Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image June Cahyaningtyas

Warung Chai di Kolkata, Catatan Perjalanan (2)

Kultura | 2024-09-21 08:54:48
Sumber: dokumentasi pribadi

 

Oleh: June Cahyaningtyas, Dosen Jurusan Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta, Pernah studi dan tinggal di Kolkata, India. Catatan ini ditulis tidak lama setelah penulis kembali dari India.

Chai, atau teh hitam, adalah bagian dari budaya kuliner masyarakat India. Teh merupakan hidangan wajib di seluruh rumah tangga di India, dari berbagai kelas yang berbeda. Teh juga tak pernah absen dari berbagai acara dan kesempatan, baik formal maupun informal. Dan, tidak seperti kedai kopi yang biasanya hanya dijumpai di daerah-daerah kosmopolitan seperti daerah College Street, Camac Street, atau Park Street, warung chai di Kolkata tersebar merata mulai dari daerah kumuh hingga daerah elit. Tak heran jika setiap kali pergi ke rumah makan atau restoran, orang akan selalu dengan mudahnya menemukan chai dalam daftar menu yang ditawarkan.

Teh India sangat berbeda dengan teh di Indonesia. Di Indonesia, teh dibungkus dalam bentuk remah-remah daun dan batang daun teh, sedangkan di India teh dibungkus dalam bentuk butiran ekstrak daun teh. Di Indonesia, teh memiliki rasa asam, dan untuk mengurangi rasa asam itu (ini kecurigaan saya semata), produsen teh memberi rasa pada teh yang dijual, seperti teh Melati, teh rasa Vanila, dll. Di India, tehnya tidak memiliki rasa asam sehingga produsen teh di India (seperti Tata, Tetley, dll) tidak perlu menambahkan rasa, kecuali menjual cita rasa teh itu sendiri. Selain itu, teh di India memiliki kepekatan warna dan kekentalan yang tinggi, jadi dengan takaran setengah sendok teh cukup untuk membuat dua cangkir teh hitam yang hangat. Kecuali di Aceh, teh di Indonesia biasanya dihidangkan tanpa susu, tapi di India teh biasa dihidangkan dengan atau tanpa susu. Chai yang dikenal dari India biasanya adalah teh susu yang sudah diberi bahan tambahan berupa rempah-rempah, seperti jahe dan kayu manis.

Di Kolkata, popularitas warung chai bisa disejajarkan dengan warung burjo di Pulau Jawa, angkringan di Jogja, atau warung kopi di Aceh. Sebuah warung chai dengan menu yang lengkap akan menyediakan cai, biskuit, samosa, manisan, dan roti yang siap dibakar (biasanya dimakan bersama dadar telur). Saat saya di India, harga 1 loki chai antara 2 hingga 4 rupee, sementara setiap kudapan yang dijual (kecuali roti dan omlet) berharga sekitar 3 hingga 5 rupee. Dengan kurs 1 rupee setara 200 rupiah, harga chai dan kudapannya terlihat cukup murah bukan?

Meskipun harganya relatif murah, tapi menu yang disajikan warung cai umumnya telah menjadi menu standar yang dapat dijumpai tidak hanya di warung chai pinggir jalan, tapi juga di kantin dan kafetaria di dalam kampus. Menu ini bahkan sudah mulai diangkat sebagai menu tandingan dari kios makanan asing yang dengan mudah ditemui di pusat perbelanjaan ataupun Nandan (semacam XXI di Indonesia), namun karena dikelola dengan sistem franchise serta ditata dengan lebih apik dan menarik harganya menjadi 4-5 kali lebih mahal dari harga yang biasa ditawarkan di warung chai tradisional. Dengan manajemen yang modern, kios-kios chai baru ini menawarkan sebuah jaminan bahwa makanan pelengkap chai yang mereka sajikan selalu baru, segar, dan lebih higinis. Jadi, meski di satu sisi mereka menjadi kompetitor dari warung chai tradisional, namun di sisi lain menu tradisional yang mereka tawarkan menjadi alternatif dari kios sejenis dengan menu makanan asing berbasis franchise yang saat ini mulai banyak ditemui di India.

Sore hari adalah waktu dimana warung chai biasanya dipadati pengunjung. Di jam-jam ini, para pengunjung biasanya berasal dari para pekerja yang mampir ke warung chai sebelum mereka pulang ke rumah. Selain pekerja, banyak pengunjung yang sudah berusia pensiunan. Mereka datang untuk bertemu dengan kawan seumurannya. Orang-orang India termasuk orang yang suka nongkrong sambil ngobrol ngalor-ngidul. Semua topik bisa dibahas jadi bahan obrolan. Kalau sudah bicara, orang India suka lupa waktu. Dan ini bukan semata-mata impresi personal yang saya dapatkan, tapi bahkan telah diakui oleh Amartya Sen dalam bukunya The Argumentative Indian (2005). Dengan lekatnya budaya minum teh, menu yang murah, dan suasana sore yang mendukung, tak heran jika warung chai menjadi sarana berkembangnya hubungan komunitas bentukan (invented community) di antara para pengunjungnya. Mereka yang datang ke warung chai adalah muka-muka yang sama, pengunjung setia, yang selalu saya jumpai setiap harinya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image