Tiga Dimensi Pendidikan
Agama | 2024-11-30 20:46:10Kata pendidikan, sering kali tidak dimengerti secara benar maknanya dan definisinya. Jika menggunakan terminologi bahasa Arab, makna pendidikan sering dikenal dalam kata tarbiyah. Padahal, pendidikan itu sendiri, mewujud dalam tiga kata dalam bahasa arab yaitu tarbiyah, ta'dib dan ta'lim.
Asep Zaenal Ausop menjelaskan secara lebih gamblang sebagai berikut: Ta'lim berasal dari kata 'allama, yakni mengajar. Pengajarnya disebut mu'allim. intinya adalah mengajarkan atau menyampaikan ilmu pengetahuan. Dalam kegiatan ta'lim, guru mengajarkan muridnya, ragam pengetahuan yang belum diketahui sebelumnya, sebagai bekal mengarungi hidup, seperti matematika, ilmu alam, geografi, ilmu fisika, ilmu kesehatan dan lain-lain.
Selanjutnya adalah ta'dib, yang berasal dari kata adaba. Artinya adalah mengadabkan, membuat peserta didik beradab. Sasaran ta'dib adalah hati. Pada konteks psikologi hal ini sering disebut dengan moral character. Ini adalah pedoman dan filter perilaku. Ini adalah wilayah untuk membedakan mana hal baik dan buruk, mana sopan mana tidak sopan, mana beretika atau sebaliknya.
Hal yang ketiga adalah tarbiyah, yaitu dari kata rabb yang mengandung arti pemeliharaan. Sasaran tarbiyah adalah seluruh sisi kemanusiaan yang meliputi dimensi tubuh, perilaku, kesadaran, nurani dan ruh. Al Ustadz Harry Santosa menjelaskan bahwa tarbiyah adalah upaya penumbuhan fitrah yang telah Allah Subhanahu wa ta'ala dalam setiap jiwa manusia. Fitrah, telah diyakini oleh ilmuwan bidang perilaku, ilmu-ilmu sosial dan psikologi sebagai konsep Islam untuk mengenal sisi alamiah manusia (sebagaimana karya Prof. Moh. Yasien dalam bukunya Fitrah: the Islamic Concept of Human Nature). Maka tarbiyah adalah upaya menumbuhkan dari dalam (inside out) potensi fitrah yang telah diinstal. Setidaknya ada delapan dimensi fitrah menurut Harry Santosa, yang merupakan pengembangan dari kajian fitrah karya Al Imam Gazali, yaitu fitrah keimanan, fitrah belajar dan bernalar, fitrah bakat dan kepemimpinan, fitrah individualitas dan sosialitas, fitrah jasmani, fitrah seksualitas dan cinta, fitrah estetika dan bahasa serta fitrah perkembangan.
Nah, siapakah yang bertanggung jawab pada dimensi-dimensi pendidikan ini? Harry Santosa menegaskan bahwa, setidaknya orang tua bertanggung jawab pada dimensi tarbiyah (pengembnagan potensi fitrah) dan dimensi ta'dib (yaitu membangun adab, akhlak serta etika anak. Sementara, karena keterbatasan dan karena luasnya bidang ilmu, maka dimensi pendidikan ta'lim, dapat dipercayakan para para guru, pengajar atau ustadz dan ustadzah. Anak dididik menjadi maestri di bidang-bidang sesuai bakatnya, agar dapat menjadi sumber maslahat, seperit menjadi ahli kedokteran, ahli kesehatan, ahli pertanian dan lain-lain. Bukan sebaliknya, dimana seluruh dimensi pendidikan ini (yaitu tarbiyah, ta'dib dan ta'lim) ini dibebankan kepada guru-guru di sekolah ataupun ustadz di pesantren, khususnya karena orang tua merasa sudah membayar mahal. Jika seperti ini, beban pengajar di sekolah atau di pesantren menjadi terlalu berat. Ketika beban terlalu berat, target akan sulit tercapai.
Maka, mari kembalikan kesejatian proses belajar dan pendidikan anak. Orang tua wajib punya peranan penting dalam agenda ini. Orang tua perlu menyediakan waktu, tenaga dan energi untuk melaksanakan proses tarbiyah dan ta'dib. Pembagian peran ini perlu dilakukan secara serius dan terencana. Jangan sampai terjadi situasi dimana para guru berharap anak sudah sholeh masuk sekolah, dan para orang tua berharap anak langsung sholeh setelah pulang sekolah. Lalu, yang mensholehkan siapa? Maka, orang tua bertugas membangun potensi semangat belajar anak-anak, agar bersemangat belajar di sekolah. Guru, dengan profesionalitas bidang ilmunya, mengajarkan ilmu dengan sebaik-baiknya kepada para muridnya, yang telah disholehkan dan disuntik semangat belajar dari rumah oleh orang tuanya. Sehingga kelindan pendidikan akan terjalin dengan baik. Insya Allah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.