Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Abban Said

Sabar dan Ikhlas (Sebuah Pronoia)

Agama | 2024-09-10 22:57:33

Pronoia is the antidote for Paranoia: how the whole world is conspiring to shower you with blessings.

Tulisan ini lahir berdasarkan pengalaman-pengalaman yang berkecamuk di rahim pikiran. Tak luput, gejolak hati turut berpartisipasi membidaninya. Saya mengawalinya dengan teori tentang pronoia yang dalam bahasa yang sederhana bermakna dukungan semesta. Bukan tanpa sebab, teori ini hadir atas kegelisahan-kegelisahan manusia akan bukti campur tangan Tuhan dalam kehidupan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memenuhi rasa dahaga akan kehadiran ‘tangan’ Tuhan yang secara ajaib senantiasa mengisi rongga-rongga kehidupan. Apalagi memenuhi janji-janji para pengobral dusta cinta dan politikus di ibukota sana. Baiklah, kita sudahi basa-basi agar tidak menjadi basi.

Syahdan, kisah saya tidak berawal saat negara api menyerang tetapi ketika beberapa teman saling berinteraksi membahas tentang pendaftaran CPNS pada tahun 2018. Sebagai seorang yang bergelut di dunia persilatan ilmu pedagogik, saya menyimak perbincangan mereka dengan saksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Hal tersebut belum cukup untuk menarik minat saya mengikuti ajang kompetisi pencarian bakat, kecerdasan, kreativitas, dan pengalaman dalam seleksi penerimaan CPNS. Niat dan kesungguhan saya untuk mendaftar CPNS bangkit saat ibu saya memberi dawuh. Tak ketinggalan doa beliau ikut menyertainya. Bagi seorang anak, doa ibu merupakan kepanjangan ‘tangan’ Tuhan yang siap menggenggam erat usaha-usaha manusia di dunia untuk direalisasikan.

Hal pertama yang saya lakukan untuk memenuhi ekspektasi dari restu ibu yaitu tentu saja mendaftarkan diri. Pendaftaran yang pada saat itu dilakukan secara daring memang membutuhkan kejelian dan kecermatan. Alih-alih mudah dan cepat, bisa jadi salah dalam menentukan pilihan yang mengakibatkan kesulitan dan kelambanan. Dua sisi koin teknologi. Hal tersebut tidak luput menimpa diri saya yang grusa-grusu dalam menyerahkan berkas lamaran. Padahal tanggal pendaftaran yang saya tulis di surat lamaran tidak sesuai dengan saat saya mendaftar daring. Kesabaran dan keikhlasan saya untuk memperbaiki kesalahan tersebut berbuah manis. Alhamdulillah berkas saya lolos ke babak selanjutnya.

Cerita tentang kesabaran dan keikhlasan saya tidak berhenti sampai di situ. Menjelang ujian yang mensyaratkan penempelan pita hijau di lengan dilalui dengan lika-liku yang menunjukkan semangat seorang laki-laki. Malam sebelum ujian CAT saya berjibaku dengan waktu untuk memenuhi syarat tersebut. Diiringi simponi katak yang senantiasa merapal mantra pengunduh hujan, saya terjang malam yang basah. Setelah mendapatkan apa yang dibutuhkan, saya tolak uang kembalian dari penjual pita hijau sambil mengemis doa kepadanya agar terkabul sebuah hajat. Bukan hajat para tunaasmara agar segera dipertemukan dengan tulang rusuk ataupun tulang punggungnya atau pada setiap sabtu malam agar air dari langit selalu tumpah. Doa dari seorang pejuang NIP agar tersemat nomor cantik di bawah nama dan tanda tangannya.

Bagi seorang muslim seperti saya, doa merupakan senjata pamungkas. Senjata utama yang ampuh untuk menumpas kerisauan hati oleh sebab usaha-usaha yang belum berhasil. Saya meyakini doa bisa menyembuhkan luka batin. Doa sebagai obat mujarab atas usaha-usaha perih dan pedih yang telah ‘melukai’ kita. Saya juga mengamini bahwa doa orang yang tidak kita kenal justru lebih ikhlas dibandingkan orang yang kita kenal yang cenderung bertindak pamrih atas diri kita. Meskipun kita tidak bisa memungkiri bahwa keikhlasan hanya milik Allah Yang Maha Mengetahui.

Ujung pena ini mulai tumpul maka izinkan saya menyudahi tulisan ini dengan kesimpulan bahwa kesabaran dan keikhlasan dalam usaha dan doa berkelindan dengan kesuksesan. Doa restu dari ibu, keluarga, teman, dan orang lain terlibat dalam skenario Sang Maha Sutradara. Seperti yang telah saya sampaikan di awal tulisan ini bahwa dukungan semesta akan senantiasa hadir untuk memenuhi sebuah takdir. Salah satunya takdir menjadi seorang ASN/ PNS. Hal tersebut seolah mengiyakan semacam pameo ‘menjadi PNS itu rezeki’. Kita semua tahu bahwa rezeki merupakan satu di antara tiga takdir, selain jodoh dan mati. Semoga kita bisa menjemput ketiga takdir dengan bahagia. Seperti halnya saya, istri bersama anak-anak saya, ibu saya beserta doa restuanya, dan bapak saya yang tersenyum serta tenang di alam barzah sana. Tabik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image