Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Diana Rahayu

Utak-atik Dana Pendidikan, Hak Rakyat Kembali Diusik

Edukasi | Thursday, 12 Sep 2024, 13:15 WIB

Ricuh perdebatan soal dana pendidikan kembali mencuat. Komisi X DPR RI menolak utak-atik anggaran pendidikan yang diusulkan MenKeu. Dalam pandangannya, jatah dana 20% dari anggaran negara untuk pendidikan dirasa masih kurang. Banyak anak Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil, yang belum bisa mengenyam bangku sekolah karena kurangnya dana.

Usulan perubahan perhitungan dana Pendidikan disampaikan oleh Sri Mulyani, Menteri Keuangan, dengan dasar perhitungan 20% dari pendapatan negara, bukan dari total pengeluaran negara. Alasannya, jika dihitung dari pengeluaran, jumlahnya bisa naik turun terus tidak jelas. Walhasil jika perhitungan dana pendidikan dari pendapatan negara dirasa MenKeu akan lebih jelas dan stabil.

Hal tersebut yang membuat Komisi X cemas, masalahnya jika dana pendidikan diubah perhitungannya, bisa jadi alokasi dana Pendidikan menjadi lebih sedikit. Basis pendapatan negara yang fluktuatif tentunya akan berakibat pendanaan sektor pendidikan juga akan menjadi pasang surut. Padahal, undang-undang kita udah jelas banget, negara wajib kasih prioritas dana buat pendidikan.

Perbedaan pandangan antara Komisi X DPR RI dan Menteri Keuangan terkait pengelolaan dana wajib Pendidikan perlu disikapi dengan bijak. Komisi X lebih memprioritaskan peningkatan anggaran dan pengelolaan langsung oleh Kemendikbudristek, sementara Menkeu lebih menekankan pada stabilitas anggaran dan kepatuhan pada konstitusi.

Hal ini dapat berdampak pada kebijakan anggaran pendidikan di masa mendatang. Jika Komisi X berhasil mempertahankan posisinya, maka alokasi dana pendidikan akan cenderung meningkat dan pengelolaannya akan lebih terpusat. Sebaliknya, jika usulan Menkeu diterima, maka alokasi dana pendidikan mungkin akan lebih stabil, namun potensinya untuk meningkat juga lebih terbatas.

Statement Sri Mulyani yang mengatakan perlu tafsir ulang atas mandatory spending 20% anggaran pendidikan dalam APBN dengan dalih mengurangi beban APBN perlu dikritisi. Di tengah banyaknya problem soal layanan Pendidikan, pengurangan dana Pendidikan jelas menjadi bukti lepas tangannya negara dalam memenuhi hak rakyat. Sejatinya rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan pendidikan terbaik dan terjangkau.

Dengan skema anggaran sekarang saja masih belum cukup memenuhi kebutuhan jaminan layanan pendidikan yang gratis/murah, adil dan merata, sebagaimana disampaikan Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda. Dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4 pun jelas menyebutkan bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan nasional. Alhasil, utak-atik dana Pendidikan jelas mengusik hak rakyat.

Negara sejatinya wajib menyediakan layanan pendidikan yang terbaik dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Negara pun tak seharusnya berfikir tentang untung rugi tatkala harus mengeluarkan anggaran belanja untuk Pendidikan rakyatnya. Karena hal tersebut merupakan kewajiban negara untuk meningkatkan kualitas SDM, baik dalam hal karakter, kemampuan maupun pengetahuan. Sebab, selain Pendidikan merupakan kebutuhan pokok rakyat yang harus dipenuhi oleh negara, Pendidikan juga menjadi salah satu pondasi kekuatan sebuah negara.

Utak-atik dana Pendidikan makin memperjelas, bahwa paradigma kepemimpinan sekuler kapitalisme jauh dari paradigma riayah (pelayanan) dan junnah (perlindungan), melainkan seperti penjual dan pembeli. Pendidikan yang seharusnya menjadi kewajiiban negara, malah diserahkan kepada swasta untuk dikapitalisasi.

Sangat jauh berbeda dengan Islam, pendidikan adalah salah satu hak setiap rakyat yang wajib dipenuhi penguasa dengan layanan terbaik. Contoh paling gamblang dari riayah (pelayanan) negara terhadap Pendidikan, adalah adanya tebusan bagi bebrapa tawanan perang Badar dengan mengajarkan baca tulis penduduk Madinah yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw. Kala itu, Rasululah Muhammad Saw, beliau bukan sebatas berkedudukan sebagai nabi, tetapi juga sebagai kepala negara yang mengatur semua kebutuhan masyarakat Madinah.

Perhatian dan keseriusan pelayanan Pendidikan dalam sistem Islam, terpapar jelas dalam banyak sejarah peradaban kekhilafahan sepeninggal Nabi Saw. Sistem Islam yang meniscayakan pemenuhan kebutuhan Pendidikan bagi semua rakyat, diwujudkan dengan politik anggaran yang berkaitan dengan sistem ekonomi Islam, dan didukung sistem-sistem lainnya sehingga tujuan pendidikan terwujud.

Pemasukan belanja negara dari berbagai pos pemasukan Baitul Mal, yang salah satunya dari SDA yang melimpah, akan lebih dari cukup untuk membiayai Pendidikan terbaik bagi rakyat. Dimana pemenuhan kebutuhan Pendidikan tersebut tidaklah bergantung pada anggaran pendapatan negara, tetapi dipenuhi sesuai kebutuhan yang diwajibkan oleh syariat. Jika dana Baitul Mal kosong maka negara boleh melakukan dua hal sehingga kewajiban tersebut bisa dipenuhi dengan baik.

Pertama, negara bisa meminjam pada warga negara yang kaya untuk memenuhi pembiayaan tersebut. Saat kondisi Baitul Mal sudah ada pemasukan kembali, maka hutang tersebut bisa dibayarkan. Kedua, negara bisa memberlakukan dharibah (pajak) pada rakyat yang mampu, untuk kebutuhan dana Pendidikan sebesar yang dibutuhkan. Jika sudah terpenuhi, maka dharibah (pajak) dihentikan.

Wallahu’alam bishowab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image