa hanya di ajak ngobrol dan ditanya tanya. Saya tidak yakin. Pendekatan ini terlalu ideal. Too good to be true. Sepertinya mustahil bisa menjadi nyata.

Tapi saya tetep mau mencoba. Kenapa?. Ya, karena selama ini apa yg telah saya lakukan dan ajarkan ke siswa agar disiplin tidak mempan. Belum konsisten hasilnya. Apa yang saya perbuat belum bisa membuat mereka melakukannya dengan motivasi mereka sendiri. Belum Mandiri.

Kemudian saya selami satu persatu tahapannya. Mengapa mesti disiplin positif? Ya karena sesungguhnya hal yg paling membekas jika dirinya dimenangkan, baik guru maupun siswa. Apa sebenarnya Disiplin Positif, yaitu membiasakan siswa agar bertanggung jawab atas semua keputusannya dan menghormati orang lain. Sebagai guru kita mesti tahu tentang tiga motivasi manusia, yaitu menghindari hukuman atau ketidaknyamanan,mengharapkan penghargaan atau reward dan yang terakhir ingin menjadi seperti seseorang atau karena menghargai dirinya sendiri. Jenis yg pertama dan kedua adalah motivasi ekstrinsik dan yang terakhir motivasi intrinsik.

Selama ini apa yang mendasari motivasi murid saya kebanyakan karena menghindari ketidaknyamanan/hukuman dan ingin mendapatkan pujian atau reward. Saya membayangkan jika anak anak ini benar benar bisa dilatih dan dibiasakan untuk memiliki motivasi dari dalam dirinya sendiri, sehingga disiplin nya bukan karena takut hukuman/ketidaknyamanan dan juga hanya menginginkan reward, maka betapa luar biasanya ia. Karena bisa menggerakkan dirinya sendiri. Karakter yang kuat tidak mudah terpengaruh oleh orang lain.

Dalam disiplin positif, siswa di latih dan dibiasakan untuk memiliki motivasi dari dalam diri mereka sendiri. Karena sesungguhnya menurut Ki Hajar Dewantara orang merdeka itu tidak hanya orang yang terbebas dari perintah orang lain tapi merdeka memerintah diri mereka sendiri. Kemudian apa hubungannya Lima Kebutuhan Dasar Manusia dengan Disiplin Positif? Karena sesungguhnya setiap pelanggaran yang dilakukan seseorang atau siswa merupakan pertanda jika salah satu dari 5 kebutuhan dasar manusia, kebutuhan bertahan hidup, kebutuhan bersenang senang, kebutuhan akan kekuasaan,kebutuhan akan kebeasan dan kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang, ada yang belum ditunaikan. Belum terpenuhi.

Ketika siswa melanggar peraturan atau kesepakatan kelas, guru tinggal mencari tahu sebenarnya alasan di balik pelanggaran tersebut apa? Kebutuhan apa yg dia butuhkan? setelah itu guru harus bisa menempatkan diri dalam posisi kontrol yg tepat, untuk menghadapi pelanggaran tersebut. Bisa sebagai guru penghukum, guru pembuat rasa bersalah, guru sebagai teman, guru sebagai pengamat dan guru sebagai manajer. Posisi kontrol yang paling ideal adalah guru sebagai manajer. Karena posisi kontrol 1 hingga ke 4 memiliki pembiasaan perilaku yg bersumber dari motivasi eksternal siswa. Tetapi jika guru berperilaku kontrol sebagai manajer maka dia akan menempatkan diri sebagai penanya yang akan melatih siswa memilih jalan yang positif untuk memenuhi semua kebutuhannya dan jadi versi terbaik dirinya.

Lalu jika tidak ada hukuman, bagaimana seorang guru menghadapi siswa yang melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan kelas atau keyakinan kelas? Guru bisa melakukan tindakan yang dikenal sebagai Segitiga Restitusi. Segitiga restitusi ini sebenarnya tiga langkah strategis guru untuk membantu siswa yang melanggar aturan agar menyadari kesalahannya dan mengambil pelajaran agar lain kali saat dia melakukan pemenuhan kebutuhan dasarnya dengan cara yang positif.

Langkah langkah segitiga restitusi ini meliputi menstabilkan identitas yang berarti guru membuat siswa merasa tetap baik baik saja karena bukan dia satu satunya orang yang berbuat salah. Hal ini penting agar saat siswa kembali dengan normal ke teman-temannya pasca melakukan pelanggaran.

Langkah kedua memvalidasi tindakan hal ini dilakukan guru agar siswa merasa dipahami. Ketika anak mendengar bahwa guru tahu dan paham mereka melanggar aturan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, walaupun bertentangan dengan aturan atau hak orang lain, maka siswa akan tetap ada dalam jangkauan guru. Pada tahap ketiga guru menanyakan keyakinan kelas ke siswa yg bersangkutan. Hal ini akan membantu siswa memiliki perpektif lain untuk memilih jalan yang positif untuk memenuhi kebutuhan mendasar mereka.

Saat mempelajari modul ini saya tersadar mengapa hukuman dan reward juga tidak sepenuhnya efektif dalam melatih siswa berdisiplin positif. Karena selain membiasakan memiliki motivasi dari luar, hadiah bisa berubah menjadi hukuman dan perusak hubungan bagi yang tidak menerimanya. Bermanfaat untuk jangka pendek tapi merusak untuk jangka panjang.

Ketika saya mencoba mempraktekan tahapan tahapan disiplin positif di kelas saya, dari mulai membuat keyakinan kelas dengan siswa, saya tidak menemui kendala yg berarti. Tetapi begitu mulai mengaplikasikan posisi kontrol guru di saat kegiatan belajar mengajar, terkadang saya masih terjebak dalam emosi dan salah mengambil posisi kontrol. Untungnya segera tersadar dan mencoba masuk ke jalur yang benar lagi. Dari kejadian ini sebenarnya tidak hanya siswa yang belajar budaya positif, saya pun sebagai guru juga belajar banyak untuk terus belajar memikirkan solusi menang-menang yang seharusnya. Setiap akan mengambil tindakan saya harus pikirkan apa efek jangka panjangnya ini, apakah positif bagi siswa atau malah sebaliknya.

Beberapa kasus pelanggaran di kelas saya maupun di sekolah juga selesai dengan segitiga restitusi. Yang menjadi tantangan adalah saat kita menggunakan segitiga restitusi tapi rekan rekan guru yang lain merasa segitiga restitusi itu tidak cocok bagi siswa di daerah saya yang berwatak keras, yang cuman mau enaknya saja, tidak mau aktif di kelas, dan lain lain. Padahal rekan-rekan ini sudah mengikuti pengimbasan filosofi Ki Hajar Dewantara dan Budaya Positif. Mungkin karena rekan-rekan ini tidak terpapar sebanyak yang Calon Guru Penggerak dapatkan saat menjalani Pendidikan Guru Penggerak, seperti yang saya alami sebagai CGP angkatan 4 Kabupaten Kepulauan Sula. Selain itu untuk membumikan budaya positif memang pelaksanannya harus konsisten dan terus menerus sehingga menjadi pembiasaan bagi siswa.

Setelah saya pikir ulang, mungkin beratnya guru lain untuk ikut pendekatan ini karena memang guru butuh waktu yang lama, proses panjang untuk membiasakannya. Hingga kebiasaan itu berubah menjadi karakter siswa.

Banyak hal yang saya pelajari dari modul ini. Dan banyak pula pekerjaan rumah bagi saya untuk membiasakan siswa berdisiplin positif. Tetapi sebenarnya saya pun sedang mendidik diri saya sendiri untuk menjadi orang dengan kebiasaan kebiasaan yang lebih baik.

Balik ke pertanyaan awal, mustahilkah menerapkan budaya positif di sekolah? Saya rasa tidak mustahil tapi memang butuh waktu, kesabaran, serta konsistensi banyak pihak dalam pelaksanaannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image