Dating Violence: Ketika Cinta Berubah Menjadi Kekerasan
Edukasi | 2024-09-07 23:18:47Kekerasan dalam pacaran atau dating violence adalah tindak kekerasan terhadap pasangan yang belum terikat pernikahan meliputi kekerasan fisik, emosional, psikologis dan seksual. Kekerasan yang paling sering terjadi dalam hubungan pacaran justru berasal dari kekerasan verbal. Menurut catatan tahunan komnas perempuan 2023 jumlah kasus kekerasan dalam pacaran menempati urutan pertama jenis kekerasan di ranah personal yang dilaporkan ke layanan lembaga selama tahun 2022. Kencan, yang sering dianggap sebagai hubungan paling intim antara dua individu, bisa berubah menjadi hubungan kekerasan yang berkepanjangan.
Menurut David A. Wolfe & Feiring (2000) dating violence adalah perilaku mengontrol dan mendominasi pasangan dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikologis, maupun kekerasan seksual yang mengakibatkan luka atau kerugian. Dampak kekerasan verbal dan emosional yang dilakukan dengan mengejek atau menertawakan, mengungkapkan kesalahan yang terjadi dimasa lalu, menyalahkan dan membuat pasangan marah atau cemburu yang bertujuan untuk melukai psikologis pasangan. Lalu kekerasan relasional juga sering dilakukan dengan tujuan untuk mengontrol sosial atau merusak hubungan antara pelaku dengan korban maupun korban dengan lingkungannya, seperti mengontrol hubungan sosial pertemanan. Selanjutnya kekerasan dalam berpacaran juga dapat mempengaruhi psikologis seseorang, seperti kesulitan berkonsentrasi. kecemasan tinggi, depresi, dan kurangnya motivasi dalam melakukan aktivitas. Selain psikologis, dating violence juga menyebebkan dampak fisik seperti mengalami luka fisik berupa tamparan, pukulan atau serangan fisik lainnya. Lalu yang parah adalah kekerasan seksual yaitu pasangannya untuk melakukan aktivitas seksual seperti mencium, berhubungan intim, menyentuh dengan hasrat seksual, semua hal tersebut dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pasangan atau terpaksa. Dating Violence sebagai tindakan negatif yang dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang, termasuk serangan fisik, psikologis, atau emosional. Oleh karena itu, dating violence juga dapat diinterpretasikan sebagai gangguan emosional yang timbul dari ketidaknyamanan diri terhadap lingkungan sekitar, yang dapat mencakup masalah pribadi, masalah keluarga, kendala ekonomi, isu sosial, percintaan, dan gejolak batin.
Dating violence ini juga bisa disebakan oleh beberapa faktor mulai dari faktor individu, yaitu yang menimbulkan terjadinya tindakan kekerasan dalam pacaran yakni karena usia yang terbilang muda dan rendahnya status ekonomi. Lalu Pengalaman kekerasan dalam keluarga, Seorang anak biasanya akan meniru suatu kebiasaan yang ia lihat dari orang tuanya. Apabila dalam rumah sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maka anak akan cenderung bersikap agresif baik dengan teman, orang sekitarnya bahkan pada pasangan. Selanjutnya ada penggunaan alkohol, hal tersebut bisa mengakibatkan melemahnya kemampuan seseorang untuk mengiterprestasikan suatu hal, sehingga dapat memicu tindakan dating violence. Gangguan kepribadian, pria yang melakukan kekerasan dalam pacaran cenderung menderita emotional dependent, rendahnya self-esteem dan insecure akhirnya sulit untuk mengendalikan dorongan atau keinginan yang ada pada diri mereka. Selanjutnya faktor emosi juga bisa sebagai faktor penyebab karena individu kurang dapat mengontrol emosinya dengan baik sehingga muncullah perilaku kecemburuan.
Meskipun setiap hubungan mungkin mengalami tantangan dan perubahan, namun dating violence, dengan sifatnya yang terus-menerus, dapat menjadi sumber kelelahan dan dampak buruk pada kesehatan mental individu yang terlibat. Komunikasi tidak sehat atau tidak jujur dapat menciptakan kebingungan dan ketidakpastian dalam hubungan dapat memicu terjadinya kekerasan dalam hubungan. Emosi juga dapat memicu terjadinya kekerasan adalah dikarenakan mudahnya melampiaskan rasa marah dan kesal dari masalah yang sedang dihadapi terhadap pasangannya, karena menganggap pasangan tidak akan menolak atau marah dengan perlakuan kekerasan tersebut. Maka dari itu komunikasi adalah hal penting yang harus ada dalam hubungan pacaran agar tidak terjadinya kesalahpahaman antara satu sama lain yang bisa menyebabkan kekerasan dalam hubungan berpacaran.
Dating violence atau kekerasan dalam hubungan jelas berbahaya karena hubungan menjadi tidak sehat yaitu dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang, termasuk serangan fisik, psikologis, atau emosional serta kekerasan seksual. Kepercayaan dan komunikasi adalah sebuah komponen kunci dari setiap hubungan yang sehat dan sukses. Tidak sedikit perempuan yang mengalami kekerasan dalam hubungan asmara akan memaafkan pasangannya, hanya untuk mengalami kekerasan kembali, menciptakan siklus yang berulang. Perlu ada perhatian khusus dan penelitian lebih lanjut agar perempuan bisa lebih waspada, bahkan terhadap orang-orang terdekat dalam hidup mereka.
REFERENSI
Dewi, A. (2023, March 9). Komnas: Kekerasan pacaran dominasi kekerasan personal tahun 2022. Antaranews.Com. https://www.antaranews.com/berita/3433989/komnas-kekerasan-pacaran-dominasi-kekerasan-personal-tahun-2022
Lestari, P. (n.d.). Hubungan Kecemburuan dan Self Control dengan Dating Violence pada Mahasiswa. Retrieved November 5, 2023, from http://repository.radenintan.ac.id/14512/
Monita, R. (2021, September 19). Dating Violence, Kekerasan pada Perempuan dalam Hubungan Pacaran. https://www.parapuan.co/read/532898374/dating-violence-kekerasan-pada-perempuan-dalam-hubungan-pacaran?page=3
Nancy, Y. (2023, February 20). Apa itu Dating Violence & harus bagaimana jika mengalaminya? Tirto.Id. https://tirto.id/apa-itu-dating-violence-harus-bagaimana-jika-mengalaminya-gCDW
Wolfe, D. A., Scott, K., Reitzel-Jaffe, D., Wekerle, C., Grasley, C., & Straatman, A. L. (2001). Development and validation of the conflict in adolescent dating relationships inventory. Psychological Assessment, 13(2), 277–293. https://doi.org/10.1037/1040-3590.13.2.277
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.