Bobroknya Penegakan Hukum di Indonesia
Eduaksi | 2022-01-23 20:34:59Sungguh ironi sekali melihat praktik penegakan hukum di negara negara hukum sekaligus negara demokratis ternyata masih melenceng 180° dari harapan. Negara hukum berarti semua warga negara dan penyelenggara harus tunduk pada aturan hukum yang berlaku. Dalam negara demokrasi warga negara memiliki hak yang sama dalam mengambil keputusan artinya kekuasaan dan kedaulatan berada di tangan rakyat sedangkan pemerintah hanya menjalankan kedaulatan. Tetapi pada kenyataannya, aturan hukum sering kali dilanggar bahkan oleh aparat penegak hukum dan pembuat hukum itu sendiri. Penegakan hukum di Indonesia masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Menurut UUD 1945 pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang berarti bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan menjalankan ketertiban hukum. Hal itu berarti bahwa kekuasaan negara berdasarkan atas hukum, bukan kekuasaan, pemerintahan negara atau konstitusi.
Cita-cita luhur Bangsa Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan pancasila. Namun, cita-cita membangun negara hukum ternyata hanya sebatas mimpi di siang bolong. Pancasila dan negara hukum hanya sebatas slogan. Etika dan moral dari pemimpin atau aparat penegak hukum masih diragukan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya persoalan yang melanda negara ini seperti teroris yang mengancam keselamatan dan keamanan, korupsi, pelanggaran HAM, dekadensi moral para penegak hukum (jaksa, hakim, advokat, pengacara dan polisi) bahkan sampai perpecahan bangsa/disintegrasi yang mengancam keutuhan NKRI. Hasil survei yang diadakan lembaga-lembaga internasional selalu memperhatikan Indonesia termasuk negara urutan paling tinggi korupsinya.
Pelanggaran hukum dilakukan sejak masa reformasi terlihat baik dari kalangan birokrat, wakil rakyat, sampai pada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan pengacara melalui juducial corruption dengan mempermainkan formalitas hukum untuk melemahkan hukum. Banyak pelanggaran hukum dan ketidakpastian hukum dilakukan dengan bertindak seolah-olah tidak salah karena belum bisa dibuktikan kesalahannya di pengadilan. Seperti kasus pada Nazaruddin yang melibatkan kalangan polisi dan menteri. Belum lagi kasus korupsi di Kementrian Transmigrasi dan Tenaga Kerja yang melibatkan orang nomor satu di kementrian tersebut. Selain itu ada juga kasus Nenek Minah yang merupakan salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Nenek Minah diganjar penjara selama 1 bulan 15 hari hanya karena mencuri 3 buah kakao di PT Rumpun Sari Antan (RSA) yang terjadi 11 tahun silam. Pasal 362 KUHP yang berbunyi, “Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Berdasarkan undang-undang pidana tersebut tidak sepantasnya Nenek Minah mendapatkan kurungan penjara. Rasanya tidak setimpal kalau mencuri mendapat ganjaran kurungan penjara. Masalah pencurian seharusnya bisa diselesaikan dengan kekeluargaan sebelum masuk ke ranah pengadilan.
Hukum memang benar-benar menjerat rakyat kecil dan meloloskan para pejabat. Bayangkan saja jika pejabat melakukan korupsi maka dia bisa bekerja sama dengan mafia hukum lalu mendapatkan keringanan hukum. Mafia hukum adalah kelompok oknum-oknum petugas hukum yang seharusnya menegakkan, melaksanakan hukum, memberikan keadilan pada masyarakat, namun sebaliknya, mereka malah melakukan kegiatan jual-beli, menekan dan mengancam para orang yang tersangkut perkara dan kasus hukum. Tentunya keuntungan materi dan finansial yang membuat mereka buta. Oknum inilah yang mencoreng nama baik hukum di Indonesia karena tindakannya yang merusak keadilan dan kejujuran.
Buruknya penegakan hukum di Indonesia mendorong pemerintah pada masa transisi reformasi yang mengeluarkan keputusan TAP MPR No.VI/MPR/2021 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang menitikberatkan pada etika kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun sangat disayangkan kelihatannya TAP MPR tersebut kehilangan arah dan tidak diindahkan lagi oleh pelaksana dan pengambil keputusan. Jika dikaji TAP MPR No.VI/MPR/2021 sudah mengingatkan dalam Bab II butir 2 apabila pejabat publik membuat kebijakan atau melakukan tindakan atau perbuatan yang menimbulkan keresahan atau sorotan dari masyarakat maka pejabat tersebut harus mengundurkan diri walaupun belum terbukti bersalah. Untuk memperkuat aturan tersebut maka dikeluarkan TAP MPR No.VIII/MPR/2021 tentang Arah Kebijakan dan Rekomendasi Pemberantasan KKN yang menetapkan bahwa pegawai negeri sipil dan pejabat pemerintah dapat dikenakan tindakan administratif jika terlibat kasus hukum tanpa harus menunggu vonis pengadilan terlebih dahulu.
Kedua TAP MPR tersebut mengandung etika moral yang harus dijalankan tetapi kenyataannya sudah 1 dasawarsa ini belum dijalankan. Faktanya dari berbagai kasus korupsi yang menimpa pejabat publik baik di tingkat menteri, DPR dan pejabat negara lainnya belum ada yang mengundurkan diri atau diberhentikan karena diduga melakukan pelanggran hukum.
Bobroknya keadaan hukum di Indonesia ini memang sudah kritis bahkan memasuki tahap stadium IV. Memperbaiki sistem hukum di Indonesia sangatlah rumit dan kompleks karena pelanggar hukum bukan hanya berasal dari subjek hukum tetapi dari aparat penegak hukum sendiri. Pelaku mafia hukum merupakan salah satu faktor yang membuat “bobrok” keadaan hukum. Memberantas mereka tidaklah mudah karena jaringan dan praktiknya yang terselubung. Lalu, dimulai dari manakah perbaikan penegakan hukum agar bisa adil? Paling utama bisa dimulai dari sistem hukum seperti substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).
Indonesia merupakan negara penganut konsep hukum yang demokratis sehingga penegakan hukum tidak hanya terpaku pada aturan tertulis saja. Apabila aturan hukum tertulis tidak memberikan keadilan maka aturan hukum tertulis juga dapat disimpangi. Penegakan hukum juga bisa didukung oleh lahirnya teori hukum progresif dan teori hukum integratif. Seorang begawan hukum, Satjipto Rahardjo memberikan sebuah terobosan baru yaitu lahirnya hukum progresif. Hukum progresif adalah gerakan pembebasan karena memposisikan keadilan dan kepastian, tidak hanya bersifat prosedural birokratis tetapi juga material-substansif. Hukum progresif menginginkan agar ketika undang-undang tidak mampu mewujudkan keadilan yang diharapkan umat manusia maka segera beranjak secara realistis mempertimbangkan keadilan yang hidup dalam jiwa masyarakat dan bangsa. Adapun teori hukum integratif pertama kali dicetuskan oleh Romli Atmasasmita yang menyatakan bahwa rekayasa birokrasi dan rekayasa masyarakat harus dilandaskan pada norma, perilaku dan nilai yang bersumber pada pancasila sebagai suatu sintesa persoalan-persoalan hukum dan bangsa. Teori ini menempatkan keadilan sebagai tujuan paling ideal dan diarahkan pada keberhasilan pembangunan nasional dalam konteks sosial.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.