Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image June Cahyaningtyas

India, eh, Kolkata, Catatan Perjalanan (0)

Kultura | 2024-08-20 23:10:40

Kolkata adalah ibukota negara bagian West Bengal. Nama kota ini berasal dari kata Kalikata (bahasa Bengali) dan merupakan kependekan dari ‘Kalikshetra’ (Tanah Dewi Kali). Sebelum berganti nama menjadi Kolkata pada 1995, kota ini dikenal dengan nama Calcutta. Di samping terkenal karena keberadaan tokoh kelas dunia seperti Rabinandrath Tagore dan Mother Teresa; kota ini mencatat prestasi sebagai salah satu—jika bukan nomor satu—yang terpadat di dunia. Pada tahun 1993 saja, tingkat kepadatan penduduk di pusat kota mencapai 95.000 orang per km.

Kolkata merupakan salah satu kota pelabuhan tertua di India, di samping Mumbai, dan bekas ibukota Imperium Inggris di India. Di beberapa titik di pusat kota, bekas bangunan peninggalan Inggris yang masih terpelilhara dengan baik terlihat di Victoria Memorial, British Library, dan Museum Nasional, yang sekaligus menunjukkan sisa-sisa kemegahan kota ini di masa lalu. Namun, secara umum, kota ini diwarnai pemandangan bis dan kereta bawah tanah (metro) yang penuh sesak, oto yang lincah bergerak di jalan di antara bus-bus tua besar dan mobil Ambassador khas India, dan tram tua yang memecah arteri kota dengan jalannya yang sempoyongan. Kemacetan lalu lintas menjadi pemandangan rutin kota ini, tanpa kenal hari dan jam. Di luar pemandangan pedagang kaki lima (city hawkers) yang banyak menyita ruang-ruang yang tersedia bagi pejalan kaki maupun ruas-ruas jalan, Kolkata juga 'dihiasi' banyaknya kendaraan yang parkir sembarangan di pinggir jalan. Mungkin itu masih belum seberapa jika tidak ditambah dengan perilaku menyetir yang ugal-ugalan, serta polusi suara yang disebabkan bising klakson dari kendaraan, yang sedikit banyak menunjukkan karakter masyarakatnya.

Sebagaimana kota-kota besar India lainnya, seperti New Delhi, Mumbai dan Karachi yang eksploitatif dan chaotic, Kolkata juga tercatat memiliki karakter yang sama. Masalah pengangguran, pemukiman kumuh, kepadatan penduduk, penggunaan wilayah publik untuk kegiatan sektor ekonomi informal, polusi air dan udara, serta rendahnya kualitas infrastruktur dan jasa. Mungkin seperti halnya Jakarta, permasalahan ini muncul karena pertumbuhan kota tidak didukung konsep dan rencana tata kota yang matang, sehingga kota gagal menyediakan standar minimal yang diperlukan masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang berkualitas. Tapi itu adalah penilaian eksternal yang terlalu general. Menurut orang dalam, kota ini dibangun di atas distingsi yang terlalu kentara di antara kelas-kelas ekonomi, sosial, dan budaya. Tak heran jika kemudian terdapat kantung-kantung perumahan elite yang jumlahnya hanya segelintir saja dan dikelilingi oleh perumahan massa, mulai dari yang sederhana sampai yang kumuh kondisinya.

Hingga tahun 1950-an, negara bagian West Bengal tercatat sebagai negara bagian terkaya dengan tingkat pendapatan per kapita paling tinggi di seluruh negeri. Namun, kejatuhan ekonomi kota ini terjadi setelah pemerintah Inggris memindahkan ibukota ke Delhi pada tahun 1912. Meskipun beberapa industri mesin (pekerjaan terkait pengolahan metal dan besi berskala medium) yang dimiliki orang-orang Inggris mulai beroperasi di daerah industri di sepanjang pinggiran sungai Hooghley pada waktu yang hampir bersamaan, tapi rendahnya permintaan pasar atas produksi jute yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah memberikan pukulan yang keras bagi kota ini. Jika di awal abad ke-20 Delhi telah menggantikan posisi Kolkata sebagai pusat administrasi politik India, di awal abad ke-21 Mumbai telah menggantikan Kolkata sebagai pusat pertumbuhan ekonomi India.

Selain menjadi saksi sejarah pertumbuhan dan kejatuhan ekonomi, Kolkata juga menjadi salah satu saksi sejarah perpecahan hubungan antaragama di India dengan negara-negara muslim di kawasannya. Akibat terjadinya disintegrasi politik yang mewarnai perjuangan kemerdekaan di tahun 1940-an dan 1970-an, masing-masing disusul dengan migrasi besar-besaran para pemeluk Hindu dari daerah Pakistan Timur (1940-an) dan Bangladesh (1970-an), Kolkata mengalami apa yang disebut sebagai ‘luka traumatik’ bangsa India terhadap Pakistan dan Bangladesh. Dari peristiwa yang sama, India telah kehilangan daerah-daerah industri terpentingnya yang terletak di sisi timur sungai Hooghley karena jatuh ke negara-negara tetangganya.

Banyak nama telah dilekatkan pada kota ini, mulai dari “city of palaces” (di abad ke-19), “city of dreadful night” (Rudyard Kipling), “city of joy” (Dominic Lappiere), hingga “dying city” (Rajiv Gandhi). Sementara itu, pemerintah Kolkata sempat pula menegaskan kota mereka sebagai “gateway to the Asian tigers” (dalam berbagai media yang mempromosikan manfaat yang akan diperoleh investor dari investasi di Kolkata) sebagai tagline promosional kota mereka. Berbagai sebutan ini sejatinya merefleksikan sisi sejarah dan realitas kota ini, sejak era kolonial, masa jatuhnya industri, hingga upaya pemerintah kota saat ini dalam membangun kembali perekonomian daerahnya.

Foto: Jembatan Howrah, dokumentasi pribadi

June Cahyaningtyas

Dosen, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta

Pernah belajar dan tinggal di Kolkata, India. Tulisan ini dibuat tidak lama setelah penulis kembali dari India.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image