Alex Maramis: Sang Advokat Nasionalis
Sejarah | 2024-10-02 14:55:52Minahasa yang terletak di Sulawesi Utara menjadi kumpulan mayoritas umat Kristiani. Datangnya ajaran kristen mengurangi tingkat kejahatan di Minahasa. Sama halnya daerah Hindia Belanda yang lain, Minahasa juga dianugerahi keindahan alam dan sumber daya alam yang melimpah dengan rempah dan tanaman pangan.
Sayangnya, rempah dan tanaman pangan tersebut tak berarti banyak bagi masyarakat Minahasa karena sumber daya alam mereka dieksploitasi oleh penduduk Eropa. Meski umumnya orang Minahasa adalah umat Kristiani, sama dengan kebanyakan orang Eropa, kesamaan agama tak membawa hak yang adil bagi masyarakat Minahasa.
Bernadus Maramis tampil untuk membela kaum papa. Dia menjabat sebagai pokrol bambu yang menjaga hak-hak masyarakat Minahasa dari ketidakadilan pemerintah Belanda. Meski prokol bambu hanyalah seorang penasihat hukum yang belum memiliki kompetensi ilmu hukum, tetapi pokrol bambu memiliki peran penting dalam melayani permasalahan hukum masyarakat Minahasa yang saat itu merasa berjarak dengan advokat resmi.
Keluarga Maramis kian dikenal masyarakat Minahasa. Marga Maramis termasuk yang dihormati dan terpandang di wilayah setempat. Tak hanya Bernadus Maramis yang andil dalam membela masyarakat. Adapun anak dari Bernadus bernama Maria Walanda Maramis dan Andries Alexander Maramis ikut berperan membela kaum Minahasa. Andries Alexander Maramis yang melanjutkan warisan profesi dari sang ayah sebagai pokrol bambu. Andries adalah seorang lulusan Hoofdenschool (sekolah raja) Tondano. Dari sinilah cikal bakal lahirnya advokat nasionalis yang menjadi bagian Panitia Sembilan untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Dia adalah Alexander Andries Maramis. Masyarakat Indonesia mengenalnya dengan nama A.A. Maramis. Sedangkan keluarga dan orang-orang dekatnya memanggilnya dengan nama Alex Maramis. Namanya memang mirip dengan sang ayah. Dia tinggal di kawasan elit distrik Manado yang mayoritas penduduknya adalah orang Belanda. Keluarga Alex bagian kecil dari orang asli Minahasa yang tinggal disana. Alex Maramis memanfaatkan privilege keluarganya dengan bersekolah di Hoogere Burgerschool (HBS). Sekolah elit pada zaman kolonial yang hanya bisa ditempati kalangan eropa dan bangsawan pribumi. Bagi rakyat pribumi miskin, andaikan untuk bersekolah di HBS untuk membaca dan menulis pun mereka sulit mendapatkannya.
Setelah lulus dari HBS, Alex tak mewariskan profesi sang kakek menjadi pokrol bambu. Dia ingin melanjutkan sekolah hukum di Universitas Leiden, Belanda. Andries sang ayah, mendukung dan tak keberatan untuk memfasilitasi biaya hidup Alex di negeri Eropa. Memang keluarga Maramis termasuk kalangan atas di Manado. Maramis memiliki perkebunan sawit yang luas. Meski Alex mendapat dukungan materi maupun psikologis dari kedua orang tuanya, hal tersebut tak membuat ia bermalas-malasan ataupun terjebak dalam zona nyaman. Alex berjuang untuk bisa mendapatkan sertifikat kompetensi sebelum masuk perguruan tinggi. Setahun setelah kedatangannya di Leiden, barulah ia mengikuti ujian tersebut di Utrecht tahun 1920.
Berkat ijazah HBS dan sertifikasi kompetensi tersebut, namanya terpampang dalam Nederlandsche Staatscourant edisi 20 Oktober 1920. Akhirnya, Alex resmi menjadi mahasiswa hukum Universitas Leiden. Berbeda dengan teman seperjuangan dari Minahasa lainnya yang juga mendaftar di kampus yang sama, mereka tak lolos seleksi karena tidak mengantongi ijazah HBS. Beruntungnya Alex memiliki ijazah HBS tersebut, sehingga pihak universitas dapat mempertimbangkan namanya untuk diterima. Setelah diterima, Alex pun tak perlu risau mencari beasiswa untuk biaya kuliah dan biaya hidupnya. Tak seperti Hatta yang harus mencari subsidi untuk bertahan hidup melalui beasiswa.
Selain belajar seperti mahasiswa pada umumnya, Alex suka mengikuti acara dansa di tengah waktu luangnya. Alex juga mengembangkan bakat bermain biola yang sejak ia tekuni ketika bersekolah di HBS. Alex kerap bermain biola bersama dengan Achmad Subardjo yang saat itu juga menempuh studi di Eropa. Tak hanya aktif bermain musik, Alex juga aktif dalam kegiatan organisasi pergerakan mahasiswa Indonesia di Belanda. Alex sering mengikuti rapat Indonesische Vereeniging dan menuliskan gagasannya di Gedenkboek Indonesische Vereeneging edisi April 1924. Perkumpulan mahasiswa Indonesia tersebut dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara untuk berdiskusi mengenai isu politik Hindia Belanda dan memperjuangkan hak-hak Bumiputera.
Tak terasa, Alex berhasil meraih gelar hukum di depan namanya yaitu Meester de Rechten. Alex memutuskan kembali pulang ke tanah air dengan menaiki kapal Batavia dan singgah sementara di Batavia sebelum ke Manado. Tak lama ia kembali ke Batavia untuk berkarir menjadi advokat di tanah Jawa. Keputusan bulat menjadi advokat membawa dirinya untuk mengirimkan surat ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Bogor. Ia ingin menjadi advokat di Pengadilan Negeri Semarang. Tekadnya pun membuahkan hasil, ia menjadi advokat pertama di sana untuk membela keadilan bagi kaum pribumi.
Seharusnya dengan gelar hukum yang dia dapatkan dari Universitas Leiden dapat mengantarkannya duduk di bangku pemerintah Belanda sebagai pegawai bidang hukum. Namun dia memilih untuk menjadi advokat partikelir yang dapat membantu masyarakat pribumi, masyarakat di tanah kelahirannya. Meski gajinya tak sebanding dengan kerja kerasnya, namun Alex melakukannya dengan ikhlas dan sukarela. Darah perjuangan sang kakek mengalir dalam tubuhnya. Alex seorang anak prokol bambu memilih terjun pada persoalan yang dihadapi saudara sebangsanya.
Setelah Indonesia mengumandangkan proklamasi kemerdekaan, para the founding fathers bergegas mencari kandidat menteri di pemerintahan. Alex dipilih menjadi menteri keuangan negara. Padahal saat itu, kondisi keuangan negara dan masyarakat sedang berada dalam titik terendah. Namun. Alex mumpuni dalam menyelesaikan keuangan negara yang sedang amburadul. Dia mengeluarkan mata uang negara yaitu Oeang Republik Indonesia yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan No 3/RO 7 November 1945. Begitulah perjalanan karir Alex Maramis. Jasa dan dedikasinya menjadi penerang saat Indonesia dalam kegelapan. Siapa yang menyangka berawal dari anak prokol bambu hingga menjadi menteri keuangan negara.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.