Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aldo Tona Oscar Septian Sitinjak, S.H.

Politik Dagang Sapi Pasca Pemilu

Politik | Thursday, 12 Sep 2024, 00:08 WIB
Aldo Tona Oscar Septian Sitinjak, S.H (Sumber Gambar: Pribadi)

Pesta lima tahunan sudah berakhir, pemilu 2024 menasbihkan pasangan Prabowo Subianto & Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang dengan suara mayoritas 58,6%. Namun, ada yang lebih menarik pasca pemenangan ini, kita akan melihat politik bagi-bagi kue yang akan terjadi dalam membentuk kabinet.

Politik dagang sapi atau politik bagi-bagi kue pasca pemilu akan sangat kental terjadi. Di setiap edisi pemilu praktik ini akan sarat terjadi, selain tawar-menawar posisi yang strategis beragam kepentingan setiap partai di koalisi. Misalnya, Partai Golkar yang secara tersirat mengutarakan keinginannya meminta jatah kursi 5 menteri. Selain itu, Partai Demokrat juga sama meminta jatah menteri karena merasa sebagai partai yang memiliki sumbangsih besar memenangkan Prabowo.

Pemilu tidak dimaknai sebagai suatu keniscayaan yang memberikan kita momentum untuk mengangkat dan bertransformasi lebih jauh. Suara-suara rakyat bukan menjadi faktor penyuplai bagi kepentingan para faktor. Akan tetapi, ada tanggung jawab yang lebih besar di pundak para aktor politik kita untuk mengilhami upaya menumbuhkan kesejahteraan masyarakat.

Apalagi pasca pemilu hingar-bingar politik kita tidak benar-benar mereda. Ketegangan terus dirawat dalam balutan sentimen. Konteks ini bisa kita baca, buruknya upaya rekonsiliasi yang coba dibangun oleh para aktor politik kita.
Ruang publik masih dihinggapi argumentasi yang sentimen. Upaya perbaikan narasi seharusnya menjadi agenda para partai politik dan aktornya untuk menciptakan ruang politik yang bisa memberikan pelajaran berharga.

Isu-isu besar pasca pemilu menghiasi berbagai dinamika politik. Upaya menciptakan koalisi besar yang dipimpin oleh Jokowi dan ada langkah yang dilakukan oleh Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih yang mencoba bermanuver membangun koalisi besar untuk masa pemerintahannya kelak. Namun, sinyal ini tentu dibaca sebagai pertanda alam yang justru dapat memberikan tawar-menawar kepentingan dengan para aktor partai untuk mengakomodasi kepentingan yang dianggap strategis.

Pasar gelap demokrasi pemilu 2024 menjadi catatan gelap yang perlu menjadi pelajaran bersama. Dinamika politik para elite akan ambisinya demi melanggengkan kekuasaan ditandai dengan praktik yang culas. Sebagai garda terdepan yang memberikan keteladanan bagi proses pendidikan politik, partai politik dan aktor politik seharusnya memberikan ruang dan proses dialektika yang mencerahkan, alih-alih bersama-sama membawa demokrasi kepada pasar gelap.

Setidaknya, catatan gelap ini memberikan transaksi pasar gelap demokrasi. Dimulainya koalisi partai politik yang tidak berbasis pada kesamaan ideologi. Kerancuan ini sangat terlihat di mana partai politik yang berbeda basis ideologi, misalnya pertama dalam sejarah PKS dan PKB bisa sama-sama bersatu demi mendukung paslon Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Jika bukan karena urgensi kepentingan, tentu hal ini akan sangat mustahil terealisasi.

Selain itu, koalisi besar yang dibangun untuk mencalonkan paslon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menunjukkan pragmatis partai. Alih-alih lebih memilih calon yang melalui proses merit system.

Dinamika politik mengguncang di tanah air ialah pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden demi tetap memperpanjang trah kepentingan keluarga Jokowi. Kondisi ini akan menciptakan praktik politik dinasti yang justru sangat membahayakan bagi terjadinya sistem politik yang sehat.

Politik dinasti telah menjadi kegelisahan di Indonesia, terutama sejak otonomi daerah diimplementasikan awal tahun 2000 dan pilkada langsung dilakukan pada tahun 2005. Praktik politik dinasti semakin kuat mengakar, bahkan seolah sudah menjadi norma dalam setiap prosesi pemilu; baik nasional maupun lokal, di eksekutif ataupun legislatif.

Kondisi ini memperparah kemunduran demokrasi di Indonesia dengan hadirnya praktik dinasti politik, akan menjadi catatan yang cukup kelam bahwa pemilu 2024 dibingkai oleh kepentingan keluarga Jokowi dengan membangun trah politiknya.
Bukan anomali, praktik jual-beli kekuasaan niscaya akan timbul jika muncul dari berbagai kalangan partai politik berorientasi kepentingan pragmatis. Di tengah krisis demokrasi yang sedang terjadi di Indonesia, tentu praktik politik dagang sapi akan semakin memperburuk demokrasi yang ideal di Indonesia.

Praktik bagi-bagi kue ini akan menopang tumbuhnya kekuasaan elite yang memanifestasikan kepentingan pragmatis. Dampaknya, segala kebijakan yang terformulasikan akan berbasis pada kepentingan populis. Alih-alih mementingkan kesejahteraan publik, partai politik tidak ubah jadi semacam kartel.

Menurut Bax (1976), fenomena pull-string and confession yang dilakukan oleh pemimpin atau aktor politik akan mencoba menyerap berbagai kepentingan publik yang dibangun dengan praktik patron client sehingga hal ini akan mengupayakan berbagai kepentingan demi jabatan yang strategis diraihnya.

Transaksional jabatan dan kedudukan dalam praktik politik untuk mendapatkan kemenangan dalam persaingan dan kontestasi politik dengan pembagian jatah jabatan, jual-beli jabatan, transaksi jabatan jika diperoleh kemenangan untuk kepentingan bersama koalisi antar partai dan golongan serta kelompok secara bersama-sama bersepakat untuk memperjuangkan kemenangan bersama secara berkoalisi antar partai dan para politisi yang bersaing serta bertanding dalam pemilu.

Memang pasca pemilu dibutuhkan suasana yang sejuk dengan melakukan rekonsiliasi. Namun yang paling penting, dibutuhkan penyeimbang dalam setiap rezim yang berkuasa karena tanpa check and balances akan sangat berpotensi terjadi ketidakseimbangan. Bisa saja pemimpin yang hadir dari proses demokratisasi menjadi otoriter.

Oleh karena itu, praktik politik bagi kue ini secara tidak langsung ingin menggaransi dukungan yang mutlak atas kepemimpinannya Prabowo dan Gibran nanti. Hal ini dikarenakan jika tidak terciptanya dukungan mutlak akan sangat sulit mempengaruhi segala aspek kebijakan, baik itu dengan mencoba membujuk menjadi anggota kabinet maupun memastikan dukungan di badan legislatif.

Pada akhirnya, praktik pemilu bukan menjadi arah pembaharuan dan harapan bagi keberlangsungan terciptanya kebijakan publik yang menguntungkan rakyat. Pemilu menjadi praktik politik dagang sapi para aktor politik demi memuaskan hasrat politiknya melalui bagi-bagi kekuasaan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image