Ide Persatuan Muslim Dunia, Masihkah Relevan?
Politik | 2024-09-05 20:37:53"Binalah Persatuan! Sirnakanlah perpecahan!..Perpecahan melumpuhkan kekuatan hanya iman tauhid yang dapat menyatukan ". Kutipan tersebut berasal dari lagu "Panggilan Jihad" yang begitu populer di era 60-an hingga 80-an. Lagu tersebut, yang diputar setiap hari melalui Radio Republik Indonesia (RRI), menjadi suara kolektif yang mengajak umat untuk merapatkan barisan. Kutipan lagu tersebut seolah-olah menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya solidaritas di antara kaum Muslimin, di mana pun mereka berada.
Setiap pasang mata kini mungkin tak dapat melupakan berbagai kejadian-kejadian yang hampir setahun belakangan ini terjadi. Bencana kemanusiaan yang menimpa penduduk Gaza Palestina seakan membuka tabir yang begitu lebar akan realitas dunia saat ini. Perbedaan sikap yang diambil oleh berbagai pemimpin dunia menunjukkan wujud sesungguhnya dari New World Order (tatanan dunia baru) yang diproklamirkan pasca Perang Dunia Pertama dan Kedua oleh negara-negara adikuasa pemenang perang, yang konon disusun untuk menyongsong perdamaian dunia selama hampir 1 abad ini belakangan ini.Selama satu abad ke belakang, masyarakat dunia seolah dipertontonkan dengan realitas pelik percaturan politik antara bangsa.
Keberpihakan demi menjaga kepentingan seakan merupakan hak-hak prerogatif yang dimiliki oleh negara-negara adikuasa layaknya Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya. Disaat intervensi militer merupakan langkah utama yang diambil oleh negara-negara Barat untuk menghentikan bencana manusia di Ukraina yang terjadi akibat invasi Rusia, bencana kemanusiaan di Gaza nyatanya terus menerus dibiarkan berlanjut tanpa intervensi yang berarti. Padahal jumlah korban sipil yang berjatuhan tanpa henti di Gaza harusnya membuat dunia internasional segera menjatuhkan sanksinya kepada Israel yang harusnya segera bertanggung jawab atas puluhan ribu korban jiwa yang sudah jatuh di sana.Tatanan dunia baru yang disebut-sebut dapat membawa perdamaian dunia malah terbukti tak mampu menghentikan bencana kemanusiaan yang selama ini terjadi di mana-mana.
Di balik layar tatanan dunia baru yang diproklamirkan sebagai simbol kedamaian, terdapat kepentingan busuk negara-negara Barat dan sekutunya. Negara-negara adikuasa seakan berperan sebagai sutradara, mengatur skenario sesuai kepentingan mereka, sementara negara-negara miskin tak lepas menjadi pemeran tambahan, yang sering kali terpinggirkan kapanpun saja. Negara adikuasa kapitalis dapat dengan mudah menguasai negara-negara miskin dengan berbagai insentif ekonomi yang menjebak.Jika ratusan tahun sebelumnya, negara-negara penjajah dapat menguasai negara-negara Timur melalui penjajahan fisik, kini mereka melakukannya melalui penjajahan ekonomi dan politik. Dalam konteks ini, gagasan Pan Islamisme menjadi relevan untuk dibahas kembali. Ideologi ini menekankan persatuan umat Islam di seluruh dunia, dengan harapan untuk menciptakan solidaritas di antara negara-negara Muslim dalam menghadapi tantangan global.Pan Islamisme merupakan gerakan sekaligus ideologi yang pandangan utamanya mengajak semua umat Islam di dunia menjadi satu komunitas (umat). Gagasan ini dipelopori dan disebarluaskan oleh beberapa tokoh seperti Al Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, dan Muhammad Abduh. Pan Islamisme begitu populer sepanjang abad ke-19 sampai 20, terutama di daerah-daerah di kawasan semenanjung Iberia, benua Afrika, kawasan Cina, hingga Asia Tenggara. Bersama dengan kebangkitan nasionalisme, Pan Islamisme menjadi katalis di wilayah jajahan untuk melawan kekuatan imperialisme dan kolonialisme. Pan Islam juga bisa jadi penanda dari sebuah perjumpaan antara anti-imperialisme dengan ekumenisme Islam.Secara historis, istilah Pan-Islamisme diserap oleh Al-Afghani dan Abduh dari konsep ittihad-i Islam (kesatuan Islam) yang dipromosikan oleh Khalifah Abdul Hamid II, penguasa Turki Utsmani. Khalifah Abdul Hamid menyadari perlunya gerakan terkonsolidasi untuk kembali menyatukan umat dan mengusir imperialisme Barat yang mengancam dunia Muslim selama berabad-abad lamanya.Gagasan ini berkembang dan terus menggelinding hingga terdengar oleh umat Islam di seluruh dunia, termasuk Hindia Belanda kala itu. Semua ini tersiar baik dari arus orang-orang yang melakukan ibadah haji dan para pelajar yang kembali dari Timur Tengah. Distribusi surat kabar Arab, maupun pers lokal yang meneruskan seruan Pan Islamisme membuat ide ini dapat berkembang secara pesat. Dampak terbesar dari menyebarnya gagasan Pan Islam juga dipengaruhi oleh majalah Universitas al-Azhar, al-Manar. Terbitan lokal seperti al-Imam (Singapura), Seruan Azhar (Batavia dan Kairo), dan al-Irshad (Surabaya) juga memainkan peran penting dalam berkembangnya ide penyatuan Muslim sedunia ini.Misi Pan Islamisme yang kala itu dimotori oleh Khilafah Turki Utsmani membuahkan hasil yang sangat signifikan, setidaknya persatuan umat dan rasa solidaritas antara sesama mulai kembali terlihat tumbuh. Hal ini dapat disaksikan kala Khalifah Abdul Hamid II meresmikan pembangunan Rel Kereta Api Hijaz, yang mampu menarik perhatian dan solidaritas sesama Muslim. Dalam menyelesaikan proyek yang akan menyatukan wilayah-wilayah Muslim ini, Sultan mengeluarkan uang sebesar 50.000 keping uang emas Utsmani dari dompetnya sendiri. Kemudian dibayar juga uang sebanyak 100.000 keping emas Utsmani dari kas negara. Selanjutnya umat Muslim di seluruh dunia kemudian berbondong-bondong membantu proyek pembangunan ini, hingga terkumpullah dana akhir sebesar 4.283.000 lira Utsmani yang dihabiskan untuk proyek ini.Di Hindia Belanda (nama Indonesia kala itu), gerakan Pan Islamisme berkembang pesat melalui konsulat Turki Utsmani di Batavia yang gencar melakukan aktivitas dakwah ini. Hal tersebut tentu mengancam pemerintah Hindia Belanda, hingga kemudian pemerintah Hindia Belanda memulangkan konsulat jenderal Turki Utsmani pada tahun 1897.Pan Islamisme secara tidak langsung menyerukan persatuan umat untuk memulai pergerakan meruntuhkan pengaruh Eropa di negeri-negeri kaum Muslimin. Gagasan ini tentu amat mengancam penjajah Eropa saat itu, berbagai tindakan dilakukan oleh para penjajah untuk meminimalisir berkembangnya seruan Pan Islamisme yang akan membahayakan kekuasaan mereka. Prancis memulai propaganda di wilayah Muslim jajahannya di Afrika Utara dengan menyebarkan berita wabah yang terjadi di Makkah, guna menekan jumlah jamaah haji yang secara tidak langsung akan dengan mudah terpapar dan menyebarkan pemahaman ini ketika kembali ke negeri asalnya.Seruan persatuan dunia Islam ini juga berdampak hingga ke Hindia Belanda saat itu. Salah satu petinggi Eropa Hindia-Belanda yang merasakan Pan-Islamisme sebagai ancaman nyata dan menakutkan adalah Snouck Hurgroje. Memerangi Pan Islamisme menurut Snouck Hurgroje adalah salah satu misi suci, berulang kali ia memberitahukan pemerintah Belanda bahwa keberadaan Pan-Islamisme perlu diwaspadai. Menanggapi hal ini, pemerintah Belanda kemudian melakukan pengawasan secara ketat terhadap para mukimin di Mekah dengan mendirikan kantor konsulat di Jeddah, mengawasi masyarakat keturunan Arab yang tinggal di Indonesia, termasuk kepada para kyai dan pesantren yang dianggap sebagai salah satu dasar kekuatan Islam yang membahayakan pemerintah kolonial.Salah satu bukti ketakutan orang Eropa terhadap gagasan Pan Islamisme ini dituliskan dalam artikel W. E Asbeck Brusse. Brusse dalam tulisannya menyebut: "Bahwa usaha kedua untuk melancarkan propaganda Pan- Islam, suatu usaha yang tidak kurang bahayanya daripada serangan pers istana, adalah usaha mengundang orang Indonesia, orang Arab, maupun orang Melayu dan orang lain untuk, atas biaya sultan, masuk dalam sekolah-sekolah yang paling tinggi, untuk menerima pendidikan ilmiah, tetapi juga untuk menanamkan kesadaran yang mendalam pada mereka akan superioritas setiap orang Muslim terhadap kafir, kesadaran akan kehinaan yang mendalam yang tak harus diterima mereka, dengan membiarkan diri mereka diperintah oleh orang itu. Jika mereka telah menyelesaikan studi mereka di sini (Turki) dan sudah melakukan ibadah haji ke Mekkah, mereka akan kembali ke Hindia, dan di sana pasti dan segera akan menjadi pengganggu keamanan yang paling besar di antara bangsa mereka dan dengan sendirinya menimbulkan kesulitan yang paling besar pada pemerintah".Ketika Timur Tengah dilanda oleh pembongkaran internal lembaga khalifah dan fragmentasi eksternal Turki Utsmani, sepanjang tahun 1920-an, akibat kekalahan Turki Utsmani dalam Perang Dunia I, Pan-Arabisme dan nasionalisme ke-Araban mulai menikmati dukungan yang lebih luas daripada gagasan Pan-Islam yang sebelumnya berkembang pesat melalui pengaruh Utsmani. Hal ini terjadi karena pengaruh politik Turki Utsmani sebelum perang telah banyak berubah dengan menempatkan bangsa Arab sebagai warga kelas dua di dalam wilayah Turki Utsmani, hal ini dapat terjadi setelah berkuasanya kaum Turki Muda yang berhasil menggulingkan promotor dari gagasan Pan Islamisme ini, yakni Sultan Abdul Hamid sendiri. Selain itu, meredupnya ide Pan Islamisme di wilayah Timur Tengah saat itu juga terjadi akibat pengaruh Barat yang mulai menggerogoti dan membagi negeri-negeri bekas Turki Utsmani di Timur Tengah.Namun, tak berhenti di situ. Meski kekhalifahan yang menjadi simbol persatuan Islam selama berabad-abad juga dibubarkan empat tahun setelahnya (1924), pada titik ini, umat Islam di pinggiran dunia Islam mulai memainkan peran penting dalam kebangkitan Pan Islam yang lebih konkrit. Al-Azhar di Kairo menyerukan muktamar yang menyerukan pembentukan kembali khilafah di tahun tersebut, meski gagal. Gerakan Khilafat yang dipimpin oleh dua bersaudara lahir di India dan mendapat dukungan serta antusiasme Muslim di berbagai belahan dunia lainnya. Berbagai tokoh Muslim di Hindia Belanda merespon kegiatan gerakan Khilafat di India. Terinspirasi pada aktivitas Gerakan Khilafat, masyarakat Muslim di Hindia Belanda mengutus beberapa tokoh ke India untuk menjalin hubungan dengan Komite Khilafat Pusat di India. Pada tahun 1924, para pemimpin Partai Sarekat Islam telah mendirikan Central Committee Khilafat di Surabaya, dan kemudian pada tahun itu juga kota yang sama menjadi tuan rumah Kongres al-Islam. Kongres ini membahas masalah kekhalifahan. Akhirnya, Tjokroaminoto menghadiri Mu'tamar 'Alam Islami Mekah pada tahun 1926, dan Haji Agus Salim juga diutus sebagai utusan Hindia Belanda pada tahun 1927.Dalam proses perkembangannya di Timur Tengah pasca kejatuhan Turki Utsmani, beberapa tokoh Islam layaknya Hassan al-Banna dan Taqiyuddin an-Nabhani kembali melanjutkan ide Pan Islamisme melalui pemahaman mereka masing-masing. Ikhwanul Muslimin dibentuk oleh Hassan al-Banna untuk menerjemahkan ide Pan Islamisme versinya yang kemudian berkembang pesat di Mesir dan beberapa negara Arab lainnya, hingga kemudian memiliki salah satu cabang organisasi yang eksis dan menyorot perhatian dunia kini, yaitu Hamas di Palestina. Taqiyuddin An-Nabhani kemudian juga membentuk Gerakan Hizbut Tahrir yang menerjemahkan ide Pan Islamisme dengan lebih eksklusif dan tak menerima sepenuhnya pengaruh Barat dalam politik umat saat ini.Pasca terjadinya pembakaran Masjidil Aqsa pada 21 Agustus 1969, Amin Al Husaini, mantan Mufti Agung Yerusalem, menyerukan diadakannya konferensi negara-negara Muslim di seluruh dunia untuk menanggapi kejadian tersebut. Mayoritas negara-negara Muslim kemudian mengadakan pertemuan pada tanggal 25 September 1969, pertemuan ini dihadiri oleh 24 negara berpenduduk mayoritas Muslim dan diadakan di Rabat, Maroko. Pertemuan ini berlanjut di awal tahun 1970 dan menghasilkan terbentuknya OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) yang ditujukan untuk meningkatkan kerja sama yang erat antar sesama negara Muslim baik di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya, dan spiritual.Meskipun terbakarnya al-Aqsa dianggap sebagai salah satu penyebab terbentuknya OKI, banyak umat Muslim yang mendambakan sebuah lembaga pan-Islam yang akan melayani kepentingan politik, ekonomi, dan sosial bersama umat (komunitas Muslim) sejak abad ke-19. Secara khusus, runtuhnya Kekaisaran Ottoman dan Khilafah setelah Perang Dunia I membuat hilangnya institusi yang berperan mempersatukan kaum Muslimin. Sejauh perkembangannya, OKI telah dikritik oleh banyak umat Muslim karena kurangnya keterlibatan dan solusi bagi negara-negara Muslim yang sedang mengalami krisis. OKI dikatakan telah membuat kemajuan dalam hal sosial dan akademis, namun tidak dalam hal politik.Pada tahun 1979, Revolusi Iran yang menggulingkan Shah Mohammad Reza Pahlavi, mengguncang peta politik Timur Tengah dan membangkitkan gelombang harapan baru di kalangan umat Islam. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1989, mujahidin Afghanistan, yang didukung secara besar-besaran oleh Amerika Serikat, berhasil memaksa Uni Soviet keluar dari tanah mereka. Kedua peristiwa ini tidak hanya menciptakan gelombang perubahan, tetapi juga menghidupkan kembali semangat Pan Islamisme di kalangan umat Muslim. Tokoh-tokoh seperti Maududi dari Sunni dan Ruhollah Khomeini dari Syiah, masing-masing merangkul visi kekhalifahan baru; meski dengan pendekatan yang berbeda, keduanya menggemakan ide persatuan supra-Islam yang sangat dibutuhkan.Semangat ini menular ke seluruh dunia Islam, di mana gerakan Islamis mulai menantang pemerintahan nasionalis sekuler dan monarki yang bertahan. Di Mesir, cabang-cabang Ikhwanul Muslimin tampil sebagai kekuatan yang signifikan dalam melawan hegemoni sekuler, sementara di Pakistan, Jamaat-e-Islami meraih dukungan luas dari masyarakat. Dalam konteks ini, gagasan Pan Islamisme semakin relevan, menciptakan harapan akan persatuan di tengah perpecahan yang melanda. Namun, realitas yang dihadapi oleh umat Muslim di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa kebangkitan ini tidak sepenuhnya mulus.Di penghujung abad 20, Necmettin Erbakan, perdana menteri Turki yang berpandangan Pan-Islamis, memperjuangkan gagasan Persatuan Pan-Islam (İslam Birliği). Pada tahun 1996, ia mendirikan D8, sebuah aliansi negara-negara berkembang yang beranggotakan Turki, Mesir, Iran, Pakistan, Indonesia, Malaysia, Nigeria, dan Bangladesh. Visi Erbakan untuk mengintegrasikan negara-negara Muslim melalui kolaborasi ekonomi dan teknologi mencerminkan semangat persatuan yang diusung melalui gagasan Pan Islamisme. Namun, upaya ini terhenti setelah Kudeta 28 Februari 1997, yang menjatuhkan pemerintahannya, sehingga aliansi ini pun tak kunjung terwujud.Seiring berkembangnya ide Pan Islamisme, dunia Islam dihadapkan pada realitas yang tidak menguntungkan. Meskipun gagasan persatuan umat Islam menawarkan harapan untuk mengatasi perpecahan dan ketidakadilan, situasi yang ada sering kali jauh dari harapan tersebut. Posisi umat Islam dalam upaya menyelesaikan permasalahan internal yang terjadi seakan terkekang oleh kepentingan Barat yang dominan.Kepentingan politik dan ekonomi negara-negara adikuasa sering kali mengintervensi kemandirian negara-negara Muslim, menciptakan ketergantungan yang memperlemah kemampuan mereka untuk bertindak secara mandiri. Dalam banyak kasus, konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia Islam, seperti di Iraq yang menelan 1 juta korban jiwa, Afghanistan, Palestina, Libya, Suriah, dan Yaman, serta tindakan diskriminatif terhadap minoritas Muslim yang hidup di berbagai belahan dunia layaknya Uighur, Pattani, Moro, Rohingya, serta Muslim di Bosnia dan India, tidak dapat dipisahkan dari campur tangan asing yang memperburuk situasi dan mencegah tercapainya solusi yang adil.Di tengah tantangan ini, ide Pan Islamisme seakan terpinggirkan, terhalang oleh kompleksitas geopolitik yang melibatkan berbagai pihak. Umat Islam yang seharusnya bersatu dalam menghadapi ancaman bersama, sering kali terpecah belah oleh kepentingan politik lokal dan regional, serta tekanan dari kekuatan global. Dalam banyak situasi, alih-alih bersatu, mereka justru terjebak dalam persaingan dan konflik internal yang menguras energi dan sumber daya.Namun, meskipun dalam situasi yang sulit ini, gagasan Pan Islamisme tetap relevan sebagai landasan untuk membangun solidaritas di antara negara-negara Muslim. Kesadaran akan pentingnya persatuan harus dihidupkan kembali, bukan hanya dalam retorika, tetapi juga dalam tindakan nyata. Kemampuan untuk bersatu dalam menghadapi tantangan bersama adalah kunci untuk mengatasi permasalahan internal dan eksternal yang dihadapi umat Islam.Dalam konteks ini, umat Islam perlu mengembangkan strategi yang memungkinkan mereka untuk berkolaborasi dan saling mendukung, meskipun terdapat perbedaan politik dan ideologi. Dengan membangun jaringan solidaritas yang kuat, mereka dapat menciptakan kekuatan kolektif yang mampu menghadapi dominasi Barat dan mengambil langkah-langkah menuju kemandirian.Seiring dengan itu, penting bagi umat Islam untuk memahami bahwa persatuan bukanlah tentang menghapuskan perbedaan yang sudah dimiliki masing-masing bangsa selama ini, melainkan tentang menggabungkan kekuatan dan sumber daya dalam menghadapi tantangan yang lebih besar. Hanya dengan cara ini, gagasan Pan Islamisme dapat terwujud sebagai kekuatan yang nyata, mampu membawa perubahan positif dalam menghadapi realitas yang tidak menguntungkan ini.Dengan situasi yang dihadapi oleh Palestina dan negara-negara Muslim lainnya, gagasan untuk bersatu dalam menghadapi penindasan dan ketidakadilan menjadi semakin penting. Perintah untuk bersatu merupakan amanat yang disampaikan dalam Al-Qur'an. Allah SWT berfirman:"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara." (QS. Ali Imran: 103).Al-Qur'an juga menegaskan bahwa perpecahan merupakan pangkal dari kelemahan, yang selama dua abad belakangan ini menjadi realitas yang tak terhindarkan bagi negara-negara Muslim. Allah SWT berfirman:"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan (berpecah), yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Anfal: 46).Dalam konteks ini, penting bagi umat Islam untuk menyadari bahwa persatuan bukan hanya sekadar seruan, tetapi merupakan tuntutan spiritual yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengingat amanat-amanat tersebut, kita diingatkan akan kekuatan yang dapat tercipta ketika kita bersatu, saling mendukung, dan mengesampingkan perbedaan demi mencapai tujuan bersama.Sejarah menunjukkan bahwa ketika umat Islam bersatu, mereka mampu mencapai banyak hal, baik dalam konteks politik, ekonomi, maupun sosial. Fungsi umat yang ditujukan menjadi khalifatullah di atas permukaan bumi, hanya bisa diwujudkan secara bersama hingga perdamaian dan keseimbangan umat manusia yang selama ini dimonopoli oleh kekuatan kapitalis dapat dibangun kembali. Ini terlihat dari berbagai peristiwa penting dalam sejarah Islam, di mana persatuan umat berhasil mengatasi tantangan yang lebih besar.Nilai-nilai liberal yang dibawa Barat kepada tatanan sosial manusia saat ini, sangat mengancam nilai-nilai moralitas yang harusnya dimiliki oleh bani adam. Karenanya, umat Muslim harus bersatu guna membangun kembali keseimbangan umat manusia melalui ajaran-ajaran Islam yang begitu kompleks, dan menjadi pelita bagi peradaban dunia selama berabad-abad lamanya.Sultan Abdul Hamid II, sang promotor gagasan persatuan Muslim di seluruh dunia, dalam memoarnya menyebut tentang pentingnya melakukan gerakan menanamkan kembali nilai ukhuwah Islamiyah di antara kaum Muslimin dunia, baik Cina, India, Arab, Afrika, dan tempat-tempat lain. Sultan Abdul Hamid II menegaskan keyakinannya tentang kemungkinan lahirnya kesatuan dunia Islam ketika mengatakan, "Kita wajib menguatkan ikatan kita dengan kaum Muslimin
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.