Penanggulangan Bencana Kekeringan dengan Perspektif Islam
Politik | 2024-09-22 19:03:19Oleh Sumiyah Umi Hanifah
Pendidik Generasi
Air adalah elemen penting dalam kehidupan. Zat yang keberadaannya paling berlimpah di bumi ini sangat dibutuhkan oleh seluruh mahluk hidup. Tanpa ketersediaan air yang cukup, sebuah tatanan kehidupan akan terancam. Bencana kekeringan di area persawahan menyebabkan para petani mengalami gagal panen (puso). Bahkan, hutan yang hijau pun bisa terbakar, apabila kekurangan pasokan air permukaan dan air bawah tanah.
Kelangkaan air di sejumlah daerah di Indonesia menjadi sorotan. Kemarau panjang menyebabkan sebagian masyarakat kesulitan mendapatkan air. Baik itu air bersih yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, maupun air yang digunakan untuk pengairan sawah. Itulah mengapa persoalan kelangkaan air ini disebut "krusial".
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung, Uka Siska Puji Utama baru-baru ini. Beliau mengatakan bahwa "Warga Kabupaten Bandung harus mewaspadai adanya bencana kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada musim kemarau tahun ini."
BPBD Kabupaten Bandung memprediksi musim kemarau tahun ini akan berlangsung mulai bulan Agustus hingga bulan Oktober 2024. Untuk itu pemerintah mengimbau kepada seluruh masyarakat Kabupaten Bandung agar bersinergi dalam mengantisipasi musibah kekeringan yang terjadi. Beliau mengatakan bahwa dibutuhkan koordinasi monitoring dan evaluasi penanganan yang tepat dan serius, agar dampak bencana dapat diminimalisir.
Uka menyebutkan bahwa pihaknya telah melakukan langkah-langkah kongkrit yang ditempuh terkait dengan penanggulangan bahaya kekeringan dan karhutla, yaitu dengan mengimbau masyarakat untuk hemat air bersih dan tidak boleh membakar sampah sembarangan. Pihaknya juga telah memulai mendistribusikan air bersih ke sejumlah desa di wilayah yang telah mengalami bencana kekeringan. (tribunjabar.com, Ahad, 1/9/2024)
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, Ningning Hendasah, mengatakan bahwa ada sekitar 856 hektare persawahan yang mengalami kekeringan. Penyebabnya, karena area persawahan tersebut merupakan sawah tadah hujan, alias sistem pengairan hanya bergantung pada curah hujan. Sehingga, ketika musim kemarau tiba otomatis lahan persawahan menjadi kering. Akibatnya para petani banyak yang terancam gagal panen. Daerah yang terdampak kekeringan tersebut diantaranya adalah: Kecepatan Majalaya, Solokan Jeruk, Ciparay, Cileunyi, dan Rancaekek. (tribunjabar.com, Jum'at, 6/9/2024)
Ini adalah fakta bahwa di negara maritim (kelautan) seperti Indonesia, krisis air masih sering terjadi. Padahal, luas lautan di negeri ini jauh lebih banyak daripada luas daratannya. Belum lagi Indonesia merupakan negara yang kaya akan beragam jenis flora dan fauna. Indonesia memiliki jutaan hektare hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air. Dengan kata lain, Indonesia memiliki sumber-sumber mata air yang sangat melimpah.
Namun sayangnya, jumlah luas hutan di Indonesia dari waktu ke waktu semakin menyusut. Penyebabnya adalah ke kebijakan sistem kapitalis yang mengalih fungsikan lahan hutan menjadi proyek-proyek investasi, tanpa memperhatikan aspek lingkungan.
Kebijakan alih fungsi lahan terbuka hijau yang disulap menjadi pemukiman penduduk, turut mempengaruhi kondisi cadangan air di dalam tanah. Jika serapan air minim, maka cadangan air di dalam tanah akan menjadi sedikit dan hal ini dapat memicu terjadinya kekeringan. Inilah bahayanya liberalisasi SDA oleh asing, yang mengeksploitasi sumber daya alam dengan jor-joran. Kaum kapitalis mendapatkan keuntungan materi yang besar, sedangkan rakyat tidak memperoleh apapun, kecuali rusaknya lingkungan tempat tinggal mereka.
Sungguh miris menyaksikan masyarakat Indonesia mengalami musibah kekeringan. Ibarat pepatah "tikus mati di lumbung padi." Bagaimana bisa masyarakat kekurangan pasokan air, sementara mereka tinggal di negara yang subur dan kaya Sumber Daya Alam (SDA)? Ada sungai, danau, laut, dan sumber-sumber mata air lainnya yang tersebar di seluruh pelosok negeri. SDA yang dimiliki Indonesia apabila dikelola oleh negara akan sanggup menyejahterakan seluruh rakyat. Pertanyaannya, mengapa SDA justru diserahkan pengelolaannya kepada asing? sehingga hasilnya tidak bisa dinikmati oleh rakyat.
Inilah yang terjadi jika sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalis. Dengan sistem batil ini para penguasa bergandengan tangan dengan para korporat. Tujuannya tidak lain agar mendapatkan sokongan dana. Salah satunya yaitu melalui proyek investasi. Tidak sedikit dana yang digunakan oleh negara berasal dari kantong-kantong para pemilik modal. Akibatnya, dengan kerjasama tersebut para korporat mudah menyetir kebijakan pemerintah. Tidak aneh jika para pejabat sibuk membuat kebijakan atau undang-undang yang pro korporat. Kebijakan yang dibuat terlihat tumpang tindih, tidak fokus pada akar persoalan yang dihadapi rakyat. Para penguasa justru sering menutup mata terhadap penderitaan rakyat.
Hal ini menandakan negara abai terhadap kewajibannya dalam mengurus dan melayani rakyatnya. Negara dalam sistem kapitalis hanya berfungsi sebagai regulator semata, bukan sebagai pengurus urusan rakyat. Kebijakan penguasa di sistem kapitalis hanya berorientasi pada keuntungan materi, bukan pada kemaslahatan rakyat.
Kondisinya akan berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah), pemimpin negara (khalifah) akan mengatasi segala persoalan rakyatnya dengan cara komprehensif dan berkelanjutan. Begitu pula dalam mengatasi masalah kekeringan. Penanganannya tidak akan fokus pada urusan teknis saja, akan tetapi juga melihat dari aspek moral dan spiritual.
Kepala Negara Khilafah mewajibkan kepada rakyatnya agar menjaga kelestarian alam. Oleh karena itu akan ada sanksi tegas bagi warganya yang melakukan pengrusakan lingkungan. Baik itu untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Dalam sistem Islam pengelolaan SDA harus dilakukan oleh negara dan hasilnya dikembalikan lagi kepada rakyat. Sebab, SDA yang salah satunya adalah air, merupakan milik umum dan tidak boleh dikuasai oleh individu atau kelompok.
Sabda Rasulullah saw.
"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput (hutan) air, dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Ajaran Islam memiliki pandangan holistik antara manusia, alam semesta, dan kehidupan. Bahkan Allah Swt. mengancam akan menimpakan azab kepada manusia yang berbuat kerusakan di muka bumi.
Firman Allah,
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan ulah manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Ruum [30] : 41)
Rasulullah saw. sebagai kepala negara Madinah mencontohkan bagaimana cara menjaga lingkungan, salah satunya yaitu dengan cara menghidupkan tanah mati. Beliau juga memerintahkan kepada masyarakat Madinah untuk menanam pohon kurma dan biji-bijian. Dalam suatu peperangan, beliau bahkan melarang tentaranya melakukan perusakan terhadap rumah-rumah dan pohon-pohon, meskipun itu milik musuh.
Demikianlah, aturan Islam sangat sempurna. Syari'at Islam mengatur segala macam persoalan dalam kehidupan. Sistem Islam (khilafah) apabila diterapkan dalam sebuah negara akan mampu mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keselamatan bagi rakyatnya. Sebab, sistem Islam bersumber dari kitabullah (Al-Quran) dan As-sunah (Hadis), sehingga layak dijadikan sandaran kehidupan.
Wallahualam bissawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.