Pornografi dan Kejahatan Anak
Agama | 2024-09-14 06:09:49Oleh: N. Yeti Nurhayati, M.Sos
Fakta Miris
Viralnya peristiwa empat remaja di bawah umur di Sukarami, Palembang, Sumatera Selatan, yang memperkosa dan membunuh seorang siswi SMP menjadi fakta potret kejahatan anak yang semakin miris saat ini. Empat remaja pelaku pemerkosaan dan pembunuhan itu masih duduk di bangku SMP dan SMA. Berdasarkan pemeriksaan, keempat remaja itu mengaku melakukan pemerkosaan itu untuk menyalurkan hasrat usai menonton video porno sebelum memerkosa dan membunuh korban. (CNN Indonesia, 06/09/2024)
Fakta kejahatan anak juga di perkuat dengan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) yang mengungkapkan, sekitar 34,5% anak laki-laki dan 25% anak perempuan sudah aktif melakukan kegiatan seksual. Hal ini disampaikan Asisten Deputi Pelayanan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Robert Parlindungan S berdasarkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) KPPPA. Data yang sama juga mencatat ada 66% anak laki-laki yang pernah menonton kegiatan seksual melalui platform game online. Terdapat 63,2% anak perempuan yang pernah menonton pornografi. Kemudian, ada 39% pernah mengirimkan foto kegiatan seksual melalui media online.
Parahnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto menyebut Indonesia masuk peringkat keempat sebagai negara dengan kasus pornografi anak terbanyak. Data tersebut diungkap oleh National center for missing exploited children (NCMEC). Korbannya tidak tanggung-tanggung, yakni dari disabilitas, anak-anak SD, SMP, dan SMA, bahkan PAUD. (Media Indonesia, 18/04/2024)
Fakta-fakta di atas, menandakan anak telah rusak secara fitrahnya. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Pornografi Tak Pernah Usai
Seakan menjadi bisnis yang tidak pernah padam, industri pornografi memang menjanjikan perputaran uang. Parahnya, konten yang kerap dilabeli sebagai konten dewasa itu kini menjadikan anak sebagai objek visualisasi. Kini pornografi berdampak pada mahalnya perlindungan sosial bagi anak. Belum lagi kemajuan teknologi dan digitalisasi media, telah membuat industri pornografi berkembang berkali-kali lipat dari tahun sebelumnya. Saat ini, banyak aplikasi yang berkonotasi seksual dengan konten 18+.
Di sisi lain, media dan pergaulan bebas seakan berkolaborasi merusak generasi. Pada usia anak yang masih belia, di kehidupan mereka hadir predator seksual. Tidak cukup melakukan pelecehan, perilaku bejat mereka direkam lalu diunggah demi meraup cuan. Meski menjadi objek eksploitasi, si anak yang tidak memahami hukum terkadang hanya pasrah hingga kasus tersebut menguap begitu saja.
Beragam langkah antisipasi dan upaya mereduksi kasus telah pemerintah lakukan. Sayang, semuanya seakan tumpul mengurai problem pornografi anak. Peringkat empat dunia dalam kasus pornografi anak sejatinya menunjukkan betapa negeri ini memiliki masalah sosial yang kompleks.
Walhasil, hal ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan menyerukan pentingnya edukasi seks atau sekadar memeriksa kondisi psikologi pelaku. Sungguh tidak cukup! Ini karena realitas di lapangan menyajikan fakta bahwa nyaris semua kasus konten pornografi anak dipicu oleh stimulus seksual yang bertebaran di mana-mana, baik berupa visual dalam tontonan, gambar, lukisan, hingga di kehidupan sosial masyarakat.
Perlunya Negara dan Agama Mengatur Sistem Sosial
Industri pornografi muncul karena ada “pasar” yang membutuhkan pelampiasan dari stimulus yang ada di tengah masyarakat. Pornografi anak tidak ada bedanya dengan industri syahwat lainnya, yakni muncul karena mutualisme konsumen dan produsen. Sudah selayaknya negara bisa menelaah sistem sosial hari ini yang telah memberi celah besar bagi seseorang untuk mudah terstimulus.
Negara juga berperan melindungi masyarakat dari informasi dan visualisasi media yang mengacaukan sistem sosial masyarakat. Negara tidak boleh berkompromi dengan industri pornografi dengan alasan prinsip kebebasan. Negaralah yang justru akan menjadi perisai dan melindungi siapa pun dari paparan konten pornografi. Semestinya negara hadir saat ini untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak. Negaralah pemilik kekuatan yang kita butuhkan untuk menghentikan secara total serangan pornografi ini. Negara adalah institusi satu-satunya yang memiliki kekuatan sarana untuk memblokir situs-situs porno yang menyerbu internet.
Untuk mengurai masalah pornografi, Islam memiliki konsep khas. Setidaknya ada dua hal penting untuk mengurai pornografi. Pertama, menerapkan syariat yang melindungi sistem tata sosial. Kedua, menerapkan politik media yang melindungi masyarakat dari konten pornografi.
Dalam Islam, sistem tata sosial (ijtima’iy) diatur dengan seperangkat syariat mengenai interaksi manusia. Islam mengatur tentang cara perempuan dan laki-laki menjaga aurat. Secara umum, juga memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menjaga interaksi, tidak berdua-duaan, tidak bercampur baur dan berinteraksi (kecuali dalam perkara muamalat, pendidikan, dan kesehatan). Islam pun mengatur agar laki-laki dan perempuan sama-sama menjaga kemuliaan dan kehormatan demi terwujudnya tata sosial yang sehat. Penelaahan terhadap syariat tidak akan memunculkan perdebatan panjang mengenai definisi pornografi. Dalam Islam, batasan aurat perempuan maupun laki-laki sudah sedemikian gamblang. Juga konten yang hadir di masyarakat melalui media, negaralah yang berperan besar menyelesaikannya.
Tidak kalah pentingnya adalah sanksi yang negara terapkan, harus memberi efek jera agar kasus serupa tidak terulang lagi. Kasus pornografi terkategori kasus takzir dalam syariat Islam. Khalifah berwenang menjatuhkan sanksi kepada pelaku. Jenis hukuman bisa dalam bentuk pemenjaraan hingga hukuman mati sesuai hasil ijtihad khalifah. Pada kasus pornografi yang berkaitan dengan perzinaan, maka akan ditegakkan had zina sebagai sanksi bagi para pelaku. Bagi ghayru muhsan 100 kali cambuk, sedangkan muhsan berupa hukuman rajam.
Demikianlah mekanisme Islam agar sistem sosial masyarakat sehat. Kondisi ini sekaligus menjadi langkah strategis negara untuk melindungi seluruh warga. Hanya sistem Islam yang memiliki konsep ideal untuk melindungi anak dan memutus mata rantai pornografi pada anak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.