Bang Kum: Saga dari Baturaja
Sastra | 2024-09-17 01:55:13Sejujurnya kisah ini tak hendak aku ceritakan. Sungguh. Mengingatnya saja membuat aku bergidik ngeri. Apalagi menarasikannya secara mendetil kepada kisanak. Namun, belakangan ini, ingatanku selalu saja tertuju pada kejadian itu. Maaf, maaf. Tampaknya bukan sekedar kejadian itu, tapi juga sosok yang menjadi pelakon utama dalam kisah itu. Namanya, Kumbara. Aku memanggilnya Bang Kum. Kami lahir di tahun yang sama dan bulan yang sama. Februari 1986. Hanya saja ia bersikukuh agar aku memangilnya abang atau bang karena dia lahir 2 hari sebelum aku lahir. “Baiklah”, kataku dengan jengkel waktu itu kepadanya.
Bang Kum adalah sosok perantau. Dia datang dari kabupaten seberang dan singgah di kotaku tepat pada saat aku baru saja duduk di kelas satu sekolah menengah atas di SMA 01 OKU. Bang Kum berperawakan sedang, tingginya sekitar 170 sentimeter, kulit coklat cenderung hitam, matanya tajam, dan otot-otot tangannya liat. Dia tinggal bersama adik laki-lakinya, Beno, di sebuah kontrakan kecil dekat sekolah kami. Oya, aku lupa. Kotaku bernama Baturaja. Sebuah kota kecil di Provinsi Sumatera Selatan. Jika kisanak hendak bertanya di mana posisi Baturaja, aku hanya bisa menjawab kalau kisanak butuh waktu sekitar 4-5 jam dari Palembang melalui jalan darat untuk mencapainya. Ada Sungai Ogan yang melalui kota kelahiranku tersebut.
Jadi begini kisanak, aku tak hendak bertele-tele menceriterakan ini. Kisah ini bermula pada suatu hari di pertengahan 2001. Bang Kum mengeluh padaku mengenai tingginya biaya hidup yang ia tanggung untuk sekolahnya dan adiknya. Belum lagi biaya kontrakan dan makan sehari-hari. Maklum mereka yatim piatu. Wajahnya murung. Banyak PR yang terbengkalai karena ia sibuk memikirkan hal tersebut berhari-hari. Aku yang waktu itu sering nongkrong di rumahnya jadi ikut bersedih. Tepatnya tidak enak hati. Aku biasa sesukanya membuat kopi dari dispenser bututnya. Tentunya ini juga kebiasaanku yang sebenarnya merepotkannya. Tiba-tiba aku memberi usul padanya. Di pusat kota, ada lapangan. Ada dua kebiasaan anak-anak remaja Baturaja pada masa itu. Jika tidak balapan liar, maka tarung bebas satu lawan satu. Yang keluar sebagai juara akan diganjar bayaran oleh para bandar dan penonton.
Terus terang aku harus membuka “kartuku” kepada kisanak semua. Benar bahwa aku anak salah satu pembesar di kotaku. Sebagai anak pembesar, aku biasa hidup enak. Aku dikenal bukan saja karena ketampananku dan kecerdasanku di sekolah, tapi juga otak bisnisku. Aku sangat menyukai olahraga bela diri. Akulah penggagas acara tarung bebas di alun-alun kota. Aku bersama beberapa anak taipan karet dan sawit di kotaku patungan kecil-kecilan untuk mempromotori acara tersebut. Sudah banyak pertarungan yang kami gelar. Kebanyakan mereka yang ikut adalah berandalan kota, anak-anak sekolah yang hobi tawuran, hingga preman-preman pasar yang butuh uang tambahan untuk istri dan simpanannya. “Oke”, jawab Bang Kum. “Aku ikut acara tarung bebas yang kau gelar. Tapi aku mau dibayar sedikitnya 500 ribu rupiah untuk sekali pertarungan, menang atau kalah”, tegasnya. Terus terang angka itu sangat besar pada waktu itu. Aku biasanya hanya mengganjar 300 ribu untuk pemenang. Tapi pikirku, aku benar-benar penasaran dengan kemampuan Bang Kum. Jadi kusetujui saja.
Hari itu, tepat pada hari pertarungan yang telah ditentukan. Aku memacu Opel Blazerku agak cepat memasuki lapangan alun-alun kota. Aku agak sedikit risau karena Bang Kum dan Beno sudah tiba duluan di sana. Selepas memasuki lapangan, aku segera memarkir mobilku. Aku punya privilege di tempat ini, mobilku dapat slot parkir istimewa, khas anak-anak pejabat. Di lapangan kulihat orang-orang sudah berkumpul. Mereka mengelilingi sebuah lingkaran yang sudah dikelilingi kobaran api. Macam-macam orang yang hadir. Kebanyakan mereka dari geng-geng anak nakal di kotaku. Di lapangan sudah berdiri Zardi, jagoan taekwondo di sekolahku. Dia yang akan menjadi lawan Bang Kum. Aku mengenal Zardi sebagai pemimpin geng Bobogas, singkatan dari Bocah-Bocah Ganas. Betul-betul ganas, karena mereka tidak segan-segan menusuk perut lawannya dengan pisau jika berkelahi.
“Boim, sudah tiba kau”, kata Bang Kum menjajari langkahku. “Kum, sudah siap?”, sapaku. “Kau jaga Beno ya, biarkan dia menonton dari pinggir lapangan”, demikian titah Bang Kum. Aku langsung menggamit lengan Beno, bocah berusia 12 tahun itu menurut. Bang Kum langsung memasuki arena. Ia segera melepas bajunya, hanya mengenakan celana jeansnya yang belel. Wasit segera menyampaikan aturan kepada Bang Kum dan Zardi, keduanya mengangguk. Oya kisanak, kuberi tahu pada kalian. Pertarungan ini tiga ronde kali lima menit. Siapa yang menang adalah siapa yang membuat musuhnya tidak bangkit lagi, menyerah, atau keluar dari garis lingkaran. Begitu aba-aba pertandingan dimulai, Zardi langsung mencecar Bang Kum dengan satu dua tendangan memutar. Tendangannya bertenaga dan sangat cepat. Bang Kum hanya menunduk dan menggeser sedikit badannya. Tendangan Zardi hanya membentur angin kosong.
Zardi semakin buas. Tendangan dan pukulannya bertubi-tubi mencecar kepala Bang Kum. Bang Kum hanya menangkis dengan kedua tangannya. Sesekali Bang Kum mendorong dua tinju Zardi yang membentur tangannya, membuat Zardi terhuyung-huyung ke belakang. Tiba giliran Bang Kum menunjukkan kebolehannya. Satu tendangan tipuan menghantam betis ia layangkan. Tapi itu tipuan. Tendangannya langsung memutar dan menyarang telak di kepala Zardi. Zardi tersungkur, langsung muntah darah. Bang Kum mendekat. Kedua tangannya menggamit leher Zardi. Terus terang aku was-was. Takut Bang Kum mematahkan leher Zardi yang sudah kehilangan kesadaran. Tapi di luar dugaan, ia hanya menyeret Zardi yang tak berdaya ke luar lingkaran. Dan, meletakkan tubuhnya dengan santun. Semua orang terdiam. Bang Kum keluar sebagai pemenang malam itu. Dia mengibas-ngibas uang 500 ribu yang dia peroleh dengan senyum dikulum.
Ketenaran Bang Kum semakin menjadi-jadi dan aku sebagai promotor juga ketiban untung besar. Pasca pertarungan dengan Zardi, Bang Kum masih bertarung lagi dengan dua jagoan tarung bebas yang punya reputasi mentereng, yakni Firman dan Togar. Firman yang ditakuti sebagai preman besar di Air Gading, sebuah desa di Baturaja yang dikenal sebagai gudang para preman, dibuat pecah tempurung lututnya, sehingga harus beristirahat setidaknya selama enam bulan, demikian vonis dokter. Jadi pada saat pertarungan mereka berdua, Bang Kum terpeleset ketika hendak menghindari sodokan siku Firman yang mengarah ke dagunya. Sontak Bang Kum terjerembap ke belakang. Bang Kum berusaha bangkit dengan cepat, namun Firman sudah siap menghantamkan lututnya ke kepala Bang Kum. Brak! Lutut Firman menghantam telak kepala Bang Kum. Tapi yang terjadi sungguh menakjubkan. Firman mengerang kesakitan dan meraung dahsyat. Dia roboh sambil memegangi tempurung lututnya yang pecah. Pertarungan Bang Kum dan Togar lebih panjang. Namun pada ronde terakhir, Bang Kum bisa melesakkan satu jotosan telak ke dagu Togar yang membuat gigi-geliginya penuh darah malam itu.
Aku sangat bangga dengan pencapaian-pencapaian Bang Kum di arena tarung bebas. Pertama, aku sekarang tidak hanya memiliki sahabat, tapi juga bodyguard di sekolah. Siapa yang menggangguku, akan berurusan dengan Bang Kum. Kedua, tentu saja pundi-pundiku membesar. Uang hasil mempromotori Bang Kum langsung kubelikan RX King seri terbaru, lengkap dengan knalpot modifikasinya yang meraung-raung. Bang Kum pun sekarang tidak mengeluh lagi. Kulihat sudah ada kipas angin dan dispenser baru di rumahnya. “Beno sekarang tidak kepanasan lagi”, begitu kilahnya waktu kuelus-elus Maspionnya. Namun terlepas dari kebahagiaan kami berdua, ada satu hal yang kurisaukan. Tadi pagi aku mendapat SMS dari Zardi di ponselku. Pesannya singkat, “Boim, ada yang mau melawan Kumbara hari Sabtu nanti. Bawa jagoanmu ke alun-alun”.
Malam itu aku membonceng Bang Kum dan Beno dengan motor RX Kingku. Kami menyanggupi tantangan Zardi. Motorku meraung-raung keras ketika memasuki parkiran membuat kerumunan yang hampir mencapai tujuh puluh orang langsung melihat kami. Dari jauh ada temanku Irwan menghampiri. “Boim, sebentar. Kau serius mengajak Kumbara ke pertarungan ini?”, demikian Irwan langsung memberondongku dengan pertanyaan. “Ada apa Wan?”, tanyaku gusar. “Zardi membawa Mat Gorok sebagai lawan Kumbara, bro”, kata Irwan dengan nada bergetar. Aku yang optimis seketika menjadi kecut. Dengkulku terasa lemas. Kutatap sejenak Bang Kum yang lagi bercengkerama dengan Beno. Jadi begini kisanak. Kuceritakan kepada kalian. Bagi kami warga Baturaja, Mat Gorok adalah legenda. Legenda kekejaman, kebrutalan seorang jawara. Pada zaman petrus tahun 1980 hingga 1990-an, hanya Mat Gorok yang lolos dari bidikan tentara. Konon, Mat Gorok punya ilmu kebal, tak mempan dibacok senjata, tak mempan dipukul batu dan kayu. Mat Gorok juga dikenal punya aji gelap ngampar, ilmu kejawen kuno yang bisa membuat badan orang melepuh jika tersentuh pukulannya.
“Boiimmmm, jangan lari kau!”, demikian hardik Mat Gorok dari tengah lingkaran. “Aku tak peduli bapakmu pejabat. Aku juga tak peduli kau keponakan jenderal. Akan kupatahkan leher sahabatmu itu. Dia sudah mempermalukan muridku. Jangan ikut campur kau anak muda”, demikian bentak Mat Gorok.
Aku menghampiri Bang Kum sejenak. Kutatap dia dengan sorot mataku yang dalam. “Kum, kita batalkan saja pertarungan ini. Aku tidak masalah rugi asal kau selamat. Dia bukan lawanmu Kum”, demikian aku menyampaikan. Bang Kum hanya mendesah. Kulihat dia menarik napas berat. Tiba-tiba Beno bersuara. “Abang, mungkin malam ini abang harus menunjukkan siapa abang yang sebenarnya. Tapi janji, ini jadi pertarungan terakhir abang. Beno tidak mau abang bertarung lagi”, demikian Beno berkata sambil memegang tangan Bang Kum. Aku bergidik demi melihat sorot mata Beno. Entah ada rahasia apa antara Beno dan Bang Kum. Dari nadanya, Beno sangat yakin bahwa Bang Kum akan menang malam ini. Bang Kum tidak melepas bajunya seperti biasa. Dia hanya melepas arlojinya dan segera bergegas ke tengah gelanggang. “Keparat, bacot kau preman kampung. Mari kita buktikan”, gelegar suara Bang Kum.
Dari segi fisik, Bang Kum dan Mat Gorok tidak seimbang. Mat Gorok tinggi besar dengan otot-otot yang liat dari leher hingga kakinya. Kumisnya melintang dengan dua bola mata yang nyaris membeliak ke luar. Sangat memenuhi kriteria jawara besar. Ketika wasit hendak memulai aba-aba pertarungan, Mat Gorok sudah langsung melesakkan tinju tangan kanannya ke wajah Bang Kum. Tinju itu menyambar tipis pipi Bang Kum, namun menimbulkan sayatan berdarah yang dalam. Aku gelisah. Ini pertama kalinya aku melihat Bang Kum berdarah. Mat Gorok langsung mengirimkan serangan lanjutan. Kaki kirinya langsung meloncat dan menyentuh dada Bang Kum, sementara kaki kanannya menyarangkan tendangan lurus ke rahang. Sontak darah berhamburan dari mulut Bang Kum. Mat Gorok benar-benar ingin menghabisinya, pikirku. Belum sempat aku menata kegelisahanku, kudengar penonton menjerit ketika Mat Gorok sudah mencabut golok yang tersampir di pinggangnya. Golok tersebut langsung mencecar perut dan rusuk Bang Kum. Bang Kum mencoba menangkis sekuat tenaga, hanya saja fisik yang terkuras membuat gerakannya lamban. Blas! Ujung golok menyambar perutnya. Bang Kum langsung terhuyung-huyung ke belakang sebelum jatuh terduduk. Pada saat terduduk itulah, satu sepakan berangasan dari Mat Gorok manyapu wajahnya. Kum langsung tumbang dengan posisi tertelungkup.
Aku tentu saja langsung ketar-ketir. Secepat kilat aku merogoh tasku untuk mengambil handuk putih dan mengibarkannya sebagai tanda menyerah. Tapi ketika benda itu sudah kutemukan dan siap kukibarkan ke tengah gelanggang, Beno mencekal tanganku. “Bang Boim tenang. Abang Kumbara tidak akan kalah”, kata Beno dengan tatapan yang membuatku bergidik. Di tengah-tengah lapangan kulihat Mat Gorok sudah ditepuki oleh murid-muridnya. Kulihat Zardi menyeringai dari jauh. Ada dendam yang besar di sorot matanya. Mat Gorok memain-mainkan goloknya yang berlumur darah dan menghampiri tubuh Bang Kum yang sudah tidak berdaya. Tiba-tiba angin berkesiur kencang. Langit tiba-tiba diliputi awan gelap. Ada udara dingin yang membius kami di seluruh lapangan. Tiba-tiba tubuh Bang Kum bergerak. Bukan, bukan itu yang membuatku terpana. Tubuh itu bergerak dengan dengusan yang kencang. “Hosh, hosh, grrh grrh, armmmgh”, desisan itu keluar dari mulut Bang Kum yang tertelungkup. Suara geraman Kum yang mengerikan itu tentu saja membuat penonton mundur ke belakang, tak terkecuali Mat Gorok yang tiba-tiba diliputi ketakutan. Bang Kum berbalik. Kulihat sorot matanya semerah darah. Jari-jari tangannya mencengkeram tanah serupa harimau. “Hosh, hosh, grrrrh”, desisnya. Dalam satu dua detik, Bang Kum melompat tinggi menyerang tubuh Mat Gorok. Dua tangannya langsung menyambar perut Mat Gorok yang dengan seketika membuat Mat Gorok meraung kesakitan. Kulihat perut Mat Gorok robek besar dengan darah bercucuran. Belum sempat Mat Gorok memegangi perutnya, Bang Kum melakukan lompatan harimau kumbang yang sangat cepat. Kali ini tangannya menyambar wajah Mat Gorok, membuat laki-laki itu kehilangan banyak daging di wajahnya. Kulihat hidung Mat Gorok terkelupas, mulut tidak berbentuk, serta daun kuping yang koyak-moyak.
Jika saja Beno tidak berteriak dan menghambur ke lapangan, sudah kupastikan Mat Gorok akan berkalang tanah malam itu. Beno memeluk abangnya dan seketika membuat Bang Kum tersadar dari amuk macan kumbangnya. Kuhampiri Zardi dan keroco-keroconya. “Bung, mana bayarannya. Kupastikan urusan malam ini tak panjang. Bawa tubuh bangsat keparat itu ke rumah sakit segera, biaya aku yang tanggung”, demikian hardikku. Zardi segera melemparkan satu amplop coklat cukup besar. Kuhitung uang di dalamnya, dua juta rupiah. “Bubar, bubar, bubar”, demikian perintah Zardi kepada anak buahnya. Hal itu diikuti oleh kerumunan lainnya sambil berbisik-bisik mengenai apa yang mereka lihat barusan.
Malam itu, aku mengantarkan Bang Kum dan Beno ke rumahnya. Kami boti, bonceng tiga. Di sepanjang perjalanan, Kum hanya diam. Hanya Beno yang bersenandung kecil menyanyikan lagu Slank yang lagi hits kala itu. “Pagi ini, ga ada sinar mentari, yeyeyeye”, demikian senandungnya cempreng. Ketika motorku memasuki area kontrakan Kum dan Beno, Beno tiba-tiba menyentuh punggungku. “Bang Boim, maafin Bang Kum dan Beno atas kejadian malam ini ya”, demikian ia berkata lirih. Ketika turun dari motor, Beno tiba-tiba berbisik padaku. “Baiklah Ben, mari kita bawa dulu abangmu ke atas”, kataku sambil memapah tubuh Bang Kum. Tahukah kisanak apa yang dibisikkan oleh Beno malam Itu? “Abang pernah hilang setahun waktu ia kecil. Tiba-tiba suatu hari ia muncul kembali dan menggemparkan warga desa. Waktu ditanya ke mana saja dia selama ini, abang menjawab kalau dia hidup bersama para Datuk Rimau di hutan”, kata Beno. Datuk Rimau adalah sebutan untuk harimau-harimau jadian di tanah Sumatera. Sebagian yang pernah melihat mengatakan bahwa Datuk Rimau adalah manusia harimau penunggu hutan-hutan di wilayah kami. Demikian kisah ini kusampaikan kisanak. Mungkin aku tak akan pernah menyampaikannya lagi. Cukup jadi rahasiaku dan kisanak semua. (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.