Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Admin Eviyanti

Kekerasan di Sekolah Potret Kelam Sistem Pendidikan Sekuler

Politik | 2024-08-29 08:43:14

Oleh Arista Yuristania

Aktivis Muslimah

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat sepanjang tahun 2024 ada 101 korban kekerasan seksual dari 8 kasus di lembaga pendidikan, (TEMPO.CO Jakarta, 11 Agustus 2024). Padahal kita baru berada di pertengahan tahun 2024. Dari kasus kekerasan seksual, tercatat 62,5% atau 5 kasus terjadi di lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama dan 3 kasus terjadi di satuan pendidikan berasrama. Sementara 37,5% kasus terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama. Jenjang pendidikan SMP MTs, Ponpes itu ada 62,5% kasus dan 37,5% kasus terjadi di pendidikan SD atau MI.

Kasusnya terjadi ada yang di Ponpes MTs di Sumatera Barat yang korbannya mencapai 40 santri, 2 pelakunya adalah oknum pendidik yang salah satunya adalah pengasuh asrama. Kedua terjadi di Ponpes (AI) di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, korbannya ada 21 santriwati dan pelakunya adalah pengasuh atau gurunya. Kasus ketiga menimpa kasus santriwati di Ponpes di Gresik Jawa Timur yang mendapat kekerasan seksual dari Sang Kyai. Kasus ini tentu hanya sebagian yang dipetakan oleh FSGU di sepanjang Januari sampai dengan Agustus 2024. Adapun dari sisi pelaku yaitu ada 8 kasus terjadi akibat ulah guru dan siswa. Guru laki-laki 72%, murid laki-laki 28%. Kasus-kasus ini tersebar di berbagai daerah seperti di Yogyakarta, Palembang, Bojonegoro, Gresik, Karawang dan lain-lain. (TEMPO.CO Jakarta, 11 Agustus 2024)

Mengapa di lembaga pendidikan justru terjadi kekerasan seksual yang memakan korban, terlebih pelakunya justru guru yang seharusnya memberikan contoh yang baik bagi para siswanya? Ada beberapa penyebab mengapa hal itu terjadi diantaranya:

1. Faktor individu. Faktor yang dimaksud ini adalah self control. Kuat lemahnya kualitas keimanan yang menjadikan self control dipengaruhi oleh faktor lain. Misalnya media yang ada dan sistem pergaulan saat ini. Jika kita lihat media yang masif dengan konten negatif kurang terkontrol dengan baik. Di sisi lain manusia itu punya peluang untuk salah atau khilaf ketika sedang khilaf kemudian melihat konten negatif tentu akan ada peluang untuk melakukan kemaksiatan. Karena kemaksiatan yang dilakukan itu bukan karena hanya ada niat, tapi juga bisa karena ada peluang atau kesempatan. Sementara arus kebebasan yang menggempur umat ini tidak bisa terbendung, ditambah pergaulan yang serba bebas tanpa batas.

2. Kontrol masyarakat, dalam sekularisme liberalisme suasana masyarakat yang terbentuk itu sangat individualis. Bila ada pelaku kemaksiatan entah sengaja atau tidak, masyarakat tidak peduli karena dianggap bukan urusannya. Dengan dalih hak asasi manusia. Jadi orang lain tidak ikut campur walaupun itu kemaksiatan. Maka tidak heran banyak bertebaran kemaksiatan di mana-mana.

3. Sistem kehidupan suatu negara yang memengaruhi sistem pendidikan, pergaulan sanksi dan media. Jika ideologi yang dianut suatu negara menafikan agama dan pengusung kebebasan, maka tentu sistem pendidikan, pergaulan sanksi dan medianya itu akan mengacu pada ideologi tersebut. Yaitu ideologi yang terjadi saat ini. Sistem pendidikan yang ada belum menjadikan agama sebagai fondasi kehidupan, maka agama itu hanya pelengkap dan pemoles saja. Akibatnya kemaksiatan dianggap biasa karena dasarnya bukan agama. Begitu pula sistem pergaulan yang ada serba bebas tanpa batas. Berkholwat atau berdua-duaan dengan bukan mahram, kemudian juga ikhtilat atau bercampur baur laki-laki dengan perempuan. Hal ini dianggap biasa, saat ini kebebasan berperilaku dan free seks seperti dipupuk di dalam atmosfer liberalisme ini. Ditambah media yang ada juga mendukung perbuatan negatif, seperti konten pornografi yang sangat mudah sekali diakses oleh siapapun, termasuk juga oleh para guru. Sementara sistem sanksi yang ada juga belum memberikan efek jera.

Seperti sudah kita ketahui, saat ini sudah dibuat aturan Peraturan Menteri Agama nomor 73 Tahun 2022 tentang pencegahan dan penanganan tentang kekerasan seksual di satuan pendidikan. Kemudian ada Permendikbudristek nomor 26 Tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan tentang kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Opsi sanksi yang diberikan juga ada beberapa macam baik dari sangsi ringan, teguran, pernyataan permohonan maaf hingga sanksi berat, yaitu pemutusan atau pemberhentian hubungan kerja. Ada juga sanksi pelaku di pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 5 miliar rupiah serta ditambah 1/3 dikarenakan pelaku merupakan tenaga pendidik.

Namun sayang faktanya sanksi di atas belum memberikan efek jera bagi para pelaku karena belum ada tindakan tegas pula bagi para pelaku kekerasan seksual. Terutama bagi para tenaga pendidik di satuan lembaga pendidikan. Padahal aksi nyata pemberian sanksi itu sangat dibutuhkan segera agar kasus tidak berulang.

Beginilah gambaran kehidupan berdasarkan sekularisme liberalisme yang tidak bisa diharapkan. Satu-satunya tempat kita berharap hanyalah kepada Allah yang telah memberikan aturan sempurna yaitu Islam. Islam sebagai sistem kehidupan yang dibangun berdasarkan akidah, memiliki konsep yang sangat komprehensif dalam sistem pendidikannya. Islam membentuk output yang memiliki kepribadian Islam, di mana pola pikir dan pola sikap hanya berdasarkan Islam. Lisan dan perbuatan berstandar pada hukum syara apabila melanggar hukum syara itu berdosa.

Landasan akidah yang kuat menjadikan self control bagi seorang muslim, agar tidak mudah melakukan keburukan atau kemaksiatan. Diiringi juga dengan pola sistem pergaulan yang baik, bahwa laki-laki dan perempuan itu tidak boleh bercampur baur agar nafsu bisa terjaga dengan baik. Kemudian peluang kemaksiatan juga ditutup karena perbuatan kemaksiatan dilakukan bukan hanya karena ada niat, tetapi karena ada kesempatan dan peluang. Selain itu dalam Islam, media yang menjadi sarana mudahnya mengakses konten porno dan konten negatif lainnya itu dijaga dengan ketat. Negara akan memfilter konten media yang beredar dan mudah diakses itu hanya konten positif, konten yang bisa menjaga keimanan bisa mendekatkan diri kepada Allah dan ketaatan kepada Allah. Media lebih mengutamakan untuk syiar dakwah di tengah-tengah masyarakat untuk mewujudkan suasana taat dan ibadah, bukan untuk mengumbar nafsu yang tidak tentu arah.

Jadi dalam Islam kontrol masyarakat pun berjalan yaitu aktivitas amar makruf nahi munkar. Ditambah juga sistem sanksi yang memberikan efek jera, misalnya sanksi untuk pemerkosa dalam Islam itu bisa dimasukkan pada zina yang pelakunya akan dirajam sampai mati. Jika pemerkosaannya sudah menikah, akan dicambuk 100 kali, jika pemerkosaannya belum menikah bisa dijatuhi hukuman takzir yaitu sanksi yang bisa dijatuhkan oleh Hakim Syariah atau qodli kepada pemerkosa. Karena ini bukan sekadar berzina, tapi juga melakukan pemaksaan yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri.

Hal ini berdasarkan pendapat Imam Ibnu Abdil barr seorang ulama mazhab Maliki di dalam kitabnya Al Istisqa mengatakan, bahwa sesungguhnya hakim atau qodli bisa menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa menetapkan takzir kepadanya suatu hukuman yang bisa membuat jera untuk si pelaku.

Sungguh Islam itu memiliki solusi yang paripurna atas semua permasalahan yang ada dengan penerapan sistem Islam. Kekerasan di sekolah bahkan di manapun tidak akan terjadi seperti hari ini. Inilah kesempurnaan Islam karena berasal dari Allah Swt., Sang Pencipta manusia yang lebih tahu apa yang terbaik untuk semua ciptaannya. Maka, masihkah kita berharap pada aturan selain Islam?

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50)

Wallahualam bissawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image