Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rayhan Ahmad

Apakah Seorang Sufi Harus Kotor dan Kumuh?

Agama | 2024-09-02 15:54:00

Ibrahim bin Adham adalah seorang raja dari kota Balkh, sebuah kota yang dikenal sebagai pusat ilmu dan kebudayaan pada masanya dan sekarang menjadi bagian dari negara Afghanistan. Ibrahim pada mulanya hidup dalam kemewahan dan kemegahan sebagai seorang raja, dikelilingi oleh harta benda, kekuasaan, dan segala kenikmatan duniawi.

Namun, meskipun ia memiliki segala yang diinginkan oleh banyak orang, hatinya selalu merasa kosong dan gelisah.

Suatu malam, ketika Ibrahim sedang beristirahat di istananya yang luas dan indah, ia mendengar suara dari atap istana. Suara itu berbunyi:

"Wahai Ibrahim, apakah engkau diciptakan untuk ini? Apakah ini tujuan hidupmu?"

Ibrahim terbangun dengan kaget dan mencoba memahami makna dari suara tersebut. Namun, ia tidak menemukan jawaban dan kembali tidur.

Keesokan harinya, kegelisahan masih menyelimuti hatinya. Ibrahim memutuskan untuk pergi berburu, sebuah kegiatan yang biasa dilakukannya untuk menghilangkan kegelisahan. Ia mengambil kuda dan senjatanya, lalu pergi ke hutan.

Di tengah perburuannya, ia melihat seekor rusa dan segera mengejarnya. Namun, ketika ia hampir berhasil menangkap rusa itu, rusa tersebut menoleh dan berbicara kepadanya:

"Wahai Ibrahim, apakah engkau diciptakan untuk ini? Apakah ini tujuan hidupmu?"

Ibrahim terkejut dan berhenti mengejar rusa tersebut. Ia merasa bahwa kejadian ini bukanlah kebetulan. Suara yang sama telah datang kepadanya, kali ini melalui seekor hewan. Ia mulai merenungi kehidupannya dan semakin yakin bahwa Allah sedang mengingatkannya untuk mencari jalan yang benar.

Tanpa berpikir panjang, Ibrahim memutuskan untuk meninggalkan segalanya—istana, harta, kekuasaan, dan kehidupannya sebagai seorang raja. Ia meninggalkan Balkh diam-diam, hanya dengan membawa pakaian sederhana yang ia kenakan.

Ibrahim mulai menjalani kehidupan sebagai seorang fakir.

Ibrahim bin Adham mengembara dari satu tempat ke tempat lain, menjalani kehidupan dalam kesederhanaan yang ekstrem. Ia sering kali terlihat dalam keadaan yang sangat kumuh dan kotor dengan pakaian yang compang-camping. Baginya, kebersihan batin jauh lebih penting daripada penampilan lahiriah.

Suatu ketika, salah satu orang yang mengenalnya bertanya:

"Wahai Ibrahim, mengapa engkau terlihat begitu kotor dan tidak peduli dengan penampilanmu?"

Ibrahim menjawab:

"Aku sedang mencari dunia yang abadi, maka aku tinggalkan dunia yang sementara. Apa gunanya berpakaian indah jika hatiku terikat dengan dunia? Lebih baik aku hidup dalam kesederhanaan dan membersihkan hatiku dari segala ikatan dunia."

Selain itu, Ibrahim bin Adham juga dikenal karena sering berjalan tanpa alas kaki, mengenakan pakaian kasar yang terbuat dari wol, dan tidur di tanah tanpa alas. Hal ini dilakukannya sebagai bentuk penolakan terhadap kemewahan duniawi dan pengingkaran terhadap ego.

Suatu hari, seseorang yang melihat keadaan Ibrahim bertanya kepadanya:

"Apakah engkau tidak malu dengan penampilanmu ini? Bagaimana orang-orang memandangmu?"

Ibrahim dengan tenang menjawab:

"Jika kalian tahu apa yang ada di hatiku, niscaya kalian tidak akan sibuk memperhatikan penampilanku. Aku lebih peduli dengan keadaan batinku daripada keadaan lahirku yang lebih penting daripada yang lain."[1]

Dari kisah Ibrahim bin Adham di atas, ada aspek yang menarik untuk dibahas, yaitu apakah seorang sufi harus hidup dalam keadaan kotor dan kumuh seperti yang sering digambarkan?

Dalam tradisi tasawuf, zuhud atau asketisme sering kali dimaknai sebagai sikap meninggalkan kesenangan duniawi demi mencapai kedekatan dengan Allah. Namun, terdapat pandangan yang salah kaprah di kalangan tertentu yang mengaitkan zuhud dengan penampilan yang kumuh dan kotor.

Imam al-Ghazali, salah satu tokoh besar dalam tasawuf dan teologi Islam, memberikan kritikan terhadap praktik zuhud yang ekstrem (berlebihan) hingga mengabaikan kebersihan lahiriah. Meskipun zuhud merupakan praktik yang sangat dihargai dalam ajaran tasawuf, Imam al-Ghazali menyatakan bahwa praktik zuhud yang melebihi batas hingga mengabaikan kebersihan dan kerapian tidak boleh dilakukan sebagaimana yang beliau tulis dalam kitab Ihya’ Ulumiddin bab Zuhud dan Fakir:

ليس من السنة إهمال النفس وترك النظافة بحجة الزهد، فإن في ذلك مخالفة لأدب الإسلام الذي يدعو إلى النظافة والجمال

“Bukanlah bagian dari sunah, yakni mengabaikan kebersihan dengan alasan zuhud, karena hal itu merupakan penyimpangan dari adab Islam yang menganjurkan kebersihan dan keindahan[2].”

Kutipan Imam Ghazali di atas menunjukkan bahwa beliau menolak pandangan yang mengaitkan zuhud dengan kumuh dan kotor. Karena beliau menekankan bahwa agama Islam, melalui Nabi Muhammad ﷺ, menganjurkan kebersihan dan keindahan yang tidak boleh diabaikan bahkan dalam praktik zuhud sekalipun.

Namun, ada satu hal yang perlu diluruskan, yaitu bagaimana dengan praktik zuhud yang dilakukan Ibrahim bin Adham sebagaimana kisah di atas. Apakah dapat dibenarkan?

Praktik zuhud yang dilakukan Ibrahim bin Adham masih bisa dibenarkan, karena ada ulama yang berpendapat bahwa praktik zuhud yang sampai mengabaikan kebersihan dan kerapian itu boleh dilakukan sebagai bentuk penolakan mereka terhadap kemewahan dunia yang mereka buang sejauh-jauhnya dari hati mereka.

Pendapat ini disampaikan oleh Syekh Abu Abdur-Rahman as-Sulami dalam kitab Tabaqat as-Sufiyyah:

وكان من أولئك الصوفية من زهد في الدنيا وآثر الفقر والعبادة على جمع المال والجاه، حتى قيل عنهم أنهم أظهروا البذاذة والقذارة في الثياب والمظهر، تعبيرًا عن رفضهم للترف الدنيوي وابتعادهم عن زخارف الدنيا وزينتها

“Di antara para sufi, ada yang zuhud terhadap dunia dan lebih memilih kemiskinan dan ibadah daripada mengumpulkan harta dan kehormatan. Hingga dikatakan bahwa pakaian kotor dan penampilan sederhana yang mereka tunjukkan merupakan ungkapan penolakan terhadap kemewahan duniawi dan menjauhi perhiasan dunia[3].”

Redaksi di atas secara tidak langsung memberikan legitimasi atau pembenaran terhadap praktik zuhud yang dilakukan oleh Ibrahim bin Adham.

والله أعلم بالصواب

[1] Kisah ini diambil dari kitab Hilyat al-Awliya' karangan Syekh Abu Nu'aym al-Asfahani juz 8

[2] Kitab Ihya’ Ulumiddin juz 3 karya Imam Ghazali

[3] Kitab Tabaqat as-Sufiyyah karya Syekh Abu Abdur-Rahman as-Sulami

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image