Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ida Wahyuni

Konsep Kepemilikan dalam Islam

Politik | 2024-09-10 15:00:02

Konsep Kepemilikan Dalam Islam

Bertubi – tubi, mungkin itu kata yang tepat untuk mendeskripsikan apa yang sedang terjadi saat ini di negeri tercinta nusantara ini. Detik – detik menjelang serah terima kekuasaan di bulan Oktober nanti, justru masyarakat dikejutkan oleh ulah pemimpin negeri ini yang bagai jurus mabuk, kalap karena kekuasaannya akan berakhir. Berbagai kebijakan dikeluarkan untuk memastikan setelah lengser nanti ybs masih bisa merasakan privelege dari orang – orang yang kecipratan bagi – bagi jabatan maupun bagi – bagi kekayaan. Sebut saja salah satu kebijakan yang membuat dahi berkerut sbb :

PerPres nomor 75 tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 11 Juli 2024 yang mengatur tentang waktu Hak Guna Usaha (HGU) di IKN untuk para investor adalah sampai 95 tahun dan bisa diperpanjang sampai 95 tahun lagi. Total 190 tahun. Harapannya aturan tersebut akan mengundang kehadiran investor asing di IKN yang masih nihil.

Coba dipikir pakai logika , NKRI saja baru berusia 79 tahun. Lalu kok bisa pemerintah memberikan wewenang pada para investor untuk menguasai lahan sampai 95 tahun, lalu boleh diperpanjang sampai 95 tahun berikutnya. Tanpa ada batasan, tanpa ada rambu – rambu, apapun boleh dilakukan di atas lahan tersebut, yang penting bisa menghasilkan uang dan keuntungan, konon kabarnya dalam rangka membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk sekitar, membantu perekonomian warga dan daerah setempat. Tapi benarkah demikian? Coba kita lihat fakta yang pernah terjadi di salah satu PSN (Proyek Strategis Nasional ) di Sulawesi Tengah.

“Pertumbuhan investasi di lokasi pembangunan PSN dipercaya akan menyerap tenaga kerja yang besar, utamanya dari masyarakat sekitar. Selain tenaga kerja yang bekerja langsung di sana, munculnya pusat ekonomi baru akan menciptakan berbagai kegiatan ekonomi. Tentu ini akan meningkatkan serapan tenaga kerja lebih luas lagi.”kata Prof Marsuki, Ekonom Universitas Hasanudin (Bisnis.com. 19/3/2024).

Meskipun demikian... seringkali yang terjadi dalam aktivitas pembukaan lahan akan merusak hutan dan lahan pertanian, yang berdampak pada ekosistem dan mata pencaharian masyarakat sekitar. Bahkan juga terjadi proses pengalihan lahan ini menimbulkan konflik antara masyarakat pemilik lahan dan pemerintah.

Kami tidak bermaksud membahas kasus per kasus sengketa lahan yang biasa terjadi di negeri tercinta ini, tetapi sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita menjadikan Islam sebagai standar untuk menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Masalah kasus sengketa lahan ini, bagaimana sebenarnya pengaturannya dalam Islam ?

Sungguh Islam juga telah mengatur batasan – batasan kepemilikan. Definisi kepemilikan adalah izin dari Asy Syari’ yaitu Allah SWT untuk memanfaatkan zat tertentu, sesuai ketetapanNya apakah zat tersebut boleh dimanfaatkan ataukah tidak. Allah SWT telah mengizinkan untuk memiliki beberapa barang, sementara melarang pemilikan terhadap barang lain, contohnya melarang muslim untuk memiliki khamr dan babi, juga melarang memiliki harta hasil riba dann judi. Pembatasan kepemilikan ini bukan pada kuantitasnya, melainkan pada mekanisme perolehannya Ada 3 jenis kepemilikan yang diatur dalam Islam :

Kepemilikan individu, artinya adanya hak otoritas bagi individu atas kekayaan yang dimiliknya untuk memanfaatkan atau menggunakannya untuk keperluan apapun. Contoh : makanan, pakaian, rumah, dsb.

Kepemilikan umum, yaitu izin Asy Syari’ kepada suatu komunitas masyarakat untuk sama – sama memanfaatkan benda / barang. Benda – benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda – benda yang telah dinyatakan oleh Asy Syari’ memang diperuntukkan bagi suatu komunitas dalam masyarakat dan Asy Syari’ melarang benda tersebut dikuasai oleh hanya seorang saja. Benda – benda ini nampak pada 3 macam, yaitu :

Merupakan fasilitas umum, kalau tidak ada di dalam suatu negeri atau komunitas maka akan menimbulkan sengketa dalam mencarinya, contoh : fasilitas air bersih berupa sumber air minum. Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Rosulullah saw telah menjelaskan dalam hadits : “Kaum muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal : air, padang dan api. (H.R. Abu Dawud)

Barang tambang yang tidak terbatas, contoh : tambang minyak, tambang batu bara, tambang gas, tambang emas. Adapun barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan, adalah termasuk milik umum, dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Hukum ini meliputi semua tambang, baik tambang yang tampak, yang bisa diperoleh tanpa harus bersusah payah dan bisa mereka manfatkan semisal garam, batu mulia dsb, ataupun tambang yang beada di perut bumi, yang tidak bisa diperoleh selain dengan kerja keras dan susah payah semisal tambang emas, perak, besi, tembga, timah dan sejenisnya, baik berbentuk padat semisal kristal ataupun berbentuk cair semisal minyak tanah.

Sumberdaya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan, contoh : danau, lautan, pulau, jalan umum, tanah – tanah umum, teluk, selat, dsb. Yang juga bisa disetarakan dengan kepemilikan umum adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat – tempat penampungan, dsb.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, yang ingin kami tekankan di sini adalah tentang kepemilikan individu, artinya individu siapapun memiliki otoritas atas barang yang dimiliknya, artinya tidak ada yang berhak mengambil alih atau memanfaatkan barang tsb tanpa izinnya, bahkan penguasa atau negara sekalipun. Jika harta tetap tidak termasuk ke dalam pemilikan umum maka negara tidak layak melakukan nasionalisasi atas harta tersebut, tidak boleh secara mutlak merampasnya dari pemiliknya, kecuali pemiliknya rela menjualnya kepada negara, sebagaimana halnya ia rela menjualnya kepada orang lain. Dalam kondisi demikian, negara bisa membelinya, sebagaimana halnya individu – individu yang lain juga bisa membelinya.

Dengan demikian, negara tidak boleh memiliki kepemilikan individu dengan alasan demi kemaslahatan umum, selama kepemilikan individu tersebut tetap demikian keadaaannya, meskipun negara membelinya dengan membayar harganya. Sebabnya, kepemilikan individu dihormati dan dilindungi (oleh syariah), tidak boleh dilanggar oleh siapapun, bahkan oleh negara sekalipun.

Demikianlah jika hukum syariah Islam yang diterapkan untuk mengelola negeri tercinta ini, insyaa Allah tidak akan pernah terjadi kasus sengketa lahan, tidak ada rakyat yang dirugikan, tidak ada seorangpun yang dirampas hak miliknya, tidak akan pernah terjadi kasus sengketa lahan Rempang, kasus perampasan lahan rakyat individu untuk pembangunan jalan tol, pembangunan IKN, pembangunan bandara, termasuk kasus sengketa lahan antara warga dengan korporasi pengembang (developer).

Juga tidak akan pernah terjadi kasus bagi – bagi tambang oleh negara kepada swasta maupun ormas. Karena tambang termasuk kepemilikan umum, bukan milik individu dan bukan milik negara, jika tidak berhak memilikinya maka negara juga tidak berhak memberikannya pada siapapun.

Negara boleh mengambil tanah rakyat untuk kepentingan dan kemaslahatan umum dengan ridho pemilik tanah. Jika pemilik tanah tidak ridho, negara tidak boleh menggusur paksa, apalagi bertindak sewenang – wenang. Jika pemilik tanah ridho, negara boleh memberikan ganti untung yang membuat pemilik tanah tidak mengalami kesusahan.

Dalam Islam, pemimpin adalah pelayan bagi urusan rakyat, bukan penikmat derita rakyat. Sikap pemimpin kepada rakyatnya adalah sikap adil dan peduli dengan kondisi mereka. Merampas tanah rakyat adalah kezaliman. Menghilangkan ruang hidup mereka juga bagian dari kemungkaran. Tentu hal ini harus dihentikan, yakni dengan menerapkan sistem kepemimpinan Islam yang amanah, berkeadilan, dan mensejahterakan semua lapisan masyarakat, tentunya sesuai dengan perintah dan larangan dari Allah SWT.

Wallahu a’lam bishowwab.

Sumber Referensi : Sistem Ekonomi Islam (Taqiyuddin An Nabhani)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image