
Mengapa Sekolah Harus Berhenti Menghukum dan Mulai Memahami
Sekolah | 2025-03-12 11:47:20
"Jika seseorang gagal memahami sesuatu, maka ia cenderung menghukumnya." Pernyataan ini bukan sekadar refleksi filosofis, tetapi gambaran nyata dari bagaimana kebijakan disiplin diterapkan di banyak sekolah. Siswa yang mengalami kesulitan, baik dalam hal akademik maupun perilaku, sering kali lebih cepat dihukum daripada dipahami. Ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat bertumbuh dan berkembang malah berubah menjadi arena penghakiman, di mana kesalahan kecil bisa berujung pada skorsing, dan ketidakmampuan mengatur emosi dapat berakhir dengan pengeluaran dari sekolah.
Namun, pernahkah kita mempertanyakan mengapa ada siswa yang lebih sering mendapat hukuman dibandingkan yang lain? Apakah mereka memang "nakal" secara inheren, atau ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak kasat mata, yang mempengaruhi perilaku mereka? Studi terbaru mengungkap bahwa banyak siswa yang mengalami hukuman disiplin di sekolah sebenarnya memiliki sejarah trauma dan kesulitan hidup (adversity) yang berat, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, kehilangan orang tua, kemiskinan ekstrem, hingga diskriminasi sistemik. Dengan kata lain, mereka bukan sekadar siswa bermasalah, tetapi anak-anak yang telah lama berjuang menghadapi kehidupan yang jauh lebih keras daripada yang bisa dibayangkan oleh kebanyakan guru dan administrator sekolah.
Ironisnya, bukannya memberikan dukungan, sekolah justru memperparah kondisi mereka dengan kebijakan disiplin yang represif. Inilah paradoks besar dalam sistem pendidikan: sekolah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan bagi anak-anak malah menjadi institusi yang memperdalam luka mereka.
Trauma dan Perilaku Siswa, Narasi yang Tidak Pernah Didengar
Setiap perilaku memiliki akar penyebab. Dalam psikologi perkembangan, pengalaman masa kecil yang penuh dengan stres berat dan trauma dikenal sebagai Adverse Childhood Experiences (ACEs). Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami ACEs, seperti kekerasan dalam keluarga, pengabaian emosional, kemiskinan, atau diskriminasi rasial, memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan regulasi emosi, kesulitan membangun hubungan sosial, serta kecenderungan untuk merespons situasi dengan agresi atau penarikan diri.
Namun, sistem pendidikan kita jarang mempertimbangkan faktor ini. Ketika seorang siswa melawan guru, berperilaku destruktif, atau gagal mengikuti aturan, reaksi yang paling umum adalah hukuman seperti skorsing, pemanggilan orang tua, atau bahkan pengeluaran dari sekolah. Yang tidak disadari adalah bahwa bagi banyak siswa yang memiliki latar belakang trauma, tindakan disiplin yang eksklusif seperti ini justru memperburuk keadaan mereka. Hukuman yang diberikan bukan hanya gagal mengubah perilaku mereka, tetapi juga semakin menguatkan perasaan bahwa dunia adalah tempat yang tidak adil, keras, dan penuh dengan hukuman tanpa pemahaman.
Mengapa Siswa Rentan Justru Lebih Sering Dihukum?
Salah satu temuan yang paling mengkhawatirkan dari berbagai studi adalah bagaimana sistem disiplin sekolah sering kali diterapkan secara tidak adil. Siswa dari kelompok minoritas, mereka yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah, atau yang memiliki kebutuhan khusus cenderung lebih sering mendapat hukuman dibandingkan siswa lain. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat tetapi juga di banyak negara lain, termasuk Indonesia, di mana siswa dari latar belakang tertentu lebih mungkin dianggap sebagai "siswa bermasalah" dan lebih cepat dihukum atas kesalahan yang sama dibandingkan rekan-rekan mereka yang lebih beruntung secara sosial dan ekonomi.
Ketidakadilan ini memperkuat fenomena school-to-prison pipeline, di mana anak-anak yang berulang kali dihukum di sekolah menjadi lebih rentan untuk berakhir dalam sistem peradilan pidana. Alih-alih menjadi tempat yang membantu siswa keluar dari siklus kesulitan hidup mereka, sekolah justru menjadi institusi yang mempercepat jalan mereka menuju kehidupan yang lebih sulit, penuh stigma, dan terbatasnya peluang.
Apakah Hukuman Benar-Benar Efektif?
Pendekatan disiplin berbasis hukuman sering kali didasarkan pada keyakinan bahwa hukuman akan mengajarkan siswa untuk belajar dari kesalahan mereka. Namun, psikologi perkembangan dan neurosains justru menunjukkan hal sebaliknya. Hukuman yang bersifat eksklusif seperti skorsing atau pengeluaran dari sekolah, hanya meningkatkan stres dan kecemasan tanpa memberikan mekanisme untuk mengatasi masalah yang mendasarinya.
Sebagai alternatif, banyak sekolah di berbagai negara mulai menerapkan trauma-informed discipline, yaitu pendekatan yang berfokus pada memahami latar belakang siswa, membangun relasi positif, dan memberikan intervensi berbasis dukungan psikologis. Pendekatan ini telah terbukti lebih efektif dalam mengurangi pelanggaran disiplin, meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran, serta menciptakan lingkungan sekolah yang lebih inklusif dan suportif.
Mengapa Sekolah Harus Berubah?
Jika sistem pendidikan terus mempertahankan kebijakan disiplin berbasis hukuman, maka mereka hanya akan memperkuat siklus trauma dan eksklusi sosial. Siswa yang telah mengalami kesulitan hidup akan semakin terpinggirkan, kehilangan akses terhadap pendidikan yang mereka butuhkan untuk keluar dari kondisi sulit mereka. Lebih jauh lagi, kebijakan disiplin semacam ini bukan hanya merugikan individu, tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Sebaliknya, sekolah yang menerapkan pendekatan disiplin berbasis pemahaman trauma akan lebih mampu membantu siswa mengatasi tantangan mereka dengan cara yang lebih konstruktif. Alih-alih menghukum, sekolah seharusnya berperan sebagai tempat di mana siswa bisa belajar bagaimana mengatur emosi mereka, memahami konsekuensi tindakan mereka, dan mengembangkan keterampilan sosial yang mereka butuhkan untuk sukses di masa depan.
Dari Hukuman Menuju Pemahaman
Sekolah seharusnya tidak hanya menjadi tempat belajar akademik, tetapi juga tempat di mana siswa mendapatkan pemahaman, dukungan, dan kesempatan untuk berkembang secara emosional dan sosial. Namun, sistem disiplin yang masih banyak digunakan saat ini lebih sering menciptakan trauma tambahan ketimbang memberikan solusi nyata bagi siswa yang mengalami kesulitan.
Sudah saatnya kita meninggalkan paradigma hukuman dan beralih ke pendekatan yang lebih memahami realitas siswa. Jika kita benar-benar ingin membangun generasi yang lebih baik, kita harus mulai dengan memahami bahwa di balik setiap tindakan siswa, ada cerita yang perlu didengar, bukan sekadar kesalahan yang perlu dihukum.
Sekolah harus berhenti menjadi institusi yang menghakimi dan mulai menjadi institusi yang memahami. Pertanyaannya, apakah kita siap untuk perubahan ini? Ataukah kita akan terus mempertahankan sistem yang lebih banyak menciptakan korban ketimbang menciptakan solusi?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook