Guru Bersertifikat, Tapi tak Beretika: Alarm Merah Pendidikan Kita
Sekolah | 2025-12-15 07:55:30Fenomena meningkatnya jumlah guru bersertifikat dalam beberapa tahun terakhir sering dirayakan sebagai bukti bahwa kualitas pendidikan Indonesia semakin maju. Namun kenyataan di lapangan tidak jarang menimbulkan tanda tanya besar. Tolak ukur profesionalisme guru dan realitas di lapangan justru menampilkan kejadian ironis. Beberapa kasus terkini menyingkap bahwa sertifikat tidak selalu sejalan dengan integritas moral. Kasus yang terjadi di SMAN 4 Kota Serang menjadi bukti paling terang bahwa pendidikan sedang menghadapi persoalan serius, bukan hanya soal kompetensi, tetapi juga tentang keselamatan dan martabat peserta didik.
Kasus SMAN 4 Kota Serang
Pada pertengahan Juli 2025, publik dikejutkan dengan laporan dugaan pelecehan seksual yang dialami sejumlah siswi SMAN 4 Kota Serang. Unggahan dari akun Instagram @savesmanfourkotser memaparkan sederet dugaan kesalahan serius mulai dari pelecehan, intimidasi, hingga praktik tidak etis lainnya di lingkungan sekolah.Menindaklanjuti laporan tersebut, Unit PPA Satreskrim Polresta Serang Kota bergerak cepat.
Pada 22 Juli 2025, kepolisian menyatakan bahwa tindakan pelecehan memang terjadi meski tidak sampai pada tahap persetubuhan. Seorang guru berinisial HD ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan.
Tak berhenti di situ, Pemerintah Provinsi Banten juga mengambil langkah tegas dengan menonaktifkan empat guru lain yang diduga terlibat atau mengetahui praktik tidak etis tersebut, sambil menunggu proses hukum berlangsung.
Kasus ini membuka mata publik bahwa pelanggaran etika guru bukan isu kecil yang terjadi sesekali, melainkan fenomena yang membutuhkan evaluasi serius pada sistem pembinaan dan pengawasan di sekolah.
Dampak Perilaku Guru dalam Perspektif Teori PerkembanganKasus seperti di SMAN 4 Kota Serang tidak hanya mencoreng institusi pendidikan, tetapi juga memberi dampak psikologis dan moral bagi peserta didik. Hal ini dapat dipahami lewat beberapa teori perkembangan berikut :
1. Perspektif Teori Kognitifisme
Menurut Piaget, remaja SMA berada pada tahap operasional formal, yaitu fase ketika mereka mulai mampu berpikir abstrak dan menilai tindakan secara rasional. Sementara itu, menurut Kohlberg mereka berada pada tahap moral konvensional menuju pasca konvensional awal, di mana prinsip moral seperti keadilan, kesetaraan, dan norma sosial menjadi dasar dalam menilai benar dan salah.
Ketika guru melakukan pelanggaran etika, proses penalaran moral siswa terganggu. Ada ketidaksesuaian antara nilai yang diajarkan dengan perilaku nyata guru. Kondisi ini menimbulkan moral dissonance kebingungan moral akibat ketidakharmonisan antara pengetahuan dan teladan.
2. Perspektif Teori Behaviorisme
Teori behaviorisme menekankan bahwa perilaku berkembang melalui penguatan (reinforcement) dan hukuman. Guru berfungsi sebagai model perilaku yang diamati dan ditiru siswa. Ketika guru menunjukkan tindakan tidak etis, ia secara tidak langsung memberikan penguatan negatif terhadap perilaku menyimpang. Dalam jangka panjang hal ini dapat mempengaruhi kebiasaan, persepsi moral, dan cara siswa memandang otoritas pendidikan.
teori di atas menegaskan bahwa peran guru bukan sekadar mengajar, tetapi membentuk karakter dan pola pikir siswa. Tanpa etika yang kuat, tugas ini tidak dapat berjalan secara optimal. Hal ini sejalan dengan prinsip Ki Hadjar Dewantara yang ( ing ngarso sung tulodo) menegaskan bahwa guru harus menjadi teladan dalam perilaku. Guru tidak hanya berfungsi sebagai penyalur ilmu, tetapi juga sebagai panutan.
Kasus SMAN 4 Kota Serang adalah peringatan keras bagi dunia pendidikan. Ia menegaskan bahwa sertifikasi tanpa etika hanya akan menghasilkan guru yang secara administratif layak, tetapi secara moral membahayakan peserta didik.
Oleh karena itu, perlu langkah nyata dan menyeluruh untuk memperbaiki sistem pendidikan, antara lain:
1. Seleksi dan evaluasi calon guru secara ketat, tidak hanya berdasarkan kemampuan akademik tetapi juga integritas moral dan rekam jejak.
2. Penyediaan mekanisme pelaporan kekerasan atau pelecehan yang aman dan mudah diakses oleh siswa maupun orang tua.
3. Pelatihan rutin bagi guru mengenai etika profesi, psikologi anak, komunikasi, dan perlindungan siswa.
4. Pengawasan aktif dari orang tua, komite sekolah, dan masyarakat.
5. Penegakan hukum dan pemberian sanksi tegas bagi pelaku pelanggaran untuk memberikan efek jera.
Kasus di SMAN 4 Kota Serang menjadi pengingat bahwa gelar dan sertifikasi bukanlah ukuran utama kualitas pendidik. Yang diperlukan adalah guru yang tidak hanya cakap mengajar, tetapi juga berintegritas, bermoral, dan mampu menjaga amanah melindungi siswa.
Jika persoalan etika tidak dibenahi sejak sekarang, maka keberhasilan program peningkatan kompetensi hanyalah pencapaian di atas kertas. Pendidikan yang berkualitas tidak berhenti pada kurikulum, metode, atau sertifikasi. Tetapi berakar pada bagaimana guru bersikap. Guru yang baik bukan hanya mereka yang lulus ujian, tetapi yang mampu menjaga martabat siswa, mengayomi, dan menjadi cermin bagi generasi yang sedang tumbuh.
Oleh: Amala fathun Nabilla, mahasiswa pendidikan guru sekolah dasar, Universitas Pamulang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
