Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image GREAT Edunesia

Guru Besar: Sebuah Telaah Nilai dan Makna

Edukasi | 2024-10-09 17:21:27

 

Dosen memiliki jabatan fungsional yang tertera pada UU No. 20 Tahun 2023 Tentang ASN. Jabatan fungsional ini terdiri dari Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala, dan Guru Besar atau Profesor. Jabatan Fungsional ini tidak hanya untuk dosen-dosen pada perguruan tinggi negeri namun juga pada dosen di perguruan tinggi swasta. Pada masa kuliah S1, S2 maupun S3, seseorang yang telah lulus akan diberikan gelar seperti sarjana, magister, maupun doktor. Namun untuk mencapai professor, seseorang tidak perlu lagi menempuh jenjang pendidikan lanjutan melainkan dengan cara memenuhi persyaratan angka kredit yang telah diatur.

Dalam hal usaha mencapai angka kredit, dosen memiliki kewajiban berupa Tri Dharma Perguruan Tinggi. Setiap dosen PNS diwajibkan untuk memiliki 12 SKS (Sistem Kredit Semester) yang sudah termasuk penelitian, pendidikan, dan pengabdian masyarakat. Hal ini dilakukan disetiap semesternya sehingga tugas dosen tidak hanya fokus pada pendidkan namun juga melakukan penelitian dan mengabdi kepada masyarakat.

Kewajiban Tri Dharma Perguruan Tinggi yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan mengantarkan seorang dosen menjadi Guru Besar (Profesor) ketika angka kreditnya sudah mencukupi. Tentunya hal ini membutuhkan waktu bertahun-tahun, belasan bahkan bisa sampai puluhan tahun. Oleh karena itu, status guru besar tidak bisa didapatkan oleh seseorang yang tidak benar-benar ekspert (ahli) dibidangnya. Seorang Guru Besar memiliki kewajiban untuk menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasan untuk mencerahkan masyarakat.[1] Kewajiban tersebut menunjukkan bahwa Guru Besar perlu untuk membuktikan kepakarannya dan menjadi benar-benar ahli dalam kepakarannya sendiri.

Tidak sedikit dosen yang bercita-cita menjadi dosen. Tentunya ada banyak sekali dosen yang mengarah kepada jabatan fungsional tertinggi tersebut. Segala cara dilakukan yang sayangnya, beberapa waktu lalu ditemukan kasus besar sehingga disebut sebagai Skandal Guru Besar. Skandal atau masalah ini menjadi pukulan besar terhadap lingkungan pendidikan di dosen. Disebut secara jelas bahwa Universitas Lambung Mangkurat, 11 Guru Besarnya terlibat dalam skandal untuk percepatan Guru Besar.[2]

Kesucian Guru Besar kini dipertanyakan dan ini tentu merugikan orang-orang yang sudah berjuang untuk menjadi Guru Besar dengan melalui jalan yang jujur dan berintegritas. Sebenarnya, usaha untuk menjadi Guru Besar telah dilakukan dengan sangat ketat, namun ditemukan oknum yang menyalahgunakan wewenang dalam proses mendapatkan gelar Guru Besar tersebut sehingga tercorenglah prosesnya dan juga status Guru Besarnya.[3]

Gelar dan jabatan Guru Besar, bukanlah bentuk bahwa mereka adalah manusia dengan jabatan yang paling perlu dihormati sehingga orang lain disekitarnya ada dalam posisi yang lebih rendah. Guru Besar ASN, pada akhirnya tetap harus memiliki nilai AKHLAK yang perlu selalu ditanamkan pada dirinya sendiri. Nilai tersebut juga tercantum pada UU No. 20 Tahun 2023 seperti berorientasi pelayanan, akuntabel, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif. Hal ini berarti Guru Besar ASN tetap perlu untuk melayani bukan hanya minta dilayani, dan wajib untuk tetap menjaga kode etik dan kode perilaku ASN demi kepentingan bangsa dan negara.

Skandal Guru Besar merupakan sebuah pukulan telak pada instansi suci perguruan tinggi dimana pusat pendidikan tertinggi dilaksanakan. Dengan adanya penerapan nilai berakhlak bagi Guru Besar ASN, diharapkan integritas dan harga diri perguruan tinggi muncul kembali sehingga keilmuan, kepakaran, dan kehormatan pada Guru Besar bukan hal yang tidak mungkin dilakukan sebagai bentuk penghormatan pada suatu ilmu.

[1] https://binus.ac.id/2022/03/guru-besar-apa-sih-itu-yuk-cari-tahu/

[2] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240930153553-20-1149986/akreditasi-ulm-turun-dari-a-jadi-c-buntut-dugaan-skandal-11-guru-besar

[3] https://nasional.tempo.co/read/1925911/cegah-jual-beli-gelar-guru-besar-asosiasi-profesor-indonesia-sebut-perlu-komisi-etik-akademik-di-perguruan-tinggi

Penulis:

Lobelia Asmaul Husna merupakan seorang dosen Program Studi Pendidikan Sejarah di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Husna menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 di kampus tempat ia mengabdi sekarang yaitu UNJ. Tahun 2024 ini merupakan tahun pertamanya menjadi dosen dan saat ini sedang mengikuti Latihan Dasar (Latsar) untuk para Calon Pegawai Negeri Sipil. Husna pernah menjadi penerima manfaat Beasiswa Aktivis Nusantara (Bakti Nusa) dari Dompet Dhuafa. Profesinya sebagai dosen merupakan buah dari diskusi panjang selama dua tahun dibina dalam program beasiswa tersebut.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image