Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Damay Ar-Rahman

Desir Sunyi (Part 2)

Sastra | Tuesday, 17 Sep 2024, 12:25 WIB
Seperti melihat telaga Firdaus di mata Mei



Berikan salam dan maafku pada Arkan. Mungkin kita akan dipertemukan di surga. Aku hanya mampu menyelamatkan putri kita. Untuk diriku sudah takdir telah pergi jauh, menyusul ayah yang beristirahat tenang di sana.


Isi surat itu masih terlipat rapi dan tersimpan di lemari kamar. Terlihat seorang bayi kecil berusia delapan bulan menggerakkan jari jemarinya sambil tertawa. Tak ada seorangpun di sampingnya. Ia sendiri menikmati dirinya di dunia masa kecil meski tanpa teman, tanpa ibu ataupun ayah. Kaki dan tangan mungilnya mengingatkan masa lalu almarhumah ibunya sewaktu lahir. Ia sama cantiknya dengan Ranti. Wajah alami dengan pesona senyuman manis.

Untung saja kakak Ranti yang belum berumah tangga itu, menjaganya. Ia bekerja di sebuah rumah sakit sebagai perawat dengan status tenaga kontrak. Setelah kematian sang adik, perempuan bernama Mirna itu harus seorang diri menjaga Mei. Saat mendengar kabar jika putri keduanya meninggal, ibu jatuh sakit dan asmanya kambuh. Dokter memvonis ibu takkan bertahan lama meredam sakit. Benar saja, seminggu dalam masa koma, ibu menghembuskan nafas terakhirnya dan berpesan agar Mirna merawat Mei sampai ia dewasa.

Hati Mirna sama baiknya dengan Ranti. Walau ia sempat juga melarang adiknya untuk menikah dengan Arkan, ia memahami arti cinta tulus. Melihat Arkan yang sederhana dan bersungguh-sungguh, ia tahu jika adiknya akan bahagia bila bersama lelaki itu. Ketenangan tidak selalu dapat diukur dengan materi juga tidak dengan lontaran-lontaran orang sekitar jika suami Ranti bukan berasal dari keluarga berada.

Mata Mei yang bulat berbinar menerawang ke langit-langit kamar. Mata itu mengelana mengikuti sinar matahari pagi yang tembus lewat jendela kamarnya. Mirna masuk ke kamar membawa sebotol air susu yang ia buat. Melihat dari jauh wajah teduh keponakannya, membuat hati siapapun termasuk dirinya tersentuh hingga meneteskan air mata. Ia segera berjalan cepat menuju Mei yang membalikkan kepala melihat gadis itu. Dengan senyuman tersimpul Mei membalasnya disertai suara tawa renyah dari lidahnya. Mirna begitu bersyukur bisa melihat Mei tumbuh dengan baik. Walau sampai saat ini Arkan belum kembali.

Mei mulai masuk sekolah dasar. Wajah imutnya semakin jelita dengan kerudung kecil yang membaluti setiap sisi wajah. Mirna benar-benar mendidiknya dengan membiasakan Mei untuk memakai jilbab walau hanya bermain di halaman rumah. Tutur kata Mei yang lembut, adalah turunan dari Ranti.

Gaji kontrak Mirna yang tak seberapa, belum cukup membelikan sepeda untuk Mei. Mirna ingat, di rumah lama sepeda masa kecilnya masih tersimpan walau sedikit rusak. Daripada membeli, lebih bagus ia perbaiki. Setelah di bawa ke bengkel, sepeda itu terlihat mengkilat seperti baru. Mei melompat kegirangan melihat sepeda impiannya. Tanpa bertanya apapun, ia langsung memeluk Mirna dan segera menggunakan sepeda itu.

Lagi-lagi Mirna terharu terbawa suasana dan azan Asar menggema di surau pinggir sungai. Hari itu adalah tanggal kelahiran Mei. Tepatnya usia gadis kecil itu kini telah beranjak enam tahun. Sekolah negeri di samping rumah akan memudahkan Mirna memantau Mei bersekolah. Mirna semakin semangat dan akan selalu berusaha memenuhi kebutuhan Mei.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image