Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Admin Eviyanti

Buzzer Pencitraan Dipelihara Negara, Demi Melanggengkan Kebijakan Oligarki

Politik | Thursday, 05 Sep 2024, 08:36 WIB

Oleh Triana Amalia, S.Pd.

(Aktivis Dakwah Muslimah)

Hampir seluruh pemuda Indonesia menghebohkan media sosial X (Twitter) dengan mengunggah gambar Garuda Pancasila berlatar belakang warna biru tua dengan dua kata menusuk, yakni, “Peringatan Darurat". Gambar tersebut harus ditautkan dengan tagar #KawalPutusanMK yang berakhir trending walau tidak lama.

Selayaknya sebuah kebiasaan, setiap ada perlawanan dari rakyat, pemerintah kerap mengerahkan kelompok massa buatannya alias buzzer untuk menandingi pemberontakan rakyat. Berdasarkan artikel berita pada laman suara.com (23/08/2024), buzzer berusaha menaikkan narasi “Indonesia Baik-Baik Saja". Akun @siimpersons membenarkan gerakan buzzer tersebut.

Pemilik akun mencuitkan foto berupa tangkapan layar yang berisi pesan seruan tandingan itu, sebagai bagian dari kampanye. Cuitannya begitu lengkap dengan bayaran setiap unggahan. Bayaran setiap unggahan di Instagram akan mendapat Rp10 juta, TikTok mendapat Rp15 juta, jumlahnya 25 juta untuk dua unggahan.

Polemik antara netizen yang geram dengan kebijakan pemerintah dan buzzer tandingan di media sosial membuat Boediono sebagai mantan wakil presiden Indonesia berkomentar yang dilansir dari laman katadata.co.id (25/08/2024). Beliau menjelaskan, bahwa Indonesia tak selalu baik-baik saja. Masyarakat seharusnya bisa berkontribusi dalam memberikan masukan pada sistem politik, ekonomi, sosial, keamanan, intinya di semua bidang.

Selain tokoh politik, tokoh akademisi pun turut mengomentari dua kubu yang berbeda itu. Dr. Arie Sujito selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Gadjah Mada, menyatakan keprihatinannya dengan kondisi demokrasi dan hukum Indonesia yang mengalami kemunduran pasca-reformasi.

Ada ketegangan hukum sebagai pertanda dari perkara ini. Risiko dari manipulasi politik mengancam keberadaan konstitusi. Begitu pun untuk tatanan bernegara dan bermasyarakat. Dikutip dari laman Kompas.com (22/08/2024) menyebutkan asal-usul peringatan darurat dengan gambar lambang negara Indonesia, burung garuda berlatar biru tua.

Awal gambar tersebut merupakan tangkapan layar dari video analog horor buatan EAS Indonesia Concept, berjudul, “EAS Indonesia Concept (24/10/1991), ANM-021 (Mesem) – First Encounter” yang diunggah pada 24 Oktober 2022. EAS ialah sistem peringatan darurat nasional Amerika Serikat yang didesain agar pesan darurat tersiarkan dengan baik di televisi dan radio.

Puncak kemarahan rakyat Indonesia tatkala Mahkamah Agung atau putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 menetapkan klausul calon gubernur atau calon wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung saat pelantikan. Ini berarti Kaesang yang lahir pada 25 Desember 1994, saat ini berusia 29 tahun, digadang-gadang bisa maju di Pilkada Jawa Tengah. Artinya dia akan berusia 30 tahun jika terpilih.

Hadirnya buzzer dan influencer agar negara yang dijalankan orang-orang tidak kompeten di bidangnya ini terlihat positif. Inilah gambaran negara yang rela menjadi “budak” sistem pemerintahan kapitalisme.

Kebijakan yang seharusnya mampu menyejahterakan rakyat, malah menguntungkan para pemilik modal dan pemangku kebijakan saja. Pada era digitalisasi media ini, para penguasa mengubah kebohongan menjadi kebenaran.

Siasat penguasa tersebut memainkan emosi dan perasaan warga internet di berbagai media sosial, khususnya X (Twitter) dan TikTok sebagai aplikasi yang banyak digunakan oleh warga negara Indonesia. Narasi yang diciptakan penguasa melalui buzzer, mengarahkan publik untuk menerima segala yang tersedia di linimasa.

Seseorang bisa secara sadar menjadi buzzer. Mereka dibayar untuk menggiring opini publik. Isinya berbagai bentuk pembelaan terhadap pemangku kebijakan yang telah merumuskan aturan tidak populer di tengah masyarakat. Begitulah drama media sosial yang berlangsung dalam setiap bagian kehidupan rakyat yang tertipu gimik penguasa.

Sistem politik demokrasi kapitalis akan menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kebijakan yang menguntungkan oligarki. Sungguh, realitas yang miris. Ketika pemerintah lebih memilih melakukan propaganda tandingan dibanding mendengarkan keluh kesah rakyat yang berdemo di depan kantor DPR.

Di sinilah peran penting masyarakat yang kritis dan politis agar tidak mudah terbawa arus opini buzzer peliharaan lingkar oligarki kekuasaan beserta kroni-kroninya. Seharusnya, negara yang ideal itu masyarakatnya kritis dan politis.

Daya berpikir masyarakat seperti itu bukanlah ancaman bagi pemerintah. Namun, sebagai pertanda kehidupan bermasyarakat dan bernegara berjalan dengan ritme yang teratur antara masyarakat dan pemimpinnya.

Islam sebagai sistem politik mampu membuat ritme yang teratur antara hubungan masyarakat dan penguasa. Ada tiga pilar yang menopang ritme tersebut.

Pertama, individu yang bertakwa. Kedua, masyarakat kritis yang hadir untuk melaksanakan muhasabah kepada penguasa. Ketiga, negara yang menjalankan kebijakan yang amanah serta wewenang untuk menjatuhkan sanksi kepada pelanggar syariat.

Pemimpin dalam negara yang bersistem politik Islam akan membina rakyatnya agar mampu berpikir cemerlang dan mendalam.

Tidak ada lagi buzzer dan pengikutnya yang berpikiran dangkal. Pembinaan ini dimulai pada pendidikan formal. Negara akan menata pemahaman masyarakat sekaligus menanamkan kesadaran rakyat sebagai hamba Allah Swt.

Negara juga memberikan edukasi nonformal melalui kajian di masjid ataupun tempat-tempat umum. Kanal-kanal media pun akan dijadikan pusat informasi yang mendidik, bukan menebarkan hoaks dan gosip seperti saat ini.

Rakyat akan memiliki pemikiran yang rasional, cemerlang, dan mendalam. Ilmu yang berasal dari tsaqafah Islam menjadi landasan saat menjalankan tugas sebagai hamba Allah Swt. di muka bumi serta pemberi kritik pada penguasa.

Masyarakat yang cerdas akan melaksanakan amar makruf nahi mungkar sebagai bentuk mengamalkan perintah syariat. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. Tentang pelaksanaan muhasabah kepada penguasa. “Agama adalah nasihat, ‘Kami (sahabat Nabi) bertanya, ‘Untuk siapa?’ Beliau menjawab, ‘Untuk Allah, kitab, Rasul, para pemimpin muslimin dan mereka secara umum’.” (HR Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, Syafi’i, Ahmad, Darimi, Ibnu Hibban, dan At Thabrani)

Seorang muslim yang memberikan nasihat kepada pemimpinnya merupakan aktivitas politik yang ideal. Sebab, makna politik bukan untuk mereka yang memimpin dan memberikan wewenang saja.

Di negara yang bersistem politik Islam, siapa pun layak menjadi politisi, setiap muslim wajib mengemban tanggung jawab untuk memperhatikan pemenuhan kemaslahatan umat. Begitu pula seorang penguasa dalam sistem politik Islam akan fokus menerima masukan dari rakyat dan melaksanakannya dengan syarat sesuai syariat.

Demikianlah, sistem politik yang melanggengkan hubungan yang harmonis antara masyarakat dan penguasa. Mereka tidak akan memelihara buzzer demi melanggengkan kebijakan yang menyengsarakan agar terlihat positif. Mereka akan sadar tanggung jawab seorang pemimpin tidak hanya di dunia, tetapi di akhirat juga.

Masyarakat pun tidak boleh diam ketika kemungkaran yang dilakukan penguasa terlihat jelas, apalagi menjadi buzzer yang membela kepicikan penguasa. Sudah seharusnya rakyat kritis dan memberikan peran besar agar melahirkan opini yang membuka solusi atas kondisi yang teramat buruk seperti hari ini.

Wallahualam bissawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image