Judi Online, Mahasiswa dan Logika Nalar Kedewasaan
Eduaksi | 2024-11-26 10:13:16Berbasis data dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Republika Online), diketahui bahwa terdapat lebih dari 900 ribu mahasiswa terlibat judi online. Tentu ini adalah hal yang sangat miris, mengingat mahasiswa adalah kaum intelektual, serta berada di kasta tertinggi pendidikan (maha-nya siswa). Logikanya, mereka telah memiliki konstruksi dan logika berpikir yang baik, pengalaman hidup yang cukup untuk membedakan hal yang benar dan salah, serta kedewasaaan yang matang mengingat rata-rata sudah melewati masa akil baligh. Artinya, jika golongan ini ternyata melakukan aksi perjudian, maka sulit kita berharap bahwa serbuan judi ini bisa di tahan oleh 'golongan dibawahnya'.
Terkait data tentang lebih dari 900 ribuan mahasiswa terlibat perjudian online, maka sejatinya hal tersebut tidak dapat dipukul rata. Paling tidak ada tiga kategori pemainnya:
1. Pelaku terlibat judi secara sadar, intens dan kecanduan. Artinya pelaku menikmati secara sadar aktivitas ini, dan bahkan mengharapkan sejumlah dana instan (cuan) dari aktivitas ini. Mereka melakukan berkali-kali karena penasaran, dan karena keingingan tinggi untuk mendapatkan 'feedback' yang berkali lipat dari 'investasi' yang ditanamkan.
2. Pelaku penasaran dan baru melakukan coba-coba. Nah, kategori ini adalah kategori paling rentang untuk pindah ke kuadran satu. Aplikasi ini tentu sudah didesain bagi siapa saja yang mencoba untuk terjerumus lebih dalam. Didesain untuk membangun unsur 'ketagihan' dan "addictive'. Sehingga pelaku di level ini, seharusnya segera menghentikan kegiatannya, segera setelah menyadari bahwa kegiatan ini termasuk dalam perjudian.
3. Ketidaktahuan dan juga ketidaksengajaan sehingga terkategorikan "main judol". Apakah kategori ketiga ini mungkin? ya jelas mungkin. Karena para produsen judol ini, terus menerus dan tidak berhenti melakukan promosi melalui berbagai jalur akun media sosial. Sehingga sangat mungkin, tidak sengaja di'klik' oleh siapapun. Begitu di'klik', tentu aplikasi segera mengarahkan ke level selanjutnya yang membangkitkan fantasi, dan imajinasi untuk mendapatkan penghasilan secara instan.
Mahasiswa
Namun, hal yang dipermasalahkan oleh tulisan ini adalah bahwa pelakunya adalah mahasiswa. Yaitu generasi atau kelompok yang pasti sudah menempuh ragam jenjang pendidikan sebelumnya. Telah belajar banyak tentang mana aktivitas baik dan mana yang buruk. Telah belajar syariat agama tentang mana yang halal dan haram. Telah belajar dari orang tuanya tentang mana perilaku yang boleh dan tidak boleh.
Artinya, ada lubang besar dari luaran pendidikan. Ada lubang yang kurang terisi oleh padatnya kurikulum pendidikan. Ada dimensi afeksi/nilai dan etika yang terlewatkan. Ada dimensi norma dan agama yang belum terinstal dengan baik, sehingga belum cukup memandu perilaku mahasiswa. Intinya, perilaku sejumlah mahasiswa tersebut, belum terpandu dengan baik oleh nilai, etika dan norma yang sudah mereka pelajari dari rangkaian proses pendidikan sebelumnya.
Jika, terus ingin didiskusikan, kajian ini tentu akan menjadi panjang dan luas. Namun setidaknya, tulisan ini dapat menjadi pemantik untuk kita semua bertanya ulang, "jika mereka yang berada di level pendidikan tertinggi saja, masih goyang etika dan normanya, maka bagaimana yang di bawahnya?", "Jika jenjang mahasiswa saja belum sepenuhnya dapat membedakan perilaku yang baik dan yang buruk, maka harus seberapa tinggi lagi kuliah yang harus ditempuh? Artinya, ini adalah perjalanan panjang untuk penyempurnaan pendidikan. Ini adalah tugas bersama sekolah dan orang tua. Ini adalah tamparan keras bagi setiap pihak yang berkaitan dengan pendidikan. Ini adalah hal yang kali ini, tidak boleh didiamkan begitu saja tanpa intervensi khusus (Bersambung)
Retorik
Pada ujung tulisan ini, penulis ingin kembali menggedor kesadaran bahwa "benarkah para mahasiswa ini "korban"? Bukankah mereka telah memiliki nalar yang cukup dewasa? Bukankah mereka sudah mampu memprediksi dampak dari aktivitas mereka? Bukankah seharusnya mahasiswa (khususnya muslim) sudah mengetahui hukum syariat agama dari aktivitas judi tersebut? Bukankah seharusnya mereka sudah bisa memprediksi bagaimana tanggapan orang tua mereka putra-putri mereka terlibat aktivitas ini? Jika mahasiswa dianggap korban, maka perlu berapa jenjang lagi pendidikan yang diperlukan agar mereka benar-benar menjadi manusia bernalar dan insan dewasa?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.