Warung Chai dan Realitas Pekerja Anak di India, Catatan Perjalanan (1)
Kultura | 2024-08-20 22:37:11Di daerah tempat saya tinggal, ada sebuah warung cai yang sangat ramai didatangi pembeli. Seringkali orang harus berdiri di luar dan menunggu pesanannya datang. Letaknya persis bersisian dengan bangunan kantor polisi. Warung itu dikelola 3 orang pria dewasa dan 2 orang anak laki-laki. Awalnya saya pikir anak-anak itu adalah anak dari sang pemilik warung, tapi ternyata bukan. Salah seorang anak, Raju (11 tahun), mengatakan bahwa ia telah bekerja di warung itu selama 1,5 tahun. Satu anak lainnya, Vijay (13 tahun) mengaku bahwa ia telah bekerja selama 2 tahun. Mereka juga mengaku bahwa mereka tidak mengenal bangku sekolah. Tidak satu pun dari mereka yang bisa menulis dan membaca. Ketika ditanya apakah mereka mengumpulkan uang untuk sekolah, mereka hanya tersenyum. Dan ketika ditanya apakah mereka masih mau sekolah, mereka menggeleng. Mereka bilang, mereka tidak perlu sekolah karena tanpa sekolah mereka sudah bisa bekerja dan mendapatkan uang.
Kebiasaan saya mampir ke warung cai setiap sore membuat saya hafal dengan pembagian pekerjaan di antara para pekerja warung cai langganan saya. Dari tiga orang dewasa: satu orang bekerja di depan tungku, satu orang lainnya melayani pembeli, dan satu orang sisanya meracik cai. Sementara dua orang pekerja anak memiliki tugas yang saling melengkapi di antara mereka: mengangsu air, menghidangkan pesanan pembeli, serta mengumpulkan dan mencuci gelas dan piring kotor.
Kalau ditimbang-timbang dari sistem pembagian kerja yang ada di warung cai ini, para pekerja anak mendapatkan porsi pekerjaan yang relatif lebih berat. Bayangkan saja, dengan ramainya pembeli, gelas kotor yang harus dicuci pun menjadi banyak dan untuk itu pekerjaan mereka seakan tidak ada selesainya. Selain itu, dengan ramainya pesanan, mereka pun harus bolak-balik mengangsu air dari pompa umum yang digunakan sebagai sumber air bersih. Bergantian, setiap setengah jam anak-anak itu harus mengisi ulang 2 jerigen air bervolume 20 liter yang oleh mereka hanya mampu diisi setengahnya saja.
Sebenarnya, tidak hanya di warung cai, di banyak bidang pekerjaan lainnya pun anak-anak India mengambil peran sebagai pekerja aktif. Dalam catatan V.V. Giri Labour Institute, jumlah pekerja anak di India mencapai lebih dari 12,5 juta atau bahkan 75 hingga 90 juta orang dalam estimasi UNICEF. Dalam catatan ILO, India merupakan salah satu dari sepuluh negara dengan indeks pekerja anak terburuk (Cina di nomor ke-13). Mereka bekerja di berbagai sektor, mulai dari sektor domestik hingga bisnis, mulai dari pekerjaan umum hingga prostitusi. Beberapa perusahaan asing di India, seperti GAP dan Monsoon, turut memanfaatkan anak-anak sebagai buruh pabriknya.
Biasanya, selama 12 bulan pertama anak-anak yang bekerja tidak akan mendapatkan gajinya, kecuali sekadar makan sehari-hari. Setelah lewat 12 bulan, barulah mereka mendapatkan gaji yang besarnya antara 1.200 hingga 1.500 rupee (setara dengan 240.000 hingga 300.000 rupiah) sebulan, atau setengah dari upah minimum yang diterima orang dewasa. Pada sebagian kasus dan sebagian jenis pekerjaan―seperti menjual snack di stasiun dan pusat keramaian lainnya―upah harian yang diterima anak-anak ini hanya 10 rupee saja untuk 8 hingga 12 jam bekerja.
Saya ingat, majalah The Economist sempat menyebutkan bahwa pekerja anak menjadi salah satu topik yang tak habis dibahas setelah India menjadi tuan rumah Olimpiade Negara-negara Persemakmuran di akhir tahun 2010. Event yang diselenggarakan di New Delhi tersebut telah meninggalkan catatan tentang dipekerjakannya anak-anak dalam proyek konstruksi pembetulan jalan, pembangunan metro, perbaikan sarana hiburan dan belanja di Connought Place, dan lain-lain pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah India guna persiapan penyelenggaraan Commonwealth Olympic. Kebetulan beberapa bulan menjelang penyelenggaraan event akbar itu, saya sempat mengunjungi Delhi dan melihat sendiri keberadaan anak-anak dalam sejumlah proyek fisik tersebut. Tapi, sebenarnya ini hanyalah gunung es dari fenomena keseharian yang saya kerap jumpai di Kolkata.
Seperti kisah Vijay, kemiskinan keluarga, pengangguran orangtua, dan buta aksara menjadi faktor utama yang mendorong anak-anak ini bekerja. Dalam beberapa kasus, pihak keluarga kadang justru menjadi pelaku aktif yang mendorong anak-anak ini bekerja, dengan sedikit sekali atau, yang seringkali terjadi, tanpa bekal keahlian sama sekali. Di tangah lingkungan keluarga dengan ayah yang pemabuk ataupun wali yang tidak bertanggung jawab, nasib anak perempuan menjadi demikian suram, karena tak jarang nasib mereka berakhir di dunia malam.
Pandangan kaum intelektual India terbagi atas dua golongan, dan saya melihat refleksinya dari perseteruan dua kelompok peneliti di Center. Kelompok pertama adalah kelompok ekonom, yang menganggap bahwa kemiskinan disebabkan oleh akses pada sumber kapital, seperti pekerjaan yang baik, pendidikan untuk menunjang keahlian, dan tanah. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok peneliti sosial non-ekonom, yang menganggap bahwa kebijakan reformasi pasar tahun 1990an hanya mampu menurunkan kemiskinan secara kuantitatif, namun menyebabkan disparitas yang makin menguat antara yang kaya dan yang miskin. Sayangnya, dari kedua kelompok intelektual ini, hampir-hampir tidak ada yang mau mengakui bahwa akses ekonomi dan sosial masyarakat yang timpang merupakan kompleks akibat dari struktur budaya di masyarakatnya sendiri.
Dari berbagai seminar yang saya ikuti setiap bulannya di Center maupun di luar Center, saya mendapati satu fakta yang tidak terbantahkan bahwa sistem stratifikasi di India bersifat sangat rigid. Sistem ini, misalnya, menentukan kesempatan yang seseorang miliki untuk mendapatkan pekerjaan di perkantoran. Seorang pelamar kerja yang memiliki jati (nama belakang) seorang dalit biasanya berakhir sebagai tukang bersih-bersih di kantor, jika bukan malah ditolak bekerja sama sekali. Dalam membangun bisnis pun, sama saja, jika bukan seorang ksatriya atau waisya, sangat sulit bagi seorang sudra, apalagi dalit, untuk mendapatkan akses pada pinjaman bank konvensional karena mereka biasanya tidak memiliki jaminan. Tak heran jika banyak dari mereka yang pergi ke lintah darat yang, alih-alih mengentaskan mereka dari kemiskinan justru menjerembabkan mereka dan anak-anak mereka dalam lingkaran kemiskinan yang lebih dalam.
Yang paling miris dari seluruh fenomena ini adalah, kaum intelektual malah sibuk berdebat pendekatan mana yang paling benar dari sisi ilmiah serta argumentasi siapa yang paling hebat dan paling banyak mendapat dukungan, meninggalkan esensi dari upaya pengentasan masalah pekerja anak dan kemiskinan itu sendiri.
June Cahyaningtyas
Dosen, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta
Pernah belajar dan tinggal di Kolkata, India. Catatan ini ditulis tidak lama setelah penulis kembali dari India.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.