Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lulu Nugroho

Hadhanah, Model Pengasuhan dari Kekayaan Pemikiran Islam

Agama | 2024-08-21 22:33:49

Pemilik tempat pengasuhan (daycare) di Kota Pekanbaru, Riau, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan anak. Sebelumnya, pemilik daycare Wensen School Depok pun lebih dulu terancam lima tahun penjara, dengan kasus yang sama, dilansir dari Kompas.com, Jumat (2-8-2024).

Kasus dugaan penganiayaan anak di daycare telah memicu perdebatan tentang pekerja perempuan yang menitipkan anaknya di sana. Video yang beredar di media sosial, memicu kemarahan warganet. Sejumlah warganet menyalahkan pekerja perempuan yang menitipkan anaknya di daycare. Sebaliknya para ibu pekerja pun berdalih bahwa daycare adalah kebutuhan bagi mereka.

Daycare memang menjamur di bawah asuhan sekularisme. Dengan landasan pemisahan agama dari kehidupan (fashludin anil hayah) daycare tumbuh sebagai tuntutan pekerjaan. Emansipasi, feminisme, dan pemberdayaan perempuan, menjadi kondisi yang melatarbelakangi keberadaannya. Dari sini nampak bahwa daycare bukan datang dari peradaban Islam.

Perempuan ikut memutar roda perekonomian negara dan berjibaku dengan kehidupan di luar rumah, hingga akhirnya meninggalkan peran utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Dalam sekularisme, perempuan pekerja memang dianggap berdaya. Sebaliknya terbentuk pemahaman bahwa perempuan menjadi termarginalkan dan insecure, ketika ia hanya menjadi ibu rumah tangga saja dan hanya beraktivitas di wilayah domestik.

Maka tak heran daycare akhirnya dianggap sebagai solusi, agar para ibu tetap dapat berkarir tanpa dibebani tugas pengasuhan anak. Sementara daycare tidak memiliki kepedulian terhadap generasi, bahkan ia bertujuan semata-mata hanya bisnis belaka. Tak ayal berbagai tindak kejahatan dan kelalaian terjadi pula di sana.

Hadhanah, Kekayaan Islam yang Hampir Hilang

Islam memiliki model pengasuhan (hadhanah) yang khas yaitu diberikan kepada yang paling berhak, yaitu ibu. Ketika ibu tidak ada atau hilang hak hadhanahnya, karena ibu sangat sibuk, hilang ingatan, atau tidak mampu, maka hak pengasuhan pindah ke jalur ibu, yakni nenek (ibunya ibu) dan terus ke atas. Ketika jalur ibu tidak ada, baru ke ayah, lalu nenek (ibunya ayah), kakek (ayahnya ayah) dan seterusnya ke atas. Tujuannya adalah menjaga anak dari kebinasaan. Pengasuhan ini dikategorikan sebagai menjaga jiwa (hifzh al-nafs).

Di dalam Islam, seorang perempuan berperan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (ummu wa rabbatul baiyt), serta ibu generasi (ummu ajyal). Maka tanggung jawab membentuk generasi yang siap mengemban tugas kebangkitan, berada di tangan ibu. Meski demikian untuk mengemban tugas tersebut, ibu tidak sendirian. Ada support system dari suami, keluarga dan negara yang senantiasa menjamin seorang ibu dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

Dalam Islam, seorang ibu tidak dibebani tanggung jawab memutar roda perekonomian negara. Tugas mencari nafkah, ada pada ayah (suami). Ketika suami tidak ada karena perceraian atau meninggal, maka nafkah menjadi tanggung jawab wali si ibu tersebut. Maka tidak akan ada seorang ibu yang meninggalkan rumahnya karena harus mencari nafkah.

Akan tetapi seorang ibu yang memiliki kemampuan khusus yang dibutuhkan umat, boleh baginya beraktivitas di luar rumah. Sedangkan pengasuhan anaknya, didelegasikan pada urutan berikutnya dari hadhanah, yang telah ditetapkan Asy-Syari'.

Maka pondasi berpikir ala sekularisme, tidak layak menjadi pijakan kaum muslim, sebab dari sini akan muncul beragam permasalahan kehidupan, termasuk hilangnya mekanisme hadhanah. Sementara anak-anak kaum muslim adalah mutiara umat yang tak ternilai harganya, yang diharapkan akan menghiasi peradaban dengan ketinggian berpikir. Karenanya tumbuh kembang mereka harus senantiasa berada dalam jaminan Islam, agar kelak hadir generasi terbaik di tengah umat, yang siap mengguncang dunia. Rabbi habli minash shaalihin.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image