Kenapa Harus Aku?
Dunia sastra | 2024-09-11 17:47:09Kenapa Harus Aku?
Oleh: Mr. Po-8790,
Chapter 01
Wahai kau yang dulu pernah menjadi bintangku, mungkin takdirku memang bukanlah dirimu. Kisah antara kau dan aku ternyata tetaplah berakhir semu, tapi meskipun begitu aku bahagia pernah berada dalam satu cerita yang sama dengan dirimu saat itu. Terimakasih untukmu, my darling karena duniaku pernah tersenyum saat bersama denganmu.
Sore itu, aku turun dari mobil setelah memarkirkannya di depan salon kecantikan bernama Styled UI milik Annastastia temanku yang berada di S. Western Ave, Los Angeles, California. Salon kecantikan yang cukup populer di kalangan semua wanita yang berada di wilayah Los Angeles. Salon yang bertema natural modern dengan domain cat warna putih yang didukung dengan beberapa tanaman hias dibeberapa titik membuat pengunjung akan betah berlama-lama di sana. Ruangan luas yang terbagi menjadi beberapa bagian juga tertata rapi, lounge chair yang nyaman berwarna biru, sofa yang empuk berpadu dengan penerangan yang terang dan peralatan yang lengkap dengan berbagai jenis jasa ditawarkan tersedia di salon ini.
“Jam berapa pestanya akan dimulai?” tanya Anna membuka pembicaraan setelah aku duduk di styling chair kosong yang sepertinya sudah dia sediakan khusus untukku. “Jam 18.00,” jawabku singkat.
Anna memainkan rambut panjangku, terdiam sesaat dan mulai berpikir model rambut seperti apa yang cocok untukku. ”Loose curl saja, yang penting terlihat rapi” jawabku singkat membuatnya memandang dengan kecewa sembari berkacak pinggang yang terpantul di cermin depanku. Dari raut wajahnya itu aku yakin dia ingin sekali mendandaniku, sama seperti dulu ketika aku menghadiri pesta salah satu rekan kerjaku. Sekarang aku bisa mendengar Anna berdecit berkali-kali, sementara aku tertawa melihatnya.
“Jadi, bagaimana dengan make-up nya?. Aku berpikir Soft Glam for Fair Skin akan cocok denganmu,” “Aku serahkan semuanya padamu, tapi tolong kali ini jangan buat aku lebih menonjol dari pengantin wanitanya. Buatlah senatural mungkin” Jawabku dengan nada sedikit menggodanya yang dibarengi dengan tarikan kecil di rambutku sehingga suara “aw” keluar dari mulutku.
Beberapa menit sudah berlalu, tapi Anna masih setia dengan rambutku. Bau khas rambut yang dibaluri Hair Tonic muncul dari curling wand. Asapnya mengepul, aku sempat berpikir apa baik-baik saja karena aku pernah menemukan hal serupa terjadi jika rambut yang berasap seperti itu pertanda rambut tidak tahan panas dan mudah rusak. Sepertinya kekhawatiranku sampai pada Anna seakan-akan kami sedang bertelepati.
“Tidak apa, rambutmu tidak rusak. Bahkan aku iri dengan rambutmu karena cukup lebat dan terawat,” katanya sembari menyudahi aktivitasnya meng-curly rambutku. “Bisakah kamu memberitahuku tentang laki-laki itu?” tanya Anna kembali, mungkin dia menyadari karena aku sejak tadi hanya diam saja dan berkutat dengan game di ponsel sembari memaki-maki tak jelas karena kekalahan beruntun. “SIAL”. “ What guy? Oh, ya dia temanku,” “Itu saja?” katanya kecewa. Kemudian aku menaruh ponselku dan menatap cermin besar di depanku sembari mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuk. Aku tidak tahu harus mulai bercerita dari mana tentang temanku ketika di Beverly Hills High School itu. Sudah lama sekali aku kehilangan kontak dengannya, tapi mendadak saja beberapa hari yang lalu saat aku pergi ke cafe ponselku berdering. Nomor tidak dikenal terpampang di layar ponsel dan rupanya itu suara yang tak asing di telingaku. Inoiasca atau orang-orang menyebutnya Akagami Arata. Seorang aktor jepang ternama yang terkenal karena kepiawaiannya dalam peran live action. Aku tersenyum sumringah hingga berdiri dari tempat dudukku, rupanya senyum itu tak berlangsung lama karena secepat kilat dia berhasil menghancurkan hatiku.
“Tidak perlu bercerita kalau kamu tidak mau,” tambahnya. Anna memang orang yang perhatian, bahkan dalam hiruk pikuk suara orang di salon tak membuat suara lembutnya hilang tertelan begitu saja. Aku kembali menatap cermin yang disambut dengan senyuman Anna juga nampak di sana. Polesan make-up di wajahku juga hampir selesai, tapi waktu masih jauh untuk segera datang ke pesta pernikahan. Dan tanpa disuruh mulutku mulai bercerita, membuka kembali kenangan lama yang sudah terkubur bersama hilangnya dirinya. Aku menutup mata, pikiranku kembali melayang pada masa SMA.
Chapter 2:
Academy Beverly Hills High School.
Awal bulan September, aku menyusuri lorong-lorong kelas sembari berlarian seorang diri. Keringat mulai menjalar di seluruh tubuhku, napas berat dan tak beraturan serta degub jantung terus berpacu cepat. Mataku menyisiri seluruh ruangan, lantai serta kolong-kolong meja dan kursi barang kali melihat benda itu tergeletak di sana. Angin dingin di sore hari mulai berhembus lebih cepat dari sebelumnya. Matahari semakin kehilangan sinarnya dan lambat-laun cuaca menjadi sedikit gelap. Shimatta[1] pekik diriku. Sudah beberapa menit berlalu sejak aku mencari benda itu sendirian. Tidak ada orang di sana, sekolah sudah mulai sepi dan sunyi. Semua aktivitas ekstrakurikuler telah selesai dan hanya tersisa aku seorang yang dengan bodohnya kembali ke sekolah. “Dimana ya?” kataku dengan bingung.
Aku memasuki kelasku dengan tergesah-gesah, menaruh tasku sembarangan dan berjongkok diantara kolong-kolong meja dan kursi. Dari depan ke belakang dan dari kiri ke kanan, aku berputar-putar di dalam kelas mengecek satu per satu meja di sana barang kali memang aku meninggalkan benda itu di sana. Suara ranting pohon yang bergesekan dengan dedaunan mulai nyaring terdengar. Aku menyibak rambut hitam panjangku ke belakang telinga karena mengganggu.
“Halo?! Ada orang disini?” Entah dari mana seorang siswa laki-laki datang membuka pintu, masuk ke dalam kelas yang membuatku terkejut hingga tak sengaja kepalaku terantuk meja. Aku yang sedari tadi sibuk dengan pekerjaanku sekarang beralih pada siapa yang datang. “Yabai, yabai, yabai![2]” kataku panik. Aku mulai takut dan menahan napas, aku yakin tadi, aku hanya seorang diri bahkan security saja tidak melihatku masuk. Tapi ada yang aneh dengan penampilannya karena laki-laki itu memakai pakaian olahraga ABHHIS (Academy Beverly Hills High School). Aku mulai mendongak dan ternyata laki-laki itu sudah berjongkok tepat di depan, aku pun berteriak dan jatuh terduduk. Rupanya itu adalah Asca-san atau Akagami Arata. Dia tertawa kemudian berdiri dari jongkoknya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana olahraga dan tersenyum manis.
“Reina-san, nande koko ni desu ka[3]?” tanya Asca-san penasaran.
Asca-san menatapku lamat kemudian mendekatiku dan mengulurkan tangannya. Aku menghelang napas pelan sambil memegang dadaku akibat terkejut tadi, “aku sedang mencari kunci,” jawabku sambil tertunduk lesu. “Kunci? Kunci apa?” tanya dia bingung. “Aku menghilangkan kunci rumahku,” “Ee, hontou desu ka?[4]” aku hanya mengangguk pasrah. “Hari ini aku membawa kunci rumah karena orangtuaku sedang pergi ke suatu acara, tapi aku justru menghilangkannya dan itu pun aku ketahui setelah sampai di rumah –“ kataku dengan wajah muram. “Jaa, kamu kembali lagi ke sekolah?” aku terdiam sebentar lalu Asca-san kembali berkata bahwa dia akan membantuku untuk menemukannya. Aku yang awalnya menolak sekarang terpaksa menerima bantuannya karena sudah hampir satu jam aku belum menemukan di mana kunci itu hilang. Kami mulai menyusuri seluruh sekolah sama seperti yang aku lakukan sebelumnya, tapi tetap saja tak membuahkan hasil. Sementara itu sebentar lagi security sekolah akan mulai berpatroli dan mengecek apakah masih ada seseorang di sini.
“Ano ne, Asca-san?” aku membuka pembicaraan di koridor sekolah dengan menatap padanya. “ Arigatou gozaimasu[5]!” aku membungkukkan tubuhku 90 derajat padanya.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya dia padaku sembari memegang bahuku untuk segera berdiri tegap. Kami memang belum menemukan kunci itu, tapi aku tidak ingin dia juga bersusah payah membantuku. Aku yakin Asca-san tadi hendak pulang setelah latihan ekstrakurikulernya. Rambutnya yang semula basah sekarang sudah mulai mengering, pasti dia selesai mengikuti ekstrakurikuler polo air. Anak laki-laki yang cukup populer ini memang aktif di berbagai kegiatan sekolah, seperti senam, polo air dan bela diri. Aku juga mendengar bahwa dia adalah anak dari seorang produser sekaligus aktor terkenal Jepang. Asca-san memang tinggal di distrik yang sama dengan diriku, yaitu Little Tokyo Historic District di Los Angeles, California, tapi bukan berarti kita cukup dekat satu sama lain. Aku hanya cukup beruntung bisa satu kelas dengannya diantara beberapa siswa terkenal lainnya.
“Reina-san, apa kamu yakin semua tempat sudah kita datangi?” tanya Asca-san setelah aku memperbaiki posisiku. Aku terdiam dan berpikir keras, tentu saja semuanya sudah kita datangi, aku kembali mengingat semua kegiatan yang aku lakukan selama di sekolah hari ini. Dan kemudian mataku terbelalak tak percaya karena baru mengingat bahwa sebelum aku pulang ke rumah aku sempat pergi ke taman sekolah sebentar dan berdiam diri di bawah pohon red maple. Aku memacu langkahku, begitu juga Asca-san yang mulai mengikuti di belakangku.
Tibalah kami di bawah pohon maple yang aku maksud. Aroma segar dan tajam mulai menusuk hidung. Aroma khas itu tercium dari dedaunan, pepohonan dan tumbuhan yang berguguran di tanah. Gesekan ranting-ranting pohon membuat daun kuning, orange dan merah itu berjatuhan ke bawah. Angin semilir mulai merambat masuk melalui celah-celah jaket yang kami kenakan. Suara hembusan napas Asca-san terdengar memecah keheningan.
“Gawat! Pasti kuncinya sudah tertimbun dedaunan ini.” kesalku. Betapa bodohnya aku karena bisa kehilangan kunci rumah seperti ini, aku yakin pasti itu terjatuh saat aku mengambil jaket dari tasku. “Tidak apa, ayo kita cari sebelum hari semakin gelap.” Ajak Asca-san Kami mulai mencarinya di bawah pohon maple besar itu dengan bermodalkan ranting kayu dan menyibak tumpukan daun dengan pasti. “Reina-san, sudah kutemukan!” teriak Asca-san tak jauh dari tempatku berjongkok. Aku berlari ke arahnya dan secepat kilat menyambar kunci di tangannya. Sekarang aku bisa bernapas lega. Tiba-tiba suara tawa menggelegar, benar saja lagi-lagi Asca-san tertawa sedangkan aku hanya mengucapkan kata terimakasih berulang kali. Setelah itu sebelum ketahuan oleh security sekolah, kami bergegas pergi dari sana dan pulang bersama.
Setibanya di rumah aku mendesah pelan, menghempaskan tubuhku lelah di atas sofa, menatap langit-langit tinggi berwarna putih, memegang erat bantal hingga menutupi separuh wajahku dan tersenyum malu-malu layaknya gadis yang sedang jatuh kasmaran. Bahkan siapapun yang melihatku pasti akan tahu kalau aku sedang jatuh cinta. Setelah kejadian itu Asca-san dan aku menjadi cukup dekat, seperti saat ekstrakurikuler kami diadakan bersamaan kami akan pulang dan menunggu jemputan di depan lapangan sekolah bersama seperti biasanya. Hingga tak terasa sekarang kami sudah menginjak kelas dua belas yang mana akan segera merayakan kelulusan.
“Ne, ne, Asca-san kore mite[6]” kataku tersenyum sumringah memperlihatkan deret putih gigiku pada Asca-san sambil menggenggam daun red maple dan menunjukkan padanya. “Sepertinya kamu sedang senang hari ini, Reina?. ” tanya Asca-san membalas senyumanku tulus. “Sou, desu ka[7]?” timpalku balik
Aku terdiam sejenak dan melepas pandangan, sementara Asca-san berdeham pelan. Tak ingin terlihat salah tingkah aku pun melempar dedaunan musim gugur ke udara, membiarkan mereka berterbangan tertiup angin pelan dan mulai terjatuh kembali ke tanah. Sementara aku sudah bersiap di bawahnya menunggu sambil berjingkrak-jingkrak senang. Tidak ingin menari sendirian aku pun menarik tangan Asca-san untuk menari bersama-sama. Kami berpegangan tangan, tertawa riang dan meliuk-liukan tubuh dengan gaya freestyle ala kadarnya. Lelah dengan kegiatan yang menguras tenaga kami pun berhenti dan mengambil napas dalam. Suasana sore hari yang menyenangkan.
“Asca-san –” panggilku pelan. Aku menatap lamat mata itu, tapi saat kami saling beradu pandang mendadak kuurungkan niatku sambil menggelengkan kepala membuat Asca-san diam tak bergeming, “ Iie, nandemonai[8].”
Chapter 03
“Saat itu aku bertanya-tanya jika seandainya aku mengatakan perasaanku padanya apa semuanya akan berakhir berbeda, ya?” ungkapku pada Anna setelah mematut penampilanku di cermin besar tak jauh dari styling chair.
Dress code kali ini semi formal berwarna hitam. Aku memakai Lantern Sleeve Tie Back Casual Dresses Ruffled Off Shoulder A-Line Vintage Mini Dress singkatnya mini dress hitam Off Shoulder yang baru aku beli beberapa hari yang lalu di Rodeo Drive. Sekarang aku bisa mendengar Anna memuji-mujiku lebih dari sepuluh kali yang aku balas dengan pelukan hangat padanya.
“Kenapa kamu tidak mengatakannya?” tanya Anna masih penasaran dengan kelanjutan cerita yang sudah aku hentikan. “Aku takut,” “Takut ditolak?” “Bukan,” aku tidak melanjutkan perkataanku, kemudian aku melenggangkan kaki-ku keluar lalu masuk ke dalam mobil dan secepat kilat ku tancap gas menuju ke arah Gedung pernikahan The Majestic Down Town yang berada di S. Spring St, Los Angeles, California. Sekarang jam masih 17.20 PTD yang mana masih tersisa empat puluh menit lagi sebelum acara dimulai. Aku terus memacu mobilku cepat dan untungnya jalanan sedang tidak terlalu macet hari ini.
Aku menatap keluar jendela mobil, kulihat pohon-pohon mulai merangas tak ada daunnya. Semua tumbuhan kecil menciut kering dan layu, hanya menyisakan pohon palem yang berjajar di sepanjang jalan Beverly High Hills masih berdiri kokoh. Semburat jingga muncul di garis cakrawala menampakkan matahari sedikit demi sedikit menarik diri dari peraduannya. Kota besar ini sekarang memancarkan keagungan malamnya yang glamor. Beberapa saat kemudian aku tiba di Gedung pernikahan. Semua tamu undangan memperlihatkan undangannya dan berlenggang masuk ke dalam ala-ala aktris Hollywood berjalan di red carpet. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, rupanya Asca-san tidak mengundang banyak orang karena tak satupun dari mereka yang kukenal. Sungguh pernikahan yang tertutup bagi seorang yang namanya sudah go international, tapi kenapa dia rela membayar lebih hanya untuk teman lama sepertiku? Dengan gontai aku masuk ke dalam ruangan besar bernuansa vintage yang penuh dengan orang asing dan disambut wedding band yang mulai memainkan musiknya.
Sekarang aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu karena rangkaian demi rangkaian acara sudah terlewati begitu saja, hingga akhirnya masuk pada prosesi wedding kiss. Aku menatap Asca-san dan istrinya berjalan menuju ke tengah pelaminan, di sana ada MC yang sudah siap memandu dengan wajah gugup saat meminta kedua mempelai untuk saling berciuman dan di lain sisi alunan musik romantis mulai nyaring terdengar.
“Dia begitu cantik dan imut di saat yang bersamaan, jika aku jadi dirimu mungkin aku juga akan menyukai istrimu.” Ucapku yang tengah berdiri di sudut ruangan, sementara tamu yang lain sudah berlalu-lalang pergi ke depan untuk menyalami kedua mempelai.
Tibalah giliranku untuk mengucapkan selamat, tapi kakiku tidak mau beranjak dari tempatku berdiri. Bahkan di dalam keramaian seperti ini aku merasa begitu hampa. Mataku kini tertuju pada asca-san dan istrinya yang secepat kilat membuang muka. Pandangannya sekarang beralih pada istrinya lekat, dia menggenggam tangan wanita di dekatnya itu yang memakai mermaid dress putih elegan. Tanpa aba-aba tangan kirinya diangkat, sementara jari telunjuknya mengarah pada wedding band. Acara kembali beralih pada wedding dance, aku kembali beringsut ke pinggir dan membuat celah bagi semua tamu dan mempelai untuk berdansa bersama. Setelah mempelai berdansa berdua, mendadak Asca-san meninggalkan istrinya dengan sanak saudaranya. Aku terus memperhatikan langkahnya hingga akhirnya dia tepat berada di depanku, mengulurkan tangannya dan tersenyum lembut. Aku masih terdiam mematung, namun tangannya dengan cepat menyambar tanganku dan menarik pinggangku ke dalam dekapannya. Aku terkejut bukan kepalang sama seperti pertemuan pertama saat itu hingga membuatku jatuh terduduk sedangkan kamu tertawa menggelegar.
“Guess I had my last chance[9],” bisikku pelan. Suaraku sedikit bergetar yang bersautan dengan alunan musik band. Tidak ada jawaban dari Asca-san, hanya genggaman tangannya yang kurasakan semakin meremas erat tanganku. Aku tidak berani menatap wajahnya, tidak berani memekik sakit atau menghentikan dansa ini meski semua mata tertuju pada kami berdua, begitu juga sang mempelai wanita.
“Gomen ne, Reina–” satu kata itu sontak membuatku menghentikan langkah kakiku, tidak berani menatap wajahnya, dan masih dengan posisi yang sama. Ah, benar sejak awal aku sudah tertangkap basah olehnya karena itu aku semakin takut kehilangannya meskipun hanya sebagai temanku.
Alunan musik, suara orang, bahkan suara Asca-san mulai tak terdengar. Aku memandang jauh ke depan dan mencoba untuk tegar, sementara otakku berusaha mencerna apa yang sedang terjadi padaku dan bagaimana aku harus menjawab perkataan Asca-san itu. Apakah kalimat ‘aku tidak apa-apa’ boleh aku lontarkan? Tapi aku masih terdiam dengan mulut yang menutup.
“Jangan menggodaku begitu Asca-san karena kita tidak benar-benar dekat untuk saling memanggil nama masing-masing, kalau tidak aku ingin kamu agar terus bisa bersamaku.” Ucap batinku. Tanganku yang semula masih bertengger di pundaknya kini berangsur turun perlahan, wajahku yang sedari tadi enggan untuk menatapnya justru sekarang saling memandang. Bagaimana ya wajahku sekarang? Pikirku. Aku tidak menangis, aku juga tidak berkata apapun, aku hanya menatap wajah itu lekat. Mata yang indah, hidung mancung, bibir seksi yang menggoda, senyum yang lembut dan manis. Semua yang ada padanya hanya fitur wajah Asia pada umumnya, tapi dia begitu mempesona apalagi dengan wajah imut dan tubuh tegap kekarnya itu.
Aku terkekeh pelan, “ah, kamu ini benar-benar. Kamu tiba-tiba saja menghilang dan meninggalkanku sendirian, aku sakit hati tahu tidak?” Kataku di sela-sela tawa kecil mencoba bersikap biasa. “Lihat, istrimu menatap kita berdua?! Di mana kamu bertemu dengannya, ha? Dia sangat cantik dan imut, kalau aku laki-laki mungkin aku akan datang padanya dan mengajaknya kawin lari,” sambungku mencoba menggodanya dan tak membiarkan Asca-san berkata sepatah katapun. “ aku iri.” Celetukku pelan
Sesaat bisa kurasakan tangannya kembali menggenggam kedua tanganku, mengangkatnya hingga tepat berada di depanku. Beberapa detik kemudian aku dikejutkan dengan tangan kanannya yang sudah membelai lembut pipiku. Dia seperti mengusap sesuatu diujung sana, aneh padahal aku tidak menangis, aku bahkan membuka mataku lebar dan tidak tahu bahwa bulir-bulir air itu sudah menggenang di sana. Aku menahan napasku berat berharap agar tidak memperlihatkan air mataku padanya.
“Aku pasti akan merindukanmu,” ucapnya padaku yang disambut dengan anggukan kecilku bersama dengan tangannya yang masih menempel di pipiku.
Gomen nasai
[1] sialan(bhs indonisia)
[2] Gawat gawat gawat
[3] Kenapa kamu di sini
[4] Eh, seriusan?
[5] Terima kasih
[6] Hei, hei, Asca-san coba lihat ini
[7] Begitu kah?
[8] Tidak, tidak apa-apa
[9] Kukira aku mempunyai kesempatan terakhir
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.