Reposisi dan Revitalisasi Pemuda Muslim di Era Disrupsi
Teknologi | 2022-01-30 12:54:26Kata disrupsi akhir-akhir ini kian populer seiring dengan upaya adaptasi masyarakat terhadap situasi pandemi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata “disrupsi” berarti “hal tercabut dari akarnya”.
Fenomena disruption (disrupsi), merupakan situasi pergerakan suatu hal yang tak lagi linier. Era disrupsi memiliki beberapa ciri yang dapat dijelaskan melalui (VUCA) yaitu, perubahan yang masif, cepat dengan pola yang sulit tertebak (Volatility), perubahan yang cepat menyebabkan ketidakpastian (Uncertainty), terjadinya kompleksitas hubungan antar faktor penyebab perubahan (Complexity), kekurangjelasan arah perubahan yang menyebabkan ambiguitas (Ambiguity). Pada Era ini, teknologi informasi telah menjadi basis atau dasar dalam hampir semua lini kehidupan manusia.
Fenomena disrupsi digital ini tidak terlepas dari perkembangan industri dunia yang saat ini sudah masuk pada tahapan revolusi industri 4.0 (RI 4.0). RI 4.0 adalah nama tren otomasi dan pertukaran data terkini dalam teknologi pabrik. Istilah ini mencakup sistem siber-fisik, internet untuk segala, komputasi awan dan komputasi kognitif.
Industri 4.0 menghasilkan "pabrik cerdas". Di dalam pabrik cerdas berstruktur moduler, sistem siber-fisik mengawasi proses fisik, menciptakan salinan dunia fisik secara virtual, dan membuat keputusan yang tidak terpusat.
Revolusi Industri 4.0, Era Digitalisasi
Sejarah zaman industri baru sekitar dua abad. Namun dunia industri sudah mengalami empat kali revolusi. Revolusi pertama tahun 1784 ketika ditemukan mesin uap, yang lalu secara luas menggantikan tenaga manusia atau hewan di pabrik-pabrik, pertambangan, atau alat transportasi.
Revolusi kedua terjadi tahun 1870 ketika tenaga listrik mulai digunakan secara masif untuk membagi pekerjaan manufaktur dalam ban berjalan. Revolusi ketiga terjadi tahun 1969 setelah semikonduktor membuat perlengkapan elektronik menjadi murah.
Dan kini, revolusi industri keempat sedang terjadi, yang ditandai tiga teknologi kunci: Internet of things (IoT), BigData, dan Artificial Intelligence (AI).
IoT menghubungkan semakin banyak elektronik di kehidupan kita. GPS pada telepon pintar kita, bisa memberi tahu rumah kita ketika kita pulang, sehingga mengaktifkan pendingin ruang, menghidupkan mesin pembuat kopi hingga penanak nasi.
Pintu pagar rumah kita yang dilengkapi CCTV bisa mengenali kita secara otomatis dengan memadukan pengenal wajah dan informasi dari telepon pintar. Kalau kulkas kita "menyadari" bahwa ada isinya yang kurang (misalnya susu atau daging), dia bisa memesan sendiri ke supermarket terdekat secara online.
Sementara BigData mengumpulkan informasi dari berbagai perangkat IoT dan menggabungkannya dengan informasi dari media sosial maupun internet. Komputer BigData ini bisa tersebar di mana-mana dalam jaringan komputer awan (cloud).
Lalu, tanpa kita sadari, kita mengirim rute jalan yang kita lalui atau tempat yang kita kunjungi misalnya ke Google. Google sangat tahu mana jalan yang paling ramai dan potensial untuk berbagai bisnis. Media sosial juga mengumpulkan trending topic apa saja untuk dianalisis guna keperluan berbagai hal, termasuk untuk memenangkan pemilu.
Ketika data sudah begitu besar, tak mungkin lagi menganalisisnya secara manual. Maka kini makin banyak dikembangkan piranti kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). Meski mesin catur yang jenius sudah ada 30 tahun yang lalu, namun kini kecerdasan juga tertanam pada mobil tanpa sopir (driverless car), drone yang bisa mandiri mencari sasaran, dan robot yang sangat mirip manusia, bahkan lebih “cerdas”.
Akibat revolusi ini, dalam beberapa tahun mendatang akan terjadi pergeseran pekerjaan secara besar-besaran. Perusahaan ojek-online yang baru tumbuh dan meraksasa, boleh jadi dalam beberapa tahun mendatang akan tergantikan dengan ojek tanpa driver menyusul kesuksesan taksi tanpa sopir.
Di masa lalu, mesin uap juga telah menggeser jutaan buruh. Penerangan listrik menggeser jutaan petugas penyala obor penerangan jalan. Sentra Telepon Otomat menggeser jutaan petugas switching Telkom.
Maka kini, IoT, BigData, dan AI akan menggeser jutaan sekretaris, sopir, penerjemah, satpam dan guru. Bahkan tidak mungkin dengan segala kecanggihan teknologi saat ini dapat menggeser esensi kehidupan manusia, dari dunia nyata menjadi serba virtual. Mall, perkantoran, pasar hingga jual beli tanah pun dapat dilakukan secara virtual.
Semua kemajuan teknologi itu saat unu dikendalikan penuh oleh asing yang driver utamanya adalah prinsip kapitalistik yakni KBE (Knowledge-based economy). Dunia Islam hanya dijadikan objek dan pasar. Kaum muslim didorong hanya untuk melayani kepentingan industry asing yang notabene dimiliki oleh kaum kufar kapitalis. Seperti isu yang berkembang ditengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini, tentang Metaverse.
Metaverse menjadi isu perbincangan setelah Facebook mengumumkan perubahan nama menjadi Meta. Isu ini cukup menarik perhatian setelah Mark Zuckerberg sang punggawa Facebook bersama timnya mengumumkan akan menggelontorkan dana sebesar 10 milliar US dollar atau setara dengan 140 T untuk membangun metaverse di tahun ini.
Matthew Ball seorang penulis metaverse primer menulis bahwa “Metaverse adalah jaringan luas dari media virtual tiga dimensi yang bekerja secara real-time dan persisten, serta mendukung kesinambungan identitas, objek, sejarah, pembayaran, dan hak yang mana dunia itu dialami secara serempak oleh jumlah pengguna yang tidak terbatas.”
Digadang-gadang para pengamat jika Metaverse ini benar-benar terealisasi maka akan berpotensi mengubah bagaimana cara kita bersosialisasi, bekerja, berbisnis, dan bahkan cara manusia memandang kehidupan termasuk manuver kapitalisme bekerja. Bagi para pelaku bisnis metaverse adalah tanah garapan baru yang kaya potensi untuk dikeruk.
Metaverse dianalogikan mirip sebuah games dimana kita menciptakan avatar diri kita sendiri untuk berinteraksi dengan pemain lain di dunia virtual tersebut tanpa batas. Bedanya jika games dimainkan dengan menatap layar gadget, metaverse dimainkan dengan perangkat Virtual Reality (VR) sehingga membawa pemain benar-benar merasakan ada di dunia virtual tersebut seakan nyata.
Secara penglihatan metaverse juga memiliki tampilan 3 dimensi yang sangat mirip dengan dunia nyata. Lebih jauh lagi, metaverse dianalogikan seperti sebuah planet tak berpenghuni yang baru ditemukan dengan kekayaan potensi keuntungan yang dilihat dari kacamata bisnis maupun industri digital kreatif. Maka, wajar dari awal ditemukan, metaverse sudah mengundang persaingan antar perusahaan-perusahaan raksasa yang berusaha meletakkan dominasinya di awal karena bargaining position ini akan menentukan siapa yang akan meraup untung lebih banyak layaknya peletak dasar (pondasi) bagi bangunan seperti Facebook yang selalu lebih unggul dari platform lainnya.
Di metaverse perusahaan pengembang dapat membangun berbagai fasilitas umum seperti mall, perkantoran, tempat rekreasi, sekolah dan sebagainya. Bahkan kita bisa menjual lapak-lapak tanah, rumah, apartemen, dan ruang perkantoran. Beragam teknologi mutakhir dipakai demi mengundang sebanyak-banyaknya orang untuk mau tinggal di dunia tersebut. Hanya saja semua fasilitas ini tidak nyata alias hanya virtual saja yang bisa diakses dengan perangkat VR.
Dunia Ilusi Kapitalistik
Kecanggihan dunia digital tidak dapat dipungkiri membawa manusia semakin meninggalkan dunia nyata yang sebenarnya. Menurut Fedinandus Setu, Plt. Kepala Biro Humas Kominfo, ada sekitar 142 juta pengguna internet di Indonesia, dimana 30 juta anak milenial aktif bermain game.
"Dari 142 juta pengguna akses internet, data kami menunjukkan sekitar 30 juta anak millenial aktif bermain game setiap harinya," Kata Ferdinandus Setu. (Okezone, 3/19). Angka yang sangat wajar dengan semakin maraknya game-game yang tercipta. Semakin subur karena dipertandingkan dengan hadiah fantastis puluhan juta.
Bahkan survei pada awal tahun 2021, menunjukkan pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta jiwa atau sekitar 73,7 persen dari jumlah penduduk Indonesia. (Kompas, 01/21)
Bagi kapitalis ini adalah ladang subur untuk berinvestasi mengingat tidak ada halangan bagi kaum millenial hari ini untuk tidak terpapar game addictive sehingga tahan berjam-jam di depan gawai mereka hanya untuk sekedar menikmati "hiburan".
Kapitalisme-liberalis membangun "rumah" untuk para penikmat dunia khayalan, namun sayang mereka tidak menyediakan “rumah sakit” akibat candu yang ditimbulkannya. Compulsive Gaming, sebutan WHO bagi orang yang kecanduan bermain game dilihat sebagai penyakin mental baru dalam kesehatan psikologis manusia.
Mark D. Griffiths, seorang Profesor Kecanduan Prilaku di Universitas Nottingham Trent, Inggris yang berfokus di bidang kecanduan perilaku yaitu gangguan judi, kecanduan game, kecanduan internet, kecanduan seks, dan kecanduan kerja, mengungkapkan bahwa video game adalah seperti semacam judi non-finansial dari sudut pandang psikologis. Penjudi menggunakan uang untuk menjaga skor, sedangkan games menggunakan poin (Dreamers.id, 6/18).
Dunia digital di era kapitalistik bekerja dengan memainkan algoritma pencarian untuk membaca pasar. Dari sanalah mereka mengetahui apa yang paling digemari oleh orang-orang. Sehingga tanpa sadar tontonan-tontonan yang relevan sambung-menyambung memenuhi beranda media sosial yang membuat orang-orang menghabiskan waktu banyak untuk memuaskan rasa penasaran dan hawa nafsu mereka.
Barat Membajak Potensi Pemuda Muslim
Barat tengah menghadapi ancaman serius dari lawan ideologinya – yakni Islam – pasca runtuhnya Uni Soviet dan kebangkrutan ideologinya. Gelora kebangkitan umat di Dunia Islam yang membuncah pasca 'Arab Spring' menjadi momok menakutkan bagi Barat. Realita pemuda yang menjadi pionir perubahan di negara-negara dengan rezim otoriter, dibaca Barat sebagai ancaman eksistensi mereka, karena para penguasa anteknya telah ditumbangkan. Karena itu upaya meredam kebangkitan Islam semakin giat seiring melajunya kesadaran umat Islam untuk kembali pada posisinya, sebagai khayru ummah menggantikan hegemoni mereka.
Selanjutnya, jebakan untuk anak-anak dan pemuda Muslim dengan budaya liberal pun terus digencarkan oleh Barat. Tujuannya adalah agar mereka terperosok dalam kubangan ide-ide dan nilai-nilai sekular liberal. Kecanduan narkoba dan seks sudah menjadi cerita sehari-hari media kita. Belum lagi tawaran yang menggiurkan di bisnis hiburan, jalan cepat menjadi kaya dengan menjadi artis atau penyanyi, membuat anak-anak dan pemuda muslim rela diterpa panas dan dingin mengikuti audisi berbagai ajang adu bakat. Dan ketika kini hadir berbagai platform media sosial, anak-anak dan pemuda muslim rela menurunkan harga dirinya, dari yang hanya berjoget ria sampai menjual gambar atau video dirinya tanpa busana demi uang dan popularitas.
Kini, tren NFT dan Ghozali effect pun sedang jadi perbincangan di kalangan pemuda muslim. Setelah foto selfi Ghozali Everyday terjual miliaran Rupiah. Tak sedikit yang mulai kepo dan ikutan jejaknya. Berharap rezeki nomplok menghampiri. Bukan hanya foto selfi diri atau gambar hasil karya, dilihat dari tangkapan layar di OpenSea, bahkan tampak banyak foto selfie orang yang memegang KTP. Tidak hanya itu, terdapat beberapa foto KTP langsung. Bukan uang yang mengalir, justru kejahatan cyber mengintai mereka.
Itulah sebagian realita yang menggambarkan Barat merampas potensi pemuda Muslim. Orientasi materi telah menuntun mereka ke jalan hidup yang salah. Padahal mereka adalah asset berharga umat Islam, namun kini asset itu direbut oleh penjajah yang membenci kebaikan umat ini. Tentu tidak rela asset berharga itu direbut mereka. Semestinya ada upaya merebut kembali dan memalingkan hati, pikiran dan pembelaan generasi muda kepada Islam, umat dan kemuliaannya.
Reposisi dan Revitalisasi Pemuda Muslim
Saat Rasulullah SAW. berdakwah, generasi pertama yang menerima Islam mayoritasnya adalah pemuda. Dalam kiprahnya membela, menjaga dan melindungi Islam, pemuda ada di baris depan. Pasukan perang juga dipenuhi para pemuda. Para pengemban dakwah yang diutus Rasulullah juga adalah kaum muda. Salah satunya adalah Mush’ab bin ‘Umair yang diminta Rasulullah dakwah ke Madinah.
Ia menjadi duta Islam pertama. Mush’ab menjadi seorang yang meninggalkan kebanggaan palsu dunia dan menggantikannya dengan kemuliaan hakiki di akhirat. Berkat kiprah Mush’ab, dalam tempo kurang dari satu tahun hampir seluruh penduduk Madinah masuk Islam.
Posisi seperti itulah yang semestinya ada pada pemuda Muslim kita. Mereka adalah pengemban dakwah Islam yang terpercaya, duta-duta propaganda syariah Islam yang akan menjadi rahmat bagi seluruh penduduk bumi jika diterapkan secara kaffah dalam institusi Daulah Islam.
Posisi dan fungsi vital pemuda inilah yang harus dikembalikan agar terjadi sebagaimana tuntutan Islam. Karena itu harus ada gerakan penyadaran para pemuda Muslim yang dilakukan semua pihak, khususnya partai politik Islam yang berpijak pada mabda’ (ide dan metode) Islam.
Sejatinya peran penting pemuda akan teroptimalisasi dalam masyarakat yang menerapkan Islam kaffah. Daulah Islam yang menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pemberdayaan pemuda. System pendidikan, pergaulan sosial, system ekonomi dan politik yang akan diterapkan Khilafah mendukung pemberdayaan potensial pemuda sebagai penjaga dan pelindung Islam terpercaya. Akal dan hati mereka akan senantiasa ditambatkan pada Islam dan kejayaan umatnya. Karena itu saat ini arah percerdasan dan pemberdayaan pemuda Muslim harus ditujukan pada upaya penerapan Sistem Islam secara sempurna dan total dalam sebuah Institusi Negara.
Wallahu’alam
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.