Jeritan Sunyi di Sekolah Terlupakan: Misteri Gadis Kecil yang Tak Pernah Pergi
Dunia sastra | 2024-10-01 17:26:59Di ujung kota yang sudah lama ditinggalkan, berdiri sebuah sekolah tua bernama SMA Bina Mulia. Sekolah itu dibangun pada zaman kolonial, dan selama bertahun-tahun, banyak cerita menyeramkan yang mengelilinginya. Para penduduk setempat sering bercerita tentang suara-suara aneh yang terdengar dari dalam gedung saat malam tiba. Beberapa orang yang pernah mencoba masuk setelah gelap mengatakan melihat bayangan-bayangan tak jelas melintas di jendela.
Dua tahun yang lalu, sekolah itu resmi ditutup karena jumlah murid yang semakin berkurang. Namun, tiga orang sahabat — Rina, Toni, dan Sari — memutuskan untuk membuktikan kebenaran mitos yang mengelilingi sekolah tersebut. Mereka merencanakan untuk memasuki sekolah tua itu di malam hari dan merekam apa yang mereka temui.
Malam itu, bulan penuh menggantung di langit, menerangi jalan setapak yang menuju ke sekolah. Rina, Toni, dan Sari berdiri di depan gerbang yang sudah berkarat, sedikit ragu namun dipenuhi rasa penasaran. Setelah beberapa detik saling memandang, Toni memberanikan diri untuk mendorong gerbang besi yang berdecit keras, membelah keheningan malam.
Saat mereka masuk ke dalam halaman sekolah, suasana terasa berat. Rumput liar tumbuh tinggi di sekitar gedung, dan cat di dinding-dindingnya sudah mengelupas. Lampu senter mereka menari-nari di antara bayangan gelap, memperlihatkan koridor yang panjang dan sempit di depan mereka.
“Ayo cepat masuk, sebelum aku berubah pikiran,” kata Sari sambil menggenggam erat tangannya.
Mereka berjalan perlahan ke dalam sekolah. Lantai kayu yang lapuk berderit di setiap langkah, seakan-akan ada sesuatu yang hidup di bawahnya. Di ujung lorong, sebuah ruang kelas terbuka. Mereka masuk dan mendapati papan tulis yang masih ada di tempatnya, namun penuh dengan coretan misterius. Ada tulisan-tulisan samar yang seolah menciptakan kalimat yang tak terbaca.
Toni menyalakan kameranya dan mulai merekam, tetapi saat dia mengarahkan kameranya ke papan tulis, layar mendadak bergetar hebat. Gambar menjadi kabur, dan terdengar suara berdesis seperti seseorang yang menarik napas panjang.
“Ada apa, Ton?” tanya Rina.
Toni berusaha memperbaiki kameranya, tetapi tiba-tiba layar menampilkan sosok hitam berdiri di pojok ruangan, memunggungi mereka. Tidak ada yang nyata di depan mereka, tetapi di layar, sosok itu jelas terlihat.
Dengan gugup, mereka memandang sekeliling, memastikan tak ada siapa pun di ruangan itu. Namun, saat mereka hendak keluar, terdengar suara pelan, suara tawa kecil, seperti anak-anak yang bermain. Suara itu menggema di seluruh ruangan, membuat bulu kuduk mereka merinding.
“Cepat keluar!” teriak Sari dengan panik. Mereka lari menuju pintu, namun ketika Toni mencoba membuka pintu, pintu itu tak mau terbuka. Seolah terkunci dari luar. Detik itu juga, suhu ruangan tiba-tiba turun drastis. Nafas mereka menjadi kabut di udara dingin.
Di luar jendela, mereka bisa melihat seorang gadis kecil berambut panjang, berdiri diam di halaman sekolah, memandang ke arah mereka. Dia tidak bergerak, hanya memandangi mereka dengan tatapan hampa, senyum tipis terlukis di wajahnya. Gadis itu mengenakan seragam sekolah usang dengan rok panjang yang berayun ditiup angin.
Toni mencoba lagi membuka pintu dengan sekuat tenaga, dan akhirnya pintu itu terbuka dengan keras. Mereka segera berlari keluar dari gedung itu. Di belakang mereka, terdengar suara tawa anak-anak semakin keras, semakin dekat, seolah mengejar. Namun, saat mereka sampai di gerbang, semuanya mendadak sunyi.
Mereka berbalik untuk melihat ke arah sekolah tua itu. Gadis kecil yang mereka lihat di jendela kini berdiri tepat di depan pintu masuk, tatapannya masih sama, dingin dan kosong.
Esok paginya, saat mereka kembali untuk mengambil kamera yang tertinggal di dalam, sekolah itu terlihat berbeda. Papan tulis di ruang kelas yang mereka masuki malam itu telah bersih, tanpa coretan misterius. Namun, ketika mereka memutar rekaman yang berhasil diselamatkan, sosok hitam yang terekam di pojok ruangan kembali muncul, kali ini lebih jelas. Dan di akhir rekaman, wajah gadis kecil itu muncul tepat di depan lensa, tersenyum menyeramkan, sebelum layar berubah gelap.
Sejak saat itu, tak ada yang berani mendekati SMA Bina Mulia lagi. Kabarnya, roh-roh yang terjebak di dalam gedung itu masih menunggu, mencari jiwa-jiwa baru untuk diajak bermain dalam kegelapan abadi.
Setelah berlari keluar dari sekolah tua itu, Rina, Toni, dan Sari tak pernah berhenti berpikir tentang apa yang baru saja mereka alami. Malam itu terasa nyata, tapi di pagi hari, segala sesuatunya tampak lebih absurd, seperti mimpi buruk yang menolak lenyap.
Mereka memutuskan untuk tidak pernah membicarakannya lagi, tetapi rasa penasaran terus menghantui pikiran mereka. Sari yang paling terganggu. Setiap malam setelah insiden itu, ia bermimpi tentang gadis kecil di halaman sekolah. Wajah gadis itu semakin jelas, dengan senyum aneh dan mata yang kosong, seolah menatap langsung ke dalam jiwanya. Yang paling menyeramkan adalah ketika Sari bangun dari tidurnya, ia merasakan seolah-olah ada sesuatu yang mengawasinya di dalam kamarnya. Bayangan di sudut ruangan selalu tampak terlalu padat, terlalu gelap.
Suatu malam, Sari tak tahan lagi. Ia memberanikan diri untuk kembali ke sekolah, kali ini sendirian. Ia berpikir jika ia bisa menghadapi langsung apa pun yang menghantuinya, mimpi buruk itu akan berhenti. Dengan membawa senter dan pisau kecil untuk berjaga-jaga, ia menuju sekolah pada tengah malam. Ketika sampai di gerbang berkarat, udara terasa lebih dingin daripada malam sebelumnya, dan angin yang bertiup membawa aroma lembab, seperti tanah basah setelah hujan.
Pintu gerbang yang berdecit terdengar seperti erangan makhluk kesakitan saat Sari mendorongnya terbuka. Ia melangkah masuk ke halaman sekolah yang sekarang tampak jauh lebih menyeramkan. Suara langkah kakinya di atas rumput kering terdengar begitu keras dalam keheningan. Di bawah cahaya bulan yang redup, gedung sekolah itu tampak seperti makhluk tua yang sedang menunggu, penuh rahasia kelam yang siap menelan siapa pun yang berani mendekat.
Ketika Sari memasuki gedung, bau busuk menyeruak, seolah-olah ada sesuatu yang membusuk di dalam. Lantai kayu berderit pelan, seolah-olah menahan napas di bawah kakinya. Tiba-tiba, Sari mendengar suara-suara samar di belakangnya—seperti langkah kaki kecil yang mengikuti dari jauh. Ia berbalik cepat, tapi tak ada apa-apa, hanya bayangannya sendiri yang terpantul di dinding retak.
Meski rasa takut mulai menggerogoti keberaniannya, Sari melangkah lebih jauh, hingga ia menemukan ruang kelas yang sama dengan malam sebelumnya. Pintu ruangan terbuka sedikit, seperti mengundang. Di dalam, papan tulis masih kosong, tanpa coretan-coretan yang sebelumnya mereka lihat. Namun, di kursi-kursi yang berderet di dalam kelas, Sari mulai melihat sesuatu yang membuatnya terpaku. Ada benda-benda kecil seperti boneka yang duduk di kursi-kursi, mengenakan seragam sekolah lusuh. Wajah-wajah boneka itu mengerikan—mulut mereka sobek lebar dan matanya terbuat dari kancing-kancing hitam yang besar, memandang lurus ke arahnya.
Perlahan, salah satu boneka itu mulai bergerak. Sari membeku, jantungnya berdegup kencang. Boneka itu mengangkat kepalanya, mulutnya terbuka, dan dari dalamnya terdengar tawa anak kecil—tawa yang sangat menyeramkan, seperti berasal dari tempat yang jauh, namun begitu nyata. Tawa itu bergema di seluruh ruangan, membuat Sari mundur perlahan.
Ia tahu ia harus keluar dari sana. Namun saat ia berbalik, pintu yang tadi terbuka sedikit, kini sudah tertutup rapat. Di cermin kecil yang menggantung di dinding dekat pintu, ia melihat sesuatu yang membuatnya hampir kehilangan akal: sosok gadis kecil berambut panjang itu berdiri tepat di belakangnya, tak bergerak, menatapnya dengan mata yang tak berekspresi.
Sari berteriak, dan pada saat itu pula lampu senter di tangannya mati total. Ia mencoba menyalakannya kembali, namun tak berhasil. Suara tawa semakin mendekat, dan dalam kegelapan, Sari merasakan sesuatu yang dingin menyentuh bahunya. Ketika ia menoleh, tak ada apa-apa, namun bau busuk semakin kuat, membuatnya hampir muntah.
Dengan penuh kepanikan, ia memukul pintu sekuat tenaga, berharap bisa keluar. Ketika akhirnya pintu itu terbuka, ia berlari keluar, tanpa melihat ke belakang lagi. Ia hampir sampai di gerbang ketika terdengar suara langkah kaki cepat di belakangnya, seperti seseorang yang berlari mengejar. Ia tak berani menoleh, tetapi ketika ia mencapai gerbang, sesuatu mencengkeram kakinya.
Sari jatuh tersungkur, namun dengan segenap kekuatan, ia berhasil menarik kakinya dan merangkak keluar dari gerbang sebelum akhirnya bangkit dan berlari secepat mungkin. Ketika ia menoleh sekali lagi sebelum benar-benar meninggalkan sekolah itu, ia melihat sosok gadis kecil berdiri di tengah-tengah gerbang yang berkarat, senyum tipis di wajahnya yang pucat. Di sekeliling gadis itu, boneka-boneka kecil tampak bergerak pelan, seolah hidup, melambai-lambaikan tangan mereka yang rusak kepada Sari.
Pulang ke rumah, Sari tak pernah sama lagi. Ia jatuh sakit, sering berteriak di tengah malam, mengigau tentang gadis kecil dan tawa-tawa mengerikan yang terus menghantuinya. Beberapa minggu kemudian, ia ditemukan tak sadarkan diri di kamarnya, dengan boneka kecil di sebelahnya, yang tak seorang pun tahu dari mana asalnya.
Kini, tak ada yang berani mendekati sekolah tua itu lagi. Bukan hanya karena kisah-kisah menyeramkan yang beredar, tetapi karena orang-orang yang pernah berani datang ke sana selalu kembali dengan cerita yang lebih mengerikan, atau tidak pernah kembali sama sekali.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.