Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Memberi Nasihat a la Abu Nawas, Tiga Pertanyaan yang Sama dengan Tiga Jawaban yang Berbeda-beda

Agama | Tuesday, 01 Feb 2022, 07:34 WIB

Meskipun perkataan dan pemikirannya sering nyeleneh, banyak orang terutama dari kalangan muda yang menimba ilmu di paguron milik Abu Nawas yang dianggap seorang pandir. Meskipun kaka-katanya terkadang kocak, namun bijak.

Paguronnya sangat sederhana yang menempel di rumahnya. Pengajarnya hanya ia sendiri. Uniknya lagi, pelajaran yang Abu Nawas berikan tidak bersumber dari suatu kitab tertentu, namun bersumber dari kehidupan nyata. Dengan kata lain, ia mengajarkan ilmu yang bersumber dari kehidupan nyata yang dilihat dan dialami para murid dan orang-orang di sekitarnya.

Keunikan dan keluguan Abu Nawas bukannya menjauhkan dirinya dari orang-orang di sekitarnya, malahan orang-orang semakin akrab dengan dirinya. Hampir setiap hari ada saja orang yang konsultasi meminta nasihat dan solusi atas permasalahan hidup yang tengah ia hadapi.

Dalam memberikan nasihat, ia selalu nampak tak begitu serius, penuh humor, dan santai. Namun demikian, solusi dan humor yang diucapkannya tidak sembarangan. Ia selalu memperhatikan kondisi dan tingkat intelektual orang yang meminta nasihat kepadanya. Tak jarang orang-orang mendapatkan solusi atas permasalahannya setelah bercakap-cakap santai dengan Abu Nawas.

Suatu hari Abu Nawas kedatangan beberapa tamu yang ingin mendapatkan solusi atas permasalahan yang tengah dihadapinya. Ia pun ditemani beberapa muidnya yang siap membantu kebutuhan Abu Nawas dan para tamunya.

Pada hari itu Abu Nawas menerima tiga orang tamu yang berbeda, tapi mereka mengajukan pertanyaan yang sama. Bukanlah Abu Nawas jika pertanyaan yang sama diselesaikan dengan jawaban yang sama pula.

Orang pertama bertanya, “Wahai Abu Nawas, mana yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?

“Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil.” Jawab Abu Nawas

“Mengapa demikian? Sambung orang pertama.

“Karena dosanya kecil, jadi lebih mudah diampuni Allah.” Kata Abu Nawas sigkat.

Orang pertama ini merasa puas dengan jawabannya, dan ia pun segera berpamitan dengan wajah senang.

Tak lama berselang, datanglah orang kedua. “Wahai Abu Nawas, mana yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?

“Orang yang tidak mengerjakan keduanya.” Jawab Abu Nawas singkat.

Mendengar jawaban seperti itu, orang tersebut mengernyitkan dahi, lantas ia bertanya, “Mengapa demikian?”

“Logis, kan? Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu orang tersebut tidak memerlukan ampunan Allah” Kata Abu Nawas.

Orang kedua ini pun dengan mudah dapat mencerna jawaban Abu Nawas. Ia pulang dengan membawa pengetahuan sederhana namun penuh makna.

Murid-muridnya yang dari tadi duduk tak jauh dari Abu Nawas merasa heran dengan jawaban Abu Nawas yang berbeda-beda, padahal pertanyaannya sama. Namun mereka belum berani bertanya, apalagi belum juga Abu Nawas menyapa mereka seperti biasanya untuk meminta komentar dari para muridnya, di luar rumah sudah nampak lagi seorang tamu.

Setelah dipersilakan masuk dan duduk bercakap-cakap dengan Abu Nawas, orang yang ketiga ini mengajukan pertanyaan seperti orang-orang sebelumnya. “Wahai Abu Nawas, mana yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?

“Orang yang mengerjakan dosa besar.” Jawab Abu Nawas singkat.

“Mengapa demikian? Sambung orang ketiga.

“Sebab ampunan Allah lebih besar daripada dosa besar yang dilakukan orang tersebut ” Kata Abu Nawas.

Seperti dua orang sebelumnya, orang ketiga ini dengan mudah dapat mencerna jawaban Abu Nawas. Ia pun pulang dengan hati senang seraya membawa oleh-oleh pengetahuan dari Abu Nawas.

Seorang murid Abu Nawas yang sejak pagi menemani dan menyediakan jamuan untuk para tamu merasa penasaran dengan jawaban sang Guru. Kemudian ia bertanya, “Mengapa pertanyaan yang sama, kok jawabannya beda-beda?”

“Begini. Manusia itu terbagi kepada tiga tingkatan yakni, tingkatan mata, tingkatan otak, dan tingkatan hati. Manusia tingkatan mata seperti anak kecil yang melihat bintang di langit. Ia akan berkesimpulan bintang itu kecil.” Kata Abu Nawas mulai memberi penjelasan kepada murid-muridnya.

Seperti biasanya, murid-muridnya serius menyimak penjelasan orang yang dianggap gurunya tersebut. Kemudian Abu Nawas melanjutkan penjelasannya.

“Orang pertama tadi, orang awam. Ia baru mengenal Islam. Ia jangan terlalu banyak dibebani. Anggap saja dulu seperti anak kecil, ia akan melihat dosa hanya dengan matanya. Gembirakan saja dahulu supaya ia tetap dalam ajaran Islam. Namun, ia harus tetap dibimbing agar tingkatan berpikirnya semakin dewasa.”

Lalu kalau manusia tingkatan otak dan tingkatan hati? Tanya sang Murid.

“Manusia tingkatan otak, ia tidak akan melihat sesuatu bukan dengan mata saja, tapi ia akan melihatnya pula dengan otak, dengan ilmu yang dimilikinya. Benar, bintang di langit kelihatannya kecil, tapi berdasarkan ilmu pengetahuan yang ada di otaknya, bintang itu besar. Karenanya, berdasarkan ilmu, dosa besar dan dosa kecil tetaplah sama, karena keduanya sama-sama melanggar ketentuan Allah. Dengan demikian lebih baik tidak mengerjakan keduanya.”

“Manusia tingkatan hati tentu saja lebih tinggi daripada tingkatan mata dan tingkatan otak. Dialah orang yang hatinya sarat dengan keyakinan. Ketika melihat bintang di langit, ia tetap menyebutkan bintang itu kecil, sebab ia membandingkannya dengan kebesaran Allah. Baginya dosa sebesar apapun jika dibandingkan dengan besarnya ampunan Allah, maka dosa tersebut masih tergolong kecil, yang penting orang tersebut mau bertaubat, menyesali perbuatannya, dan meyakini akan kebesaran Allah Yang Maha Pengampun.” Jawab Abu Nawas panjang lebar.

Dalam memberikan nasihat dan menyampaikan kebenaran selayaknya kita belajar dari kecerdikan Abu Nawas. Ia menyampaikan satu masalah disesuaikan dengan kadar kemampuan orang dalam memahaminya.

Dari sudut pandang pedagogik (ilmu pendidikan) dalam menyampaikan nasihat atau pengajaran selayaknya menggunakan metode dan teknik pengajaran yang tepat. Seorang penasihat atau guru harus pandai melihat kemampuan daya pikir peserta didik atau orang yang akan dinasihati; memilah dan memilih bahan pengajaran atau nasihat yang akan disampaikannya; kemudian juga memilih metode cara menyampaikannya.

Dalam teknik dan metode mengajar ada teknik scanning dan levelling. Seorang pengajar yang baik akan melakukan scanning (pemilahan) terhadap kemampuan para muridnya yang kemudian melakukan leveling (penentuan tingkat) materi pelajaran. Praktek ini di sekolah-sekolah pada saat ini diwujudkan dalam tingkatan jenjang pendidikan yang terdiri dari beberapa kelas (Muhammad Syafi’i Antonio, Muhammad Saw, The Super Leader, Super Manager, 2007 : 201).

Dilihat dari sudut pandang metode dan teknik pengajaran, jawaban berbeda-beda untuk pertanyaan yang sama yang dilakukan Abu Nawas pada kisah tersebut tergolong kepada teknik pengajaran scanning and levelling. Ia telah melakukan scanning (pemilahan) terhadap kemampuan daya pikir orang yang bertanya. Setelah mengetahui kemampuan daya pikirnya, barulah ia memberikan penjelasan sesuai dengan level kemampuan berpikirnya.

Rasulullah saw, sering menggunakan teknik pengajaran scanning and levelling ketika memberikan nasihat kepada para sahabatnya.

Suatu ketika datang seseorang yang menyatakan diri masuk Islam. Kemudian orang tersebut bertanya kepada Rasulullah saw, “Apa yang harus aku lakukan setelah aku masuk Islam?” Rasulullah saw menjawab, “Katakanlah, ‘aku telah beriman, kemudian istikamahlah (dalam keimananmu).’ “ (H. R. Muslim, Shahih Muslim, hadits nomor 38).

Rasulullah saw sangat bijak dalam menjawab, ia tidak memberikan perintah yang berat seperti jihad atau zakat, sebab ia sangat mengetahui level daya pikir dan keyakinan orang yang dihadapinya. Padahal, kalau ia menyampaikan perintah untuk berjihad, ikut perang bersamanya, orang tersebut pun akan mengikutinya.

Apa yang dilakukan Rasulullah saw dan kemudian diteladani Abu Nawas, dalam dunia pendidikan modern digariskan dalam sebuah pedoman pendidikan yang disebut kurikulum . Didalamnya berisi penentuan level (tingkatan pengajaran) beserta pedoman metode pengajaran yang harus dipakai. Misalnya, mata pelajaran matematika diberikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai tingkat perguruan tinggi, namun level materi dan teknik pengajarannya berbeda-beda.

Meskipun dianggap hadits dhaif (lemah) oleh sebagian ulama hadits, namun maknanya dikuatkan oleh hadits-hadits lainnya, Rasulullah saw bersabda, “Kami (para Nabi) diperintah Allah untuk berbicara kepada manusia sesuai dengan level (tingkat) kemampuan daya pikirnya” (H. R. Dailami dalam kitab Al‘Ajluni, Kasyf al Khofa wa Muzil al Ilbas, huruf alif, hadits nomor 592).

Ilustrasi : Kurikulum (Sumber gambar : www.gurupendidikan.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image