Jadi, Apa Pendidikan Itu Sebenarnya? (Bagian Pertama)
Eduaksi | 2024-09-07 07:19:51Jika masyarakat Indonesia ditanya hari ini, terhadap hasil proses pendidikan di Indonesia, kira-kira apa jawabannya? Setiap kita membuka lembaran berita, hampir setiap hari ditemukan berita tentang kekerasan, perundungan bahkan terhadap calon dokter spesialis, pemerkosaan yang bahkan dilakukan oleh pemuda usia 15 tahunan, pemukulan istri oleh suami dll. Belum lagi menilik sejumlah kasus sebelumnya seperti pembakaran suami oleh istri, orang tua yang meninggal dalam rumah karena ditinggal anaknya, pembuhunan anak oleh orang tuanya dll. Ragam hal tersebut adalah sejumlah peristiwa yang berhasil terungkap oleh media. Maka, sebanyak apakah kemudian yang tidak terungkap?
Apakah kita, rakyat Indonesia berbangga dengan hal ini? Mengapa proses dan level pendidikan tidak mempengaruhi dan tidak secara tegas membaguskan perilakua mereka? Pertanyaan ini tentu dapat dikaji dari beragam bidang ilmu dan beragam perspektif yang berbeda. Banyak argumen yang dapat dibangun untuk mencoba menjelaskan fenomena ini, baik yang hanya di level teoritis sampai ke level rekomendasi tindakan praktis.
Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa proses pendidikan selama ini, cenderung tidak berimbang antara tarbiyah (menumbuhkembangkan potensi fitrah dalam diri manusia), ta'dib (membangun moral karakter, etika dan nilai-nilai), serta ta'lim (yaitu mengisi wawasan dengan ilmu pengetahuan).
Penyempitan makna pendidikan yang hanya mengkerucut kepada persekolahan mengakibatkan dampak panjang dan lama. Sekolah dianggap sebagai satu-satunya tempat pendidikan yang utama. Padahal hari ini semakin disadari bahwa well schooled, belum well educated. Artinya, ketika anak bersekolah, sangat mungkin hanya berfokus pada ta'lim saja (yaitu penambahan wawasan ilmu pengetahuan), namun porsi penumbuhan fitrah dan penanaman serta pengembangan karakter moralnya sangat minim.
Ironisnya, sejumlah orang tua beranggapan bahwa ketika sudah menyekolahkan anak, apalagi ke sekolah mahal, maka tugas mereka sudah selesai. Mereka menganggap dan berharap bahwa pulang sekolah anak sudah sholeh dan pintar. Sebaliknya, sekolah berharap bahwa ketika anak diantarkan ke gerbang sekolah sudah sholeh, sehingga tinggal dipintarkan. Maka, siapakah sesungguhnya yang mendidikan generasi penerus Indonesia? Siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap hal ini? Bagaimanakah kolaborasi terbaik yang dapat direkomendasikan? Insya Allah, tulisan berseri ini akan mencoba mengupasnya secara berkesinambungan
Maka anomali ini tentu harus dituntaskan. Orang tua perlu paham kewajiban untuk mendidik anak adalah amanah dan tugas utama mereka. Guru di sekolah atau Ustadz di Pesantren, hanyalah sebagai kontributor atau edukator tambahan untuk melengkapi puzzle kekurangannya.
Sehingga, jika ingin berbagi peran, perlu dipahamkan bahwa tugas utama mereka (orang tua atau ayah dan bunda) terutama adalah pada sisi tarbiyah dan ta'dib (penumbuhkembangan karakter moral). Sementara untuk pembelajaran bidang ilmu yang spesifik, disinergikan dengan para guru yang memang ahli di bidangnya. Sehingga akan terbangun pemahaman bahwa sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan. Jika pandangan ini tidak berusaha di rubah, terjadilah situasi dimana setelah keluar pintu sekolah, tidak ada lagi proses pendidikan. Atau paham bahwa diluar sekolah adalah saatnya meredakan stress, istirahat dari belajar ataupun liburan. Padahal, tarbiyah, ta'dib dan ta'lim seharusnya terus diimplementasikan secara berkesinambungan, melalui kolaborasi aktif berbagai pihak.
Pemahaman ini, jika disertai langkah aksi yang pasti, tentu akan dapat membangun harapan baru bahwa telah terjadi kolaborasi positif (antara orang tua dan sekolah) yang membangun tiga dimensi pendidikan yaitu penumbuhkembangan fitrah (tarbiyah), penumbuhkembangan adab dan akhlak (ta-dib) dan pengayaan ilmu pengetahuan (ta'lim).
(Bersambung)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.